2. Percobaan Setia di Hadapan Roman Lainnya
Percobaan Setia karangan Soeman merupakan satu di antara roman beliau yang paling memenuhi syarat untuk disebut sebagai roman. Jika kita bertolak dari konsep roman sebagai gambaran kehidupan yang meliputi sebagian besar peristiwa kehidupan tokoh-tokohnya (kelahiran, kanak-kanak, remaja, nikah-kawin, dewasa, tua dan mati) maka dalam roman ini cuma kisah tua dan peristiwa ajal yang tidak dibentangkan oleh pengarang.
Sebagai roman, Soeman telah mendedahkan peristiwa kehidupan tokohnya baik peristiwa yang biasa maupun peristiwa penting yang mengubah jalan hidup sang tokoh. (Dalam novel biasanya cuma diolah jalan hidup tokoh yang menyangkut peristiwa penting yang mengubah jalan nasib tokoh-tokohnya. Sementara dalam cerpen hanya diambil suatu peristiwa menarik yang berkesan).
Roman Percobaan Setia telah mengisahkan seorang budak yang bernama Syamsudin, mulai dari masa kanak-kanak sebagai seorang yatim, meningkat masa remaja, bersambung dengan percintaan dan nikah kawin, lalu hidup bahagia sebagai seorang dewasa dalam rumah tangga yang indah. Dalam rentangan kehidupan itu, tokoh roman telah membentuk dirinya, baik dari dimensi sifat-sifat pembawaannya atau fitrahnya maupun oleh pengaruh alam dan lingkungan dari luar.
Syamsuddin sebagai tokoh sentral roman tersebut telah mendiami beberapa bagian daripada kulit bumi ini. Mulai dari kampung kelahirannya, pindah ke Teratak Buluh dengan ibu dan ayah tirinya, lalu kemudian merantau ke Bengkalis. Tidak lama merantau di Bengkalis, setelah kena fitnah tokoh itu mengadu nasib pula ke Melaka. Di Melakalah dia mendapatkan tangkai hatinya. Sebelum nikah-kawin dilaksanakan, Syamsuddin lebih dahulu naik haji, melewati Singapura, Penang, Jeddah dan sampai di Mekkah. Kemudian pulang kembali ke Melaka, Setelah surut ke Melaka, dia nikah-kawin dengan Hajjah Siti Salwiyah scorang putri hartawan yang saleh. Cerita berakhir di situ.
3. Bayang-hayang Orang Melayu
Roman ini telah diberi judul oleh Soeman Percobaan Setia. Judul itu telah memberi konotasi bahwa kesetiaan tak dapat diterima tanpa lebih dahulu mendapat cobaan. Hal ini amat senada dengan panduan agama Islam yang dianut orang Melayu “Apakah manusia akan berkata ‘kami telah beriman’ padahal mereka belum diuji” seperti ternukil dalam firman Allah surah Al-Ankabut ayat 2.
Syamsuddin sebagai tokoh sentral telah dirangkai perjalanan hidupnya oleh pengarang dengan jalinan cobaan. Rangkaian cobaan itu berawal dengan kematian ayah, diejek oleh teman-teman dengan gelar Syamsuwayati (Syamsuddin yang kematian bapa atau yatim), difitnah hendak berbuat serong, kecurian uang sampai kakinya patah serta ditipu teman. Pada belahan lain, cobaan kesetiaan juga terjadi pada pasangan Syamsuddin, yaitu Siti Haji Salwiyah sebagai akibat daripada cobaan yang menimpa Syamsuddin.
Mengapa Soeman telah mengambil judul itu, pertama kali tentu dapat dijawab itu kebebasan beliau sebagai pengarang, Tetapi bagaimanapun juga hal ini niscaya bersangkut-paut dengan dunia cerita yang dikarang Soeman. Soeman telah mengambil tempat kejadian roman-romannya dengan memilih daerah Bengkalis dan sekitarnya atau Selat Melaka pada umumnya serta bayangan masyarakat puak Melayu di rantau itu. Jika kita membandingkan semua karya Soeman, benang merah kesetiaan jelas terbentang panjang dalam tiap roman tersebut. Percobaan Setia amat dekat sekali kepada nada Tebusan Darah. Bahkan salah-salah dapat dikatakan kesetiaan jauh lebih kental lagi dalam Tebusan Darah daripada Percobaan Setia.
Realitas karya-karya Soeman telah menjadi bukti betapa pengarang ini benar-benar menghayati dan mengesan dunia Melayu, mulai dari lambang-lambang zahir sampai kepada kedalaman ibarat batiniah. Soeman menangkap dengan tajallinya, bahwa kesetiaan menjadi suatu taruhan pergaulan hidup Melayu yang cukup diagungkan.
Meskipun Soeman semasa menulis karyanya mungkin sekali belum membaca sumpah setia antara Raja Sang Sapurba dengan Datuk Demang Lebar Daun dalam Sulalatus Salatin (rakyat akan setia kepada rajanya dan raja tidak akan menghina rakyatnya) namun nilai kesetiaan yang larut dalam karya-karya Soeman sungguh telah memancarkannya dengan lembut dan bening.
Teks roman Percobaan Setia pertama telah ditaburi oleh pengarang dengan sejumlah lambang antropologis dunia Melayu. Perhatikanlah bagaimana pengarang menyampaikan sejumlah perkataan yang mampu membayangkan tingkah laku budaya orang Melayu. Soeman memakai kata diperanakkan (lahir), merecak (duduk di atas bahu), digarit (digerakkan), reyok (hampir rebah), gandar (diletakkan di atas bahu), perigi (sumur tanah), bercarut (menyebut nama kemaluan), mengidam (keinginan perempuan hamil), dawat (tinta), kalam (pena terbuat dari segar enau) dan sebagainya.
Kemudian perhatikan pulalah berbagai rangkai kata yang juga menyentak perhatian pembaca, di antaranya uang suku (50 sen), perbendaharaan hati (kekasih) dan mata-mata gelap dan imajinatif Soeman dalam serangkaian kalimat yang khas beriringan dengan peribahasa dan perumpamaan.
- Intan itu diikat dengan emas juga.
- Berjinak-jinakan dengan perempuan.
- Pemandangan kami bertemu, luka hatiku bertambah parah.
- Tingkah yang lemah gemulai itu menggetah hatiku.
- Aku sudah terpikat.
- Tiada seorang pun yang dapat mengubah yang tersurat pada azalnya.
- Murah di mulut mahal di timbangan.
- Orang bijak pandai berenang, di mana dangkal ia menjingkat.
- Sedangkan tempat jatuh lagi dikenang…
- Aku mendapat tempat yang tersuruk.
- Awak berlayar di lautan angan-angan.
- Merpati yang hampir disambar elang itu….
Emosi orang Melayu juga berhasil diungkapkan oleh roman ini. Ketika tokoh cerita yang bernama Syamsuddin difitnah oleh isteri orang, Syamsuddin membangkitkan marwah (harga drinya). Apalagi fitnah itu dihubungkan dengan perbuatan serong (zina), sesuatu yang amat aib dalam tradisi Melayu yang Islami. Keadaan yang menyentuh harga diri itu biasanya membangkitkan dinamika orang Melayu. Dalam roman ini tokoh cerita telah muneul ketajaman, akalnya dengan cara menjual ketela di kapal, dalam perjalanan dari Penang ke Jeddah, setelah dia kecurian uangnya di Pulau Pinang.
Semalam-malaman itu penuhlah kepalaku dengan bermacam-macam ikhtiar dan pikiran akan menambah-nambah uang belanja itu. Akhirnya dapatlah aku pikirkan. Berniaga hendak aku cobakan di dalam kapal. Hawa dalam kapal itu tentulah panas, maka waktu itu orang ingin yang asam-asam. Setelah kupikir masak-masak, maka pada esok harinya dengan setahu si Jamin kubelilah tiga guni ubi jalar dan mentimun, cukup dengan bumbu-bumbunya. Berkat sekalian susah payah yang sudah kutanggungkan, akupun bolehlah pula dikatakan manusia.
Pengarang Percobaan Setia mendedahkan pula dalam roman ini bagaimana kejenakaan menjadi suatu bagian dalam pergaulan sosial orang Melayu. Dalam perjalanan dari Pulau Pinang ke Jeddah tokoh roman itu (Syamsuddin) telah berlagak pura-pura jadi dukun Melayu, dengan mengatakan kepada dokter orang kulit putih dalam kapal, bahwa ketela yang dijual berguna untuk ‘’mengeluarkan angin”. Kemudian dalam perjalanan pulang, tokoh tersebut sekali lagi membuat pandir dengan pura-pura menjadi orang bisu, sehingga dari kejenakaan itu dia mendapat kelapangan di kapal.
“Apa itu?’’ ‘’Ketela tuan’’. ‘’Ketela sebangsa kentang tuan, tumbuh menjalar”. ‘’No, no, ini tak boleh,” katanya. ‘’Tidak boleh dimakan, jadi penyakit buang saja,” katanya pula dengan sangat beraninya. Melihat perbuatannya itu timbul geram hatiku, lalu kataku, ‘’Saya dukun Melayu tuan, ini jadi obat tuan.’’ ‘’Apa? Kamu dukun?’’ katanya agak reda sedikit. ‘’Ya, tuan, saya dukun Melayu,’’ kataku sambil tergagap-gagap, karena berdusta itu tidak kubiasakan.
Tetapi bagaimanapun juga akal yang muncul dalam keadaan darurat, namun bagi seorang Melayu tradisional tidak mungkin sampai melampaui batas. Dalam mencari akal untuk mengatasi kesulitannya, sedapat-dapatnya dia tetap terpelihara tidak merugikan orang lain, sebagaimana pengakuan Syamsuddin dalam roman itu.
Sekalian bahagia dan kemujuran itu kuperoleh dengan jalan membisu diri itulah, yaitu suatu jalan yang sebenarnya tiada dibenarkan oleh orang yang berpikiran waras. Tetapi apa boleh buat, daripada bersakit-sakit amat, lebih baik kucari kesenangan diri, apalagi perbuatanku itu tidak merugikan dan menyinggung orang lain. Hanya kurasa banyak amat aku berdusta, suatu hal yang tiada patut dilakukan seorang haji yang sudah menempuh Tanah Suci namanya.***
(Jagad Melayu, UU Hamidy)