Riau telah punya jalan hidup bagaikan mimpi
Kecantikannya ibarat penampilan Siti Mahdewi
Ketampanannya seperti Sutan Nan Garang
Lemah gemelainya bak Serampang Dua Belas
Suaranya laksana Sri Mersing dan Sri Siantan
Romantisnya bagaikan Perkawinan di Atas Gelombang
Dulu bahasanya menjadi mantera
Puisinya jadi pasung terbang
Gurindamnya jadi azimat
Tapi setelah angin berkisar
Bono Batang Kampar dan badai datang…
Harapan dan kenyataannya jadi ironi
Hidupnya kalah limau oleh benalu
Tragedinya konyol bagaikan Pak Pandir
Jasanya berbalas seperti Singapura Dilanggar Todak
Pertolongan yang didapatnya umpama Nujum Pak Belalang
Upayanya membela kebenaran menjadi kisah Lancang Kuning
Perhitungan hidupnya telah jadi Dagang Pak Kasab
Ratapannya telah dilukis oleh Tudung Periuk
Lamunannya menjadi Kutang Barendo
Riau memang tak hilang…
Bak kata Hang Tuah ‘’Tak Melayu hilang di Bumi’’
Riau memerlukan Nenek Kebayan
Pelayan masyarakat berhati mulia dan tidak serakah
Punya panggilan kemanusiaan untuk berbakti
Berbuat baik setulus mungkin kepada siapapun
Dia tidak mendongeng untuk masa depan
Tapi menawarkan apa yang dapat dilakukannya
Kalau tidak,
Riau tetap jadi padang perburuan
(Cakap Rampai-rampai Budaya Melayu di Riau, UU Hamidy, Unilak Press, Pekanbaru, 1997)