Ada banyak cara untuk menebus dosa. Salah satu di antaranya adalah dengan bersalin rupa menjadi ‘dermawan’. Para pekerja maksiat seperti pejabat yang siang malam mengkorupsi uang rakyat, pengusaha yang merampas hak-hak masyarakat, para taipan (bos perusahaan) yang membiayai penggundulan hutan dan balak liar, adalah beberapa contoh fenomena ‘’pinggan kotor’’.
Tapi sejatinya hati mereka tak pernah tenteram. Untuk membasuh kejahatan itu, mereka bisa terlihat sangat ‘baik hati’ di depan umum. Mereka rajin bersedekah, menyantuni yang papa kedana, memberikan bingkisan dan sagu hati ketika hari raya, bahkan menyumbang untuk pembangunan rumah ibadah. Pihak perusahaan yang telah melanyau hak-hak masyarakat juga tampil dengan gaya yang demikian. Mereka rajin memberikan beasiswa, membiayai berbagai proposal dan gemar menyumbang. Bahkan, bantuan untuk rakyat ini mendapat kedok dengan nama yang cukup hebat, yaitu tanggung jawab sosial kepada masyarakat alias community social responsibility (CSR).
Ketika salah seorang politisi yang terlibat kasus Hambalang ditangkap di Kolombia, para jiran di sekeliling rumah mertuanya justru memberi pernyataan sebaliknya. Menurut mereka, si koruptor ini adalah orang yang baik hati. Sebab ia rajin bersedekah dan memberi bantuan saat hari raya.
Saat bencana tiba, para ‘’pinggan kotor’’ ini semakin mendapat laluan untuk memperlihatkan jubah kedermawanan mereka. Ketika banjir tiba, para ‘’pinggan kotor’’ ini datang membawa mie instan dan lain sebagainya. Saat asap jerebu tak kunjung berlalu, mereka meminjamkan helikopternya untuk membantu memadamkan api dan memberikan masker di mana-mana. Masyarakat terasing dibuatkan sekolah sementara tanah leluhur mereka telah habis menjadi ladang minyak.
Padahal, semua bencana ini terjadi akibat keserakahan mereka. Kabut asap yang kembali tiba untuk yang ke-18 kali dan tahun ini paling parah, adalah kejahatan berencana yang telah dibuat secara sistematis lewat hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), hak guna usaha (HGU), izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) dan izin perkebunan yang melampaui batas.
Selama bertahun-tahun sejak Orde Baru, puluhan perusahaan kayu menggunduli hutan Riau yang izinnya seenak perut diberikan oleh pemerintah pusat dan para bupati. Kawasan hutan tropis di Riau yang paling sedikit mencapai 9 juta hektare, kini hanya tersisa 3 juta hektare. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum menaksir, kerugian negara akibat kerusakan hutan di Riau paling tidak mencapai Rp73 triliun dari nilai kayu yang hilang dan Rp1.994 triliun dari nilai kerusakan lingkungan sehingga totalnya Rp2.067 triliun.
Rasa bersalah sebenarnya adalah perasaan berdosa yang timbul ketika kita melanggar hukum. Sebab hati nurani niscaya telah memahami mana yang benar dan yang salah. Secara psikologis, orang yang merasa bersalah biasanya senantiasa menderita ketegangan dan kecemasan. Dari sisi fisik, para ilmuwan dan ulama telah banyak membahas hubungan antara penyakit dan dosa.
Ternyata, hal ini dapat diterangkan secara ilmiah. Dalam teori rasa bersalah diungkapkan, para pelaku kejahatan memang cenderung memperlihatkan perilaku teladan, ramah dan baik untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Mereka juga kerap mengalami keluhan pada tubuh yang bersifat emosional dalam reaksi psikologis. Mereka ditimpa depresi, terus-menerus menyalahkan orang lain hingga memusuhi orang lain karena perasaan bersalah pada dirinya sendiri. Sebagai kompensasi dalam upaya meredakan gejolak hati nuraninya, menurut teori rasa bersalah, para pelaku kejahatan akan melakukan perbuatan baik, bergabung dengan organisasi yang dihormati dan melakukan amal. Mereka akan sibuk memperlihatkan dirinya seperti kaum filantropis.
Sesungguhnya, baik dosa besar maupun kecil, bila dilakukan secara terus menerus, akan berdampak sangat buruk bagi jiwa dan raga pelakunya. Tak jarang dosa itu juga menimbulkan bencana yang mengenai orang-orang di sekitarnya. Ibarat racun dalam tubuh, dosa akan menggerogoti badan dan menutupi hati. Di dunia ini, banyak para pendosa yang terkenal sebagai orang hebat, namun sejatinya jiwanya merasa kering dan tertekan. Ia merasa terasing dari Rabb-nya. Meskipun memiliki semua fasilitas kenikmatan dunia, keterasingan itu akan tetap ia rasakan. Lihatlah Hittler, pemimpin Jerman yang memilih mati dengan cara bunuh diri.
Dari sini, dapat kita lihat hubungan antara ‘’pinggan kotor’’ dengan rakyat sebagai air pembasuh pinggan. Ternyata selama ini, rakyat tak lebih hanya sekedar air pembasuh pinggan untuk mencuci dosa si ‘’piring kotor’’. Kita yang bermastautin di kota, masih sedikit beruntung karena dapat merasakan fasilitas yang agak lebih baik. Dengan ilmu, kita mampu menolak menjadi air pembasuh pinggan. Tetapi, bayangkanlah saudara-saudara kita, masyarakat adat yang tinggal di ceruk-ceruk kampung. Sudahlah hutan tanah mereka digasak, sehingga pilar-pilar perekonomian mereka hancur, fasilitas pun masih jauh dari layak. Ironisnya, mereka (kadang) tetap menyangka bahwa apa yang diperbuat ‘’pinggan kotor’’ kepada mereka adalah kebaikan yang sejati. Mereka sudah cukup senang jika anak-anaknya diberi beasiswa dan bekerja sebagai kuli di perusahaan balak liar ataupun bubur kertas dan perkebunan.
Padahal, bantuan yang diberikan ‘’pinggan kotor’’ itu belum sampai seujung kuku dari hasil kejahatan yang mereka lakukan. Berapalah baru harga mie instan bagi seorang yang nilai hartanya masuk ke dalam daftar orang terkaya. Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Kuntoro Mangkusubroto, mengakui, sedikitnya ada 10 juta hektare kebun sawit di Indonesia dan ini hanya dikuasai oleh enam keluarga. Pengusaha perkebunan juga memakai berbagai tipu daya. Menurut Kuntoro, di Taman Nasional Tesso Nilo di Riau, kebanyakan yang datang menanam sawit adalah pendatang dari Sumatera Utara. Mereka jelas bukan pemilik tanah asli. Bahkan, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, mengungkap adanya indikasi pengerahan 2.000 warga dari Sumatera Utara untuk merambah kawasan konservasi Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu di Riau.
Para pekerja maksiat dan pelaku dosa besar dan kejahatan ini menganggap, diri mereka telah menjadi bersih di mata manusia. Tapi, sudah bersihkah di mata Yang Maha Kuasa? ***