Letus bedil bertumpak-tumpak
Tiba di padi mati tegak
Perut gendut belaki tidak
Pada siapa anak berbapak
Inilah sebait pantun yang membidas perbuatan zina. Maksiat zina benar-benar suatu kehinaan atau aib yang tiada tertanggungkan dalam resam Melayu. Walaupun orang Melayu itu belum tentu beragam Islam dengan aqidah yang benar seperti dituntun oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melalui para sahabat, tapi perbuatan zina tetap suatu perbuatan yang terkutuk dalam pandangan mereka.
Lemparan kata ‘’anak jadah’’ sebagai penghinaan terhadap anak yang lahir dari perbuatan zina, benar-benar menghilangkan muka. Sebab dengan lontaran kata anak jadah itu dia tak dapat berhadapan dengan siapapun lagi, karena dia sudah tak berharga, hina-dina. Siapa yang terlibat dengan dia akan terkesan dengan kehinaan. Itulah sebabnya pelaku zina itu diusir dari negeri kampung halamannya, agar sanak keluarga tidak menanggung aib dari kejahatannya.
Maka dengan agama Islam, masyarakat Melayu benar-benar mendapat pagar untuk melindungi diri dari perbuatan zina. Tiap orang yang lahir harus mencantumkan kata ‘’bin’’ (untuk lelaki) atau ‘’binti’’ (untuk perempuan) yang memberi petunjuk siapa ayahnya yang sah menurut syariah Islam. Maka anak zina akan kehilangan muka karena tak dapat mencantumkan nama ayahnya yang benar kecuali dengan berbohong. Dan semua kebohongan sebenarnya tidak punya makna alias hina tidak punya harga diri.
Ternyata resam Melayu punya kiat memelihara warga agar tidak terperosok ke dalam perzinaan. Jika syariat Islam telah memberikan hukuman yang berat pada pelaku zina, maka resam Melayu telah mengikutinya dengan beberapa Langkah pintu perkawinan agar terhindar dari maksiat terkutuk itu. Pertama, pintu perkawinan dalam resam Melayu telah terbuka lebar dengan nikah kawin antara anak perempuan seorang perempuan dengan anak lelaki saudara perempuan itu. Atau sebaliknya, seorang lelaki punya anak perempuan nikah kawin dengan anak lelaki dari saudara perempuannya.
Nikah kawin model ini dalam masyarakat Melayu yang mengenal pembagian suku disebut juga ‘’anak pancar baliak ka bako’’ (anak pancar pulang pada bako). Anak pancar adalah semua anak dari kaum lelaki dalam satu suku yang nikah kawin dengan suku lain. Kata ‘’pancar’’ berasal dari pancaran mani, sebab anak itu lahir dari pancaran mani kerabat kita sesuku. Sedangkan ‘’bako’’ adalah semua warga dari suku ayah kita yang semua anaknya dapat nikah kawin dengan kita. Inilah pintu nikah kawin yang paling mudah dilaksanakan sebab masih dalam hubungan kerabat.
Anak lelaki pihak ayah yang akan menjadi menantu oleh saudara perempuannya mengatakan pula ‘’lauak dalam belango’’ atau lauk dalam belanga. Maksudnya, anak lelaki yang jadi anak pancar itu niscaya akan jadi jodoh daripada anaknya.
Kedua, nikah kawin melalui organisasi tobo. Tobo adalah organisasi tani tradisional yang terdiri dari orang-orang yang sebaya, mengerjakan ladang para anggota secara bergiliran. Sampai tahun 1950-an, banyak ladang di Kuantan dan Kampar dikerjakan oleh tobo kalangan anak muda lelaki dan perempuan. Karena mereka bekerja bersama-sama di ladang di bawah pimpinan induk tobo maka terbuka kesempatan untuk saling mengenal. Perbuatan itu akan segera masuk pintu nikah kawin dengan bantuan induk tobo yang nanti akan merundingkannya kepada pihak ibu bapa anak bujang dan gadis. Upacara nikah kawin sering berlangsung sering berlangsung setelah tobo mereka dibubarkan yaitu setelah semua ladang para anggota dikerjakan.
Ketiga, pintu nikah kawin terbuka pula dalam resam Melayu dengan jasa induk mudo (induk muda). Induk mudo adalah orang yang sudah agak baya (40 tahun ke atas) kebanyakan perempuan, memberi peluang untuk nikah kawin antara lelaki dengan perempuan. Biasanya yang minta jasa itu pihak lelaki. Bila ada seorang lelaki tertarik kepada seorang perempuan untuk jadi istrinya maka perempuan yang jadi induk mudo menjumpai perempuan tersebut. Kepada perempuan tersebut oleh induk mudo diceritakan bagaimana kebaikan lelaki yang mau memperistrinya. Bila kedua belah pihak sudah sama-sama suka, maka jasa induk mudo dilanjutkan oleh ninik mamak suku laki-laki dan perempuan dengan melaksanakan upacara nikah kawin atau gawai.
Keempat, pintu nikah kawin terbuka dengan usaha pihak lelaki mendatangi pihak perempuan. Cara ini lazim disebut ‘’bagora’’. Kata ‘’bagora’’ sama dengan ‘’bergurau’’ sebab pertemuan lelaki dan perempuan itu dimulai dengan senda gurau. Seorang lelaki mengajak temannya yang laki-laki pula mendatangi rumah perempuan yang disukainya. Kedatangan itu biasanya malam hari selepas shalat Isya atau selepas makan malam. Pihak lelaki membawa bahan makanan seperti roti, gula pasir, dan teh.
Setelah dapat izin masuk rumah maka bahan makanan diberikan kepada ibu perempuan atau siapa yang menemani anak perempuan itu di rumah tersebut. Pertemuan berlangsung dibuka dengan gaya senda gurau oleh teman lelaki yang bermaksud melamar perempuan tersebut. Anak gadis akan pergi ke dapur menyiapkan kopi atau minuman. Sementara itu, lelaki yang ingin melamar berbicara dengan temannya kepada ibu atau saudara perempuan tersebut. Kias untuk menyampaikan isi hatinya berlangsung dengan berbagai sindiran. Bahkan kias ini akan mudah dipahami oleh perempuan yang akan jadi istrinya tersebut.
Sambil minum teh berlangsunglah terus pembicaraan mereka sehingga akhirnya saling memahami satu dengan yang lain. Dengan beberapa pertemuan serupa itu maka akhirnya diantarkanlah pasangan ini kepada persetujuan untuk berumah tangga. Jika antara pihak lelaki dengan perempuan sudah sama-sama setuju untuk nikah kawin tapi terhalang oleh satu dan lain hal maka barulah dipakai pertunangan. Yang biasanya tidak boleh lebih daripada tiga bulan.
Pertunangan berasal dari kata ‘’tunang’’ (kerinduan). Jadi, hubungan mereka adalah dalam masa kerinduan menanti nikah kawin. Agar tidak terjadi kedua pasangan melakukan perbuatan aib maka masa inilah perempuan atau gadis tersebut dipingit. Dalam masa pingitan ini dia belajar segala sesuatu tentang mengurus rumah tangga kepada ibu bapanya agar dapat nanti menjadi istri yang sholehah.***