1. Lindap dari Padang Kehidupan
Berbagai mata pencaharian telah pernah ada di pedesaan. Paling kurang ada 8 mata pencaharian tradisional: berladang, beternak, berdagang, bertukang, berkebun, berpekarangan (mempergunakan alat penangkap ikan), baniro (membuat gula enau, gula kelapa), dan mendulang. Tetapi karena biaya kehidupan makin meningkat terus, maka persaingan dalam mencari rezeki itu terasa makin tajam.
Walaupun persaingan itu tidak dalam bentuk konfrontasi terbuka, namun tak dapat disangkal, bahwa setiap lapangan pekerjaan yang dilakukan oleh suatu pihak, akan selalu memberi akibat mendesak mata pencaharian pihak lain.
Begitulah, di desa-desa kita sampai tahun 1950-an masih banyak lapangan pekerjaan yang bersifat kerjakan sendiri (wirausaha), misalnya: membuat tali ijuk, membuat tikar pandan, membuat bakul kembut dan kampil dari bigau, membuat atap rumbia, membuat lokar (alas periuk dan kuali dari rotan), membuat perkakas menangkap ikan dari benang dan rotan. Tetapi setelah tiba banjir produksi massal berupa: tali plastik, tikar plastik, goni plastik, atap seng, dan pukat plastik, dan banyak lagi, semua mata pencaharian itu terpaksa ditinggalkan.
Mengapa? Persoalannya, bukan karena masyarakat tidak mampu lagi mengerjakannya, tapi karena barang-barang buatan rakyat desa itu tidak mampu lagi bersaing di pasaran. Para konsumen berpindah kepada barang-barang buatan pabrik, produksi massal yang relatif lebih murah, tahan dan bagus.
Hal ini menjadi suatu kenyataan yang tragis. Bagaimana teknologi pedesaan di tangan rakyat kecil yang lemah, dibiarkan bertanding dengan teknologi hebat modal raksasa. Itu berlangsung tanpa pembela dan pengadil siapapun juga. Akibatnya, sejumlah wirausaha yang lemah itu l i n d ap dari padang kehidupannya.
Keadaan itu menyebabkan sebagian daripada rakyat desa lari ke kota. Sebagian dari mereka ada yang dapat masuk bekerja sebagai buruh pada mesin-mesin produksi massal itu, sebagian jadi daki bagi wajah kota, sedangkan sebagian lagi tetap bertahan di desa dengan penuh rasa sesal tanpa arah. Sebagian jadi putus asa dan jatuh jadi pemalas. Tapi ada beberapa yang mencoba mencari mata pencaharian lain, yang relatif belum didesak oleh produksi massal.
2. Harga Keringat Setiap Hari
Karena tampak oleh mereka bekerja wirausaha dalam arti membuat barang-barang selalu akan punya risiko bersaingan dengan produksi massal dan modal raksasa, maka ada di antara mereka yang mencoba mencari lapangan pekerjaan pada lapangan pemakaian jasa. Begitulah, satu di antara mata pencaharian dalam rupa pemakaian jasa itu di desa ialah mata pencaharian memanjat kelapa. Orang yang melakukannya disebut tukang panjat kelapa.
Tukang panjat kelapa merupakan lapangan pencaharian yang dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, mempergunakan binatang seperti beruk, cigak, koka dan siamang sebagai pemanjat kelapa. Tapi meskipun tenaga utama adalah binatang, namun yang mengusahakannya (tuannya) harus juga pandai memanjat.
Pertama, jika terjadi sesuatu, misalnya beruk mogok, maka tuannya akan terpaksa menggantikan. Kedua, memang karena hendak menenggang rasa, sehingga si tuan menggantikan ‘temannya’. Yang kedua dapat pula dilakukan sendiri, tanpa mempergunakan binatang.
Hal ini terpaksa dilakukan karena mendapatkan binatang yang pandai memanjat (atau binatang yang akan dilatih) sudah sangat sukar. Penebangan hutan yang makin luas menyebabkan banyak binatang itu yang makin terdesak dan makin banyak yang mati.
Seorang tukang panjat kelapa di desa-desa pada tahun 1980-an –dengan merujuk kepada daerah Rantau Kuantan, Riau– bisa mendapat upah antara 1-3 buah kelapa setiap batang (pohon). Jika pohon kelapa cukup rendah, misalnya tidak lebih dari 20 meter tingginya, dan batang kelapa dapat dikatakan bebas musuh (tidak berserangga), upahnya bisa 1 buah kelapa.
Kalau batang kelapa itu tingginya 25 meter lebih, upahnya sering 2 buah. Tapi jika pohon kelapa itu tinggi dan mempunyai musuh, misalnya kerawai, solinbado, sicucuar, tabuhan, dan kerangga, maka upahnya tidak akan kurang dari 3 buah.
Dengan upah serupa itu, seorang pemanjat kelapa bisa memperoleh kelapa antara 10-20 buah sehari. Rata-rata ada sekitar 15 buah sehari. Dengan kemampuan serupa itu, maka dia bisa memperoleh penghasilan antara Rp1.000,- sampai Rp2.000,- sehari, atau rata-rata Rp1.500,- sehari. Hal itu sebenarnya masih belum kemampuan yang maksimal.
Tapi karena pekerjaan memanjat kelapa merupakan pekerjaan yang amat berat lagi berbahaya, maka jarang yang mampu melebihinya. Keterbatasan itu diganjal pula oleh tukang panjat kelapa yang makin banyak jumlahnya, sementara jumlah batang kelapa tidak begitu banyak bertambah dari tahun ke tahun.
3. Menyandang Harga Diri dengan Penuh Perasaan
Gambaran penjualan jasa serupa itu memberi bacaan lebih luas akan dunia kehidupan rakyat kecil di pedesaan. Dari upah yang demikian, maka jika mereka tidak ditimpa musibah, ada berbadan sehat, dapatlah dia penghasilan sekitar Rp45.000,- sebulan. Tampaknya jumlah itu bisa lumayan dibandingkan gaji pegawai negeri golongan II/a. Namun logikanya tidaklah demikian.
Tukang panjat kelapa memerlukan tenaga dan kalori jauh lebih besar untuk memperoleh penghasilan serupa itu dibandingkan dengan seorang pegawai yang bekerja di kantor. Karena itu, biaya ‘produksi’ tukang panjat kelapa jauh lebih besar, yang akibatnya pengeluaran akan cukup besar. Karena itu, dengan penghasilan yang demikian, mereka paling-paling hanya mampu memenuhi keperluan hidup minimal yang sederhana saja.
Meskipun pekerjaan memanjat kelapa agaknya masih lama lagi baru akan disaingi oleh ‘’bung robot’’ (yang sekarang bekerja dengan setia pada rumah-rumah orang putih di Eropa dan Amerika), namun tidak mustahil pada suatu ketika juga akan didesak oleh kemajuan teknologi, yang makin hari berkembang terus tanpa memberi tanda akan bisa dikendalikan.
Tetapi bagaimanapun juga, persoalan yang paling menarik bukanlah akan datangnya robot-robot buatan teknologi modern, yang akan menggantikan lapangan pekerjaan mereka. Persoalan yang sebenarnya jauh lebih serius daripada itu.
Mata pencaharian ini merupakan mata pencaharian yang menyabung nyawa tanpa jaminan apapun juga bagi keluarga mereka. Mereka ini tak kenal akan polis asuransi, sehingga bila terjadi sesuatu yang naas, dengan akibat paling kurang cacat berat, maka keluarganya akan jatuh kepada kehidupan yang lebih melarat lagi.
Dengan mata pencaharian ini, mereka menyandang suatu ejekan yang meskipun agaknya tidak disengaja, namun amat menyentuh perasaan. Bagaimana tidak akan dikatakan demikian, mereka hampir dipandang sama dengan beruk. Tukang panjat kelapa yang mempergunakan beruk jarang dipanggil dengan ucapan, ‘’hai tukang panjat!’’, tapi lebih sering, ‘’beruk!’’.
Karena itu patutlah kita benar-benar mempunyai perhatian yang sungguh-sungguh akan segala program pembangunan kita, agar keadaan yang serupa ini, bisa dihapuskan dalam sejarah kehidupan generasi yang akan datang.***