Setelah persoalan-persoalan pokok mengenai bahasa diselesaikan seperti membuat tata bahasa dan ejaan, cendikiawan Riau memperluas horizon kegiatannya menjangkau lapangan budaya lainnya. Dalam hal ini, perhatian kerajaan Riau-Lingga amat besar artinya. Kerajaan ini telah tercatat mendirikan tiga percetakan, membuat satu perpustakaan dan mendirikan satu syarikat dagang yang bernama Syarikat Dagang Ahmadi pada tahun 1906.
Percetakan yang pertama didirikan ialah Rumah Cap Kerajaan (terkenal di Singapura dengan Straits Printing Office) yang diperkirakan mulai aktif sejak tahun 1885. Percetakan ini berada di pusat kerajaan yaitu di Daik Lingga, memakai huruf Arab-Melayu dengan teknik litografi (cetak batu). Sarana budaya ini telah mecetak beberapa karya Raja Ali Haji dan keperluan kerajaan, misalnya Mukaddimah (karya Raja Ali Haji yang dicetak tahun 1304 H atau 1886 M). Tsamarat al Muhimmah (juga karya Raja Ali Haji, dicetak pada tahun 1304 H). Undang-undang Lima Fasal dan Kanun Kerajaan Riau Lingga merupakan materi kerajaan.
Wujudnya percetakan ini telah mendorong lebih cepat lagi kemajuan karya tulis dalam dunia Melayu di Riau. Generasi di belakang Raja Ali Haji semakin banyak yang terdidik, sehingga makin banyak pula intelektual yang muncul kepada dunia kepengarangan. Meningkatnya jumlah kaum terpelajar itu telah ditandai dengan terbentuknya suatu perkumpulan kaum cendikiawan Riau yang terkenal dengan nama Rusydiah Klab, pada tahun 1892. Perkumpulan ini tidak hanya terdiri daripada anak jati Riau, tetapi juga para cendikiawan yang bermastautin di Riau. Sebab itu anggotanya juga telah meliputi para pengarang (ulama) dari Minangkabau, Banjar, Patani (Negeri Siam, Thailand), bahkan mempunyai timbalan (wakil) yang bernama Syed Syeikh Al-Hadi Wan Anom untuk Makkah al-Musyarafah.
Rusdiyah Klab telah mengambil peranan paling kurang dalam bidang politik, budaya dan ekonomi. Dalam bidang siasah (politik), perkumpulan ini telah banyak memandu kerajaan dalam memecahkan masalah-masalah sulit menghadapi kuasa penakluk Belanda. (Perlawanan terhadap Belanda ini telah bermula dari Raja Haji Fisabilillah yang menentang Belanda di Riau dengan kekuatan Melayu dan Bugis, lalu dilanjutkannya menghadang Belanda di Melaka dengan bantuan penduduk Naning dan Rembau, sehingga beliau tewas di Teluk Ketapang pada tahun 1784).
Dalam upaya menghadapi Belanda itu, Raja Ali Kelana dan Raja Khalid Hitam sebagai anggota teras Rusydiah Klab, amatlah menentukan. Pada tahun 1904, Raja Ali Kelana telah berangkat ke Turki untuk menemui Sultan Abdul Hamid agar dapat memperoleh bantuan senjata dan diplomasi. Karena usaha itu tidak berhasil, maka tujuh tahun selepas itu (tahun 1913), Raja Khalid Hitam berangkat pula ke Jepang dengan tujuan yang sama. Dalam tugas diplomatik itulah, diplomat Kerajaan Riau itu meninggal di Jepang yang diduga keras telah terbunuh oleh tipu daya agen-agen Belanda di Tokyo. Di samping itu, pihak Riau juga menghadapi Belanda melalui media massa yang diterbitkan di Singapura, majalah Al-Imam. Dalam majalah ini, Raja Ali Kelana dan ulama Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin Falaki (asal Minangkabau), merupakan dua orang penulis utama majalah itu.
Dengan kerjasama yang baik, perkumpulan cendikiawan Riau itu berhasil pula mendirikan percetakan di Pulau Penyengat. Percetakan ini memakai dua nama dalam hasil penerbitannya. Jika yang diterbitkan merupakan materi Kerajaan Riau Lingga, maka dipakai nama Mathbaat al-Ahmadiah. Dengan percetakan ini maka para pengarang di Riau dapat ‘’pindah dahan’’ kepada berbagai-bagai bidang budaya lainnya.
Kegiatan karya tulis, juga meluas kepada bidang lain seperti undang-undang (hukum), sejarah, ketabiban bahkan soal kecantikan wanita. Di sisi karya asli, muncul pula karya terjemahan, baik hasil terjemahan pribadi maupun terjemahan bersama-sama oleh anggota Rusydiah Klab. Abu Muhammad Adnan merupakan pengarang Riau dalam generasi Rusydiah Klab yang paling produktif. Setelah mengarang beberapa kitab tata bahasa Melayu, pengarang ini menerjemahkan beberapa hikayat asal Timur Tengah, antara lain Ghayat al-Muna, Shahinsyah dan Kisah Seribu Satu Malam, dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu.
Agaknya, oleh kegiatan para cendikiawan yang demikianlah, Kerajaan Riau yang dikemudikan oleh Yang Dipertuan Muda Riau ke-10, Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi (1858-1899) telah berjaya mendirikan perpustakaan (yang setelah beliau meninggal) terkenal dengan nama Kutub Khanah Marhum Ahmadi. Perpustakaan inilah yang banyak menyimpang kitab-kitab berbahasa Arab dan Timur Tengah, di antaranya Ihya Ulumuddin (Al Ghazali), Kitab al-Qanun al-Thib (Abu Ali Ibnu Sina) dan Al-Zawajir (karya Imam Ibn Hjar).
Setelah percetakan Mathbaat al-Riauwiyah tidak dapat lagi berfungsi sengan baik oleh pertarungan menghadapi Belanda yang sampai pada titik krisis 1903-1913 (sebagai lanjutan keinginan Belanda untuk menjajah Riau yang dimulai dengan berdirinya loji mereka di Tanjung Pinang pada tahun 1790), maka kaum cendikiawan Riau mendirikan lagi percetakan di Singapura pada tahun 1918. Percetakan itu merupakan anak perusahaan dagang Syarikat Dagang Ahmadi, suatu koperasi keluarga raja-raja Riau di Pulau Midai (Pulau Tujuh, di Laut China Selatan) yang bergerak dalam bidang perkebunan kelapa dan perdagangan kopra. Alat media massa ini diberi nama Mathbaat al-Ahmadiah (seperti nama yang dipakai terdahulu di Pulau Penyengat), tetapi lebih terkenal di Singapura dengan nama Al-Ahmadiah Press. Percetakan ini mengalami masa jaya pada tahun 1925 sampai kedatangan Jepang pada tahun 1940-an.***
(Bahasa dan Kreativitas Sastra, UU Hamidy)