Sentuhan perasaan atau tingkat emosi puak Melayu di Riau, dapat direntang dari tingkat malu, menghindar dan merajuk, disusul oleh latah dan aruk, berakhir dengan amuk. Senarai reaksi lahir batin ini, tentu saja berbeda intesitas dan kualitasnya dalam berbagai ragam puak Melayu di Rantau ini.
Dengan kata lain, tiap puak bisa punya semacam rentangan emosi yang relatif bervariasi dengan puak lainnya, sesuai dengan keberadaan ruang dan waktu serta kesejarahannya masing-masing. Oleh sebab itu, keadaan ini biasanya dipahami dengan baik oleh pemegang teraju kehidupan puak Melayu, seperti pemangku adat, ulama dan tokoh tradisi.
Malu, sudah merupakan pakaian utama dalam tingkah laku budaya puak Melayu. Penampilan malu sudah menjadi bagian harga diri sebagaimana terbayang dalam ungkapan tidak bermalu (tidak punya harga diri). Sebab, sebaik-baik pakaian ialah budi pekerti, sedangkan muatan budi pekerti harus didasari oleh malu. Pada Melayu tua, sifat malu sudah bersebati dengan adat dan resam (tradisi). Sedangkan pada Melayu muda, malu sudah berpatri dengan Islam, sehingga malu menjadi bagian dari iman.
Menghadapi silang sengketa, tingkah laku budaya Melayu cenderung menghindar. Dengan menghindar, dapat dibuka jalan perundingan, agar satu dengan yang lain sampai pada tolak angsur untuk membuat perdamaian. Jika jalan untuk bertolak angsur (kompromi) tidak bisa dicapai dan hubungan bergerak pada pertarungan fisik, maka sebagian puak Melayu lebih suka mengambil jalan merajuk.
Dengan merajuk dia menjauh dari pusat perselisihan dan tidak ada lagi kontak atau hubungan dengan lawan berselisih. Ini membuat pertikaian berakhir, meskipun tidak memberikan penyelesaian yang memuaskan kepada semua pihak yang bertikai.
Di luar sudut pandang antropologis (terlepas dari subyek yang merajuk), reaksi tersebut terkesan merugikan. Sebab itu, agar langkah ini tidak sampai diambil, disindir dengan kata bersayap ‘’orang merajuk mati jauh’’. Tetapi bagi yang merajuk, hal itu akan menjadi terapi kejiwaan.
Sebab, dengan langkah itu dia terhindar dari medan perselisihan yang bisa memberikan tekanan batin berkepanjangan. Dengan langkah merajuk, yakni tidak lagi berhubungan dengan lawan berselisih, kemelut pertikaian berakhir. Dengan reaksi ini, yang merajuk tetap merasa punya harga diri. Sebab, dengan tindakan itu dia tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, sementara orang lain (lawan bertikai) juga tak dapat memaksanya.
Dengan demikian, merajuk juga menjadi teknik menahan diri, sehingga pertikaian tidak sampai berakhir dengan fatal. Mencari kemenangan sepihak dalam berselisih, tak ada manfaatnya, seperti dibidas oleh perumpamaan ‘’menang jadi arang kalah jadi abu’’.
Menghadapi tekanan kekuasaan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, adat dan tradisi yang baik, puak Melayu sering memberi reaksi latah. Dengan sikap ini, segala perintah dari pemimpim yang zalim akan diiyakan, tetapi tidak akan dilakukan. Dengan tingkah laku budaya serupa itu, diharapkan pemimpin yang zalim akan sadar bahwa perintahnya tidak benar atau tidak adil.
Dalam pergaulan sosial bisa terjadi pemegang teraju kehidupan berlaku lancang terhadap warganya, sehingga dia tampil tidak lagi sebagai orang arif. Keadaan ini bisa menimbulkan emosi aruk pada puak Melayu. Pihak warga yang dihina (dilanggar hak asasinya itu) akan membalas tidak lagi menghormatinya.
Pemimpin yang semestinya dipanggil dengan kata bapak, yang dipertuan, bahkan duli tuanku, akan dipanggil sebagai orang kebanyakan, seperti panggilan kau dan kamu. Ini dipandang wajar, pemimpin itulah sepatutnya mengajari rakyatnya menghargai martabat orang lain, bukan menghina mereka.
Selanjutnya, amuk adalah tingkat emosi yang paling tinggi. Reaksi ini bisa timbul bila segala tata nilai, terutama agama dan adat, dilanggar terang-terangan oleh seseorang yang zalim. Dengan keadaan itu, segala nasehat dan peringatan telah kandas. Orang atau warga yang berada dalam keadaan terancam untuk memilih hidup dalam keadaan hina dan tertindas bercermin bangkai atau mati terhormat berkalang tanah.
Amuk merupakan penampilan emosi yang garang menghadapi pedang terhunus yang zalim. Maka, akibat dan tanggung jawabnya tak terbayangkan. Karena itu, di atas segala emosi puak Melayu ini, Raja Ali Haji sebagai ulama pengarang yang piawai meninggalkan pesan dengan rangkai kata:
Segala pekerjaan pedang itu
boleh dibuat dengan kalam
Adapun pekerjaan kalam itu
tiada boleh dibuat dengan pedang
Maka itulah ibarat yang terlebih nyatanya
dan berapa ribu dan laksa pedang
yang sudah terhunus
Dengan segores kalam
jadi tersarung
(Riau Doeloe, Kini dan Bayangan Masa Depan, UU Hamidy)