1. Pengarang Sejarah Lokal
Nama Tenas Effendy agaknya tidak asing lagi bagi sebagian besar kalangan terpelajar di Riau. Dan hampir dapat dipastikan sudah dikenal dengan baik oleh puak Melayu daerah Siak, serta lebih-lebih di Pelalawan –daerah kelahiran dan bekas kerajaan tempat tokoh ini dibesarkan. Jika Tenas Effendy mengunjungi kawasan puak Melayu Petalangan di Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan, ia akan diperlakukan bagaikan pembesar oleh anak negeri Melayu Petalangan tersebut. Dihormati, diterima dan diperlakukan dengan budi pekerti yang tinggi serta dilayani dengan penuh penghargaan. Ini memberi bukti bahwa Tenas seorang terpandang di Riau.
Kenyataan ini merupakan berkah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana terkandung oleh pesan doa dalam namanya. Tengku Nasaruddin Effendy, bukankah suatu nama yang amat sanggam? Tengku adalah panggilan, nama dan juga gelar bangsawan dalam dunia Melayu di Riau. Semua redaksi itu dapat dinisbahkan kepada orang alim, yang punya ilmu pengetahuan, baik dalam agama apalagi tentang dunia. Sementara Nasaruddin, dapat dengan mudah merujuk kepada makna pembela agama. Jadi pesan yang terkandung dalam nama tokoh ini, memang sudah jadi kenyataan melalui rahmat Allah, sebagaimana dikesan oleh keharuman nama Tenas Effendy dalam dunia Melayu masa kini.
Perhatian Tenas Effendy terhadap dunia Melayu tampaknya bermula dari tulisan atau karangannya tentang sejarah lokal di Riau. Tenas telah memberi perhatian terhadap sejarah beberapa kerajaan di Riau, terutama Siak dan Pelalawan. Jalan ini sangat wajar. Sebab perikehidupan Tenas memang amat dekat kepada dua kerajaan itu. Sumber-sumber tentang kedua kerajaan itu tentu mudah diperolehnya, karena ia punya hubungan historis dengan kerajaan tersebut. Tenas dapat dikatakan menulis sejarah lokal, sebagai penulis yang menyaksikan peristiwa sejarah. Sekurangnya, ia memperoleh sumber-sumber sejarah itu dari tangan yang sahih. Maka tampillah karyanya Nukilan Sejarah Pelalawan dengan tajuk Banjir Darah di Mempusun, Datuk Pawang Perkasa Hulubalang Pulau Tebinggi dan Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura bersama Nahar Effendy, yang semuanya terbitan BPKD Riau 1972.
Karangan Tenas Effendy kemudian berkisar pada sisi budaya Melayu. Beriringan dangan karya mengenai sejarah ini, Tenas telah menulis pula Pertemuan Siak Sri Indrapura dan Seni Ukir di Daerah Riau bersama Djohan Syarifuddin dan Cerita Rakyat di Daerah Riau bersama TS Djaafar, Tengkoe Nazir dan AR Kemalawati S.
Potensi dan semangat Tenas Effendy menulis tentang Melayu menjadi balas-membalas dengan berdirinya Badan Pembina Kesenian Daerah (BPKD) Provinsi Riau yang tampil tahun 1970-an semasa pemerintahan Gubernur Riau Arifin Achmad. Kalangan terpelajar Riau yang mulai banyak menetap di Pekanbaru berhasil meyakinkan Gubernur Riau Arifin Achmad, supaya ditulis budaya Melayu sebelum semuanya lesap ditelan oleh ruang dan waktu. Lebih dari itu, agar orang Melayu di Riau dapat mengenal gambaran dirinya, mulai dari masa silam yang bernafaskan Anismisme-Hinduisme sehingga sampai memakai pedoman hidup Syariah Islam yang berpijak kepada Alquran dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagaimana diperlihatkan oleh adat resam Melayu bersendi syarak.
BPKD Riau berjaya semasa jabatan Gubernur Arifin Achmad tahun 1970-an. Terbitan lembaga ini ada belasan buku, bahkan mungkin lebih dari 20, jika dihitung termasuk naskah yang belum sempat diterbitkan. Kebanyakan buku terbitan BPKD adalah karya Tenas Effendy. Kehadiran Tenas sebagai penulis segera kokoh dengan kehadiran karangannya dalam corak drama ‘’Laksamana Hang Tuah Laksamana Megat Seri Rama dan Kubu Terakhir’’. Naskah drama ini punya warna jihad, karena terlintas dalam drama bagaimana yang hak menghadapi yang bathil.
Dalam senarai para pengarang Riau, Tenas Effendy dapat dimasukkan ke dalam Gelombang Kedua Pengarang Riau. Gelombang Pertama dari abad ke-19 sampai 1930-an, yakni dari Raja Ali Haji, Pengarang Rusydiah Klab, Tuan Guru Abdurrahman Siddik dan Soeman Hs. Gelombang Kedua dari 1950-an sampai 1970-an, yakni dari Yong Dolah sampai Ibrahim Sattah, dengan pengarang antara lain Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, Sutardji Calzoum Bachri, Hasan Junus dan Rida K Liamsi. Gelombang Ketiga dari 1980-an sampai 2000-an yakni dari Taufik Ikram Jamil sampai Marhalim Zaini.
2. Otodidak yang Berjaya
Dalam buku Anugerah Sagang Sejak 1996-2011 riwayat hidup Tenas Effendy terlalu sederhana. Hanya tertulis lahir di Pelalawan (tanpa tahun). Tenas dituliskan tamat Sekolah Guru B di Bengkalis lalu menyambung Sekolah Guru A di Padang. Selepas itu melakukan otodidak. Otodidak yang dilakukan Tenas ternyata berjalan sukses, sehingga melapangkan jalan baginya meningkatkan potensi dan semangat mengarang. Tulisan mengenai sejarah lokal merupakan uji-coba ketajaman penanya. Karyanya segera bercabang pada seni ukir dan drama. Dalam seni ukir Tenas telah berhasil menampilkan motif selembayung menjadi satu di antara ukiran Melayu di Riau.
Sungguhpun begitu, kemampuan otodidak Tenas belum lagi surut. Tenas memperlihatkan lagi kemampuannnya belajar sendiri dalam ketajaman penanya menulis sejarah Riau dalam rentang waktu 1970-1975. Tim penyusunan dan penulisan sejarah Riau berhasil meyakinkan Gubernur Riau Arifin Achmad, agar segera ditulis sejarah Riau. Hal ini sekaligus menjadi tantangan kepada para dosen Universitas Riau, terutama yang menjadi anak jati Riau untuk memperlihatkan kemampuannya. Maka tim sejarah Riau telah didukung oleh para sarjana Universitas Riau seperti Muchtar Lutfi, Suwardi MS, Anwar Syair, Jasarudin, Kailani Hasan, Said Mahmud Umar, Suhartoko dan yang lainnya. Nama Tenas Effendy tercantum sebagai seorang yang tidak menyandang gelar sarjana, apalagi sarjana sejarah.
Dalam penyusunan sejarah Riau ini Tenas boleh dikatakan telah sampai pada titik klimaks otodidaknya. Sebab, benar-benar akan diuji kemampuannya berkarya secara ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu sosial. Sejarah Riau telah ditulis empat babak, yakni zaman kuno, babak nasional, babak internasional dan babak proklamasi. Dari empat babak itu ternyata Tenas bisa ikut serta dalam dua babak, yakni zaman kuno dan babak nasional. Jadi terbuktilah kemampuannya yang cemerlang. Maka, dalam perjalanan karyanya, tidak heran jika akhirnya Tenas Effendy mendapat gelar Doktor Kehormatan dari Universiti Kebangsaan Malaysia.
3. Gudang Pantun Melayu
Sebagai seorang tokoh adat Melayu, Tenas Effendy tentulah melihat dengan kasat mata, bagaimana perjalanan adat resam Melayu dari masa ke masa. Dari hulu yang pernah jaya terus ke muara yang makin suram. Tenas dengan mudah dapat menyaksikan berbagai peranan adat Melayu kehilangan pengaruh begitu rupa. Adat resam Melayu bagaikan runtuh satu demi satu seperti runtuhnya tebing sungai diterjang ombak dan hujan deras. Cahaya budaya Melayu mengalami pasang surut, bagaikan pelita kehabisan minyak, sehingga makin redup tak bercahaya.
Ini terjadi karena beberapa perkara. Pertama, pohon rindang budaya Melayu memang harus dipangkas dahan dan daunnya, karena begitu kusut-masai bercampur dengan Animisme-Hinduisme yang menjadi daki budaya, sehingga kelihatan karut dalam penampilannya. Ini harus dilakukan, agar bisa muncul sinar budaya kebenaran Islam. Sebab, orang Melayu telah pindah dari kepercayaan jahiliyah Animisme-Hinduisme kepada agama Islam yang memberi jalan terang benderang menuju kebenaran.
Karena itu, orang Melayu yang semakin dalam pengetahuan agamanya, menyadari bahwa budaya ini harus ditapis, agar tidak merusak akidah Islam yang tertanam di dalam dada. Budaya Melayu yang terang-terang syirik, memuja kesaktian serta bersandar kepada kekuatan makhluk halus, atau upacara yang dapat merusak iman tanpa sadar, pelan-pelan harus ditinggalkan oleh orang Melayu yang lebih mengutamakan akhiratnya daripada dunia. Mereka ini memang barangkali belum begitu banyak. Tapi mereka insya Allah akan bertambah, karena tidak mau mati demi budaya buatan manusia, tapi bersedia berjihad dengan harta dan jiwanya demi taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, adat resam Melayu diterpa oleh angin badai budaya dunia yang materialis sekuler. Serangannya mendesak bahkan menyingkirkan budaya Melayu yang islami, karena mendapat dukungan dari sistem demokrasi yang telah menampilkan pejabat dan kaki tangan pemerintah yang zalim. Demokrasi dengan mudah menggantikan sistem mufakat orang Melayu yang bersandar adat bersendi syarak, telah membuat orang Melayu kehilangan pedoman yang benar serta cara bertindak yang amanah, sesuai dengan ajaran Islam.
Kehadiran budaya dunia yang hedonis, sekuler, materialistik melalui berbagai media, telah membuat gerak mundur budaya Melayu, dari arah menuju sinar Islam yang cemerlang, berbalik kepada budaya yang vulgar, gemerlap hawa nafsu, memuja diri atau narsis serta jauh dari kesadaran kepada akhlak mulia. Ini berlaku, karena budaya global yang kapitalis munafik itu, hendak menjual apa saja yang dapat mendatangkan uang atau materi. Maka, dengan dalih industri pariwisata, berbagai budaya karut warisan kepercayaan Animisme-Hinduisme segera dipugar oleh para pejabat dan pemilik modal, agar mendapat jumlah kedatangan pelancong atau turis yang nanti diharapkan memperoleh uang. Apa akibatnya terhadap masyarakat Melayu, kepada akhlak dan perangai, bahkan terhadap alam semula jadi, hampir tak pernah diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan, semula budaya Melayu akan bergerak kepada budaya amanah Tuhan, tapi segera menyimpang kepada budaya yang subhat, bahkan budaya kufur.
Ketiga, keberadaan adat bersendi syarak yang pernah kokoh dalam masyarakat adat Melayu dengan perlindungan dari beberapa kerajaan Melayu yang memakai undang-undang atau kanun yang islami, digerogoti oleh hukum dan undang-undang buatan negara yang menentang Syariah Islam, membuat sinar adat bersendi syarak jadi pudar. Saya punya dugaan kuat, ketiga kenyataan ini niscaya memberi pertimbangan yang kuat kepada Tenas Effendy, untuk memelihara kembali pantun Melayu.
Dari sekian banyak budaya Melayu, pantunlah yang ternyata tetap bertahan di tengah arus kuat budaya dunia yang mencabar. Bagaikan pohon kayu yang lemah gemulai bertahan di tengah deras arus banjir yang kuat. Pantun juga terbukti telah memainkan peranan dalam segala dimensi kehidupan serta tingkat umur, sebagaimana ada pantun nasehat, pantun teka-teki, pantun adat, pantun tarekat, pantun anak-anak, pantun orang muda serta pantun orang tua. Pantun merekam nilai luhur orang Melayu, kemudian menyampaikan panduan hidup adat bersandi syarak. Adat yang tunduk dan patuh kepada Syariah Islam, sebagai tajuk mahkota kehidupan.
Pantun lah yang terbaik menyampaikan kata bersayap, agar terkesan indah lagi halus. Pantun amat sesuai dengan cara berpikir metaforik orang Melayu, sebagaimana kata Raja Ali Haji melalui ikat gurindamnya: ‘’jika hendak mengenal orang yang berbangsa, lihat kepada budi bahasa’’. Dengan pantun, orang Melayu mencoba membuat bahasa dengan perlambangan dan kiasan, meniru bahasa Alquran yang tiada tara.
Kehadiran Tenas Effendy menyegarkan kembali pantun Melayu, telah menjadi bukti bahwa pantun memang budaya Melayu yang orisinal dan kokoh tertanam dalam kehidupan orang Melayu di Riau. Terhadap kegiatan ini Tenas punya jalan yang lapang. Tenas tampil bagaikan gudang pantun Melayu, sebab dalam tokoh ini sering hadir dalam berbagai gunak-ganik sosial dengan menampilkan pantun yang menarik. Tenas punya keunggulan daripada tokoh pantun lainnya dalam beberapa perkara. Paling kurang ada lima kelebihan Tenas sebagai pewaris dan gudang pantun Melayu. Pertama, Tenas telah merekam pantun dalam perjalanan hidupnya yang sarat dengan berbagai upacara adat resam Melayu. Baik yang berlaku dalam kalangan bangsawan Melayu, maupun rakyat kebanyakan.
Kedua, Tenas mampu mencatat pantun Melayu dalam berbagai medan kehidupan. Di samping itu tokoh kita ini dapat lagi melakukan ubah-suai terhadap berbagai pantun lama, sesuai dengan semangat hidup masa kini. Ketiga, Tenas ternyata dapat mengumpulkan pantun Melayu dari kalangan Melayu Muda (yang relatif kokoh menganut agama Islam) serta pantun dari Melayu tua, terutama Melayu Petalangan yang kaya dengan dunia fantasi.
Keempat, Tenas Effendy dapat tampil sebagai gudang pantun Melayu, di samping mempersembahkan perbendaharaan yang dimilikinya secara historis, ia juga punya kemampuan yang handal menggubah pantun dalam setiap upacara kehidupan, baik upacara tradisional maupun upacara kehidupan baru masa kini. Kelima, tokoh ini berhasil mengembalikan pantun Melayu bersandar kepada Syariah Islam. Dan hanya dengan bersandar kepada nilai-nilai agama Islam yang terpancar dalam Alquran dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, pantun Melayu mampu menghadapi cabaran budaya dunia yang materialis munafik yang bisa menghancurkan hati nurani orang Melayu.
Dengan demikian kumpulan pantun Melayu Tenas Effendy, terutama yang dibukukan dalam Tunjuk Ajar Melayu, telah menyambung mata rantai sastra Melayu yang menjunjung akhlak mulia, mulai dari Hamzah Fansuri dengan Syair Perahu, diteruskan oleh Tun Sri Lanang dengan Sulalatus Salatin, yakni mutiara segala cerita, cahaya segala perumpamaan, bersambung pada pena Raja Ali Haji dengan Gurindam Duabelas, lalu dilanjutkan lagi dengan karya Tuan Guru Abdurrahman Siddik bin Muhammad Apip, Syair Ibarat Khabar Akhirat dan berlanjut pada abad ini dengan Tunjuk Ajar_Melayu oleh Tenas Effendy.
Inilah bukti ruh Islam dalam budaya Melayu, yakni, semangat hidup yang bersinar oleh akidah yang kokoh dan iman yang teguh. Inilah kekuatan batin yang membentengi para pengarang Melayu sehingga insya Allah terhindar dari tradisi penyair yang pembohong, sebagaimana telah diperingatkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala melalui Surah Asy-Syua’ara ayat 224-227 dalam Alquran.***