1. Pemuda Pertama Riau Jadi Anggota DPRD Riau
Tentu banyak orang mengenal Muchtar Ahmad sebagai ahli perikanan, pertanian tanah gambut, cendekiawan, bahkan juga sebagai birokrat. Ini tak mengherankan. Muchtar Ahmad memang seorang ahli perikanan lulusan Jepang. Disertasinya berbicara mengenai bunyi ikan dalam air, yang tentu dapat digunakan untuk kepentingan nelayan. Dia tampil sebagai cendekiawan, karena banyak buah pikirannya disampaikan dalam berbagai pertemuan ilmiah, maupun perbincangan mengenai masalah kemasyarakatan. Kemudian juga bisa dikesan sebagai birokrat, sebab tenaganya juga banyak dipakai sebagai pemimpin fakultas, pembantu rektor sampai menjadi rektor Universitas Riau. Malah, juga pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Wilayah Riau.
Muchtar Ahmad mendapat peluang menjadi anggota DPRD Riau, ketika anak jati Riau, Arifin Achmad, menjadi Gubernur Riau tahun 1970-an. Ketika itu Muchtar Ahmad baru pulang dari Jepang membawa gelar Master of Science (MSc). Jadi pada masa itu, Muchtar Ahmad merupakan anak jati Riau yang termuda jadi anggota DPRD Riau.
Sungguhpun begitu, Muchtar Ahmad yang bisa merupakan darah segar bagi lembaga perwakilan rakyat itu, namun kehadirannya, hanya bagaikan melemparkan batu ke lubuk. Ini terjadi, karena kebanyakan anggota DPRD itu hanya tukang aminkan kebijakan pemerintah. Mereka tidak lebih daripada topeng yang dapat dipakai untuk berbagai lakon pertunjukan. Watak inilah yang sudah menjadi daki terhadap lembaga tersebut sampai hari ini.
2. Tokoh Gelisah di Belakang Layar
Manusia dengan ikhtiarnya mencoba membuat rekayasa, tetapi yang berlaku adalah kehendak Pencipta Jagad Raya ini. Begitulah, dengan tidak terduga, Muchtar Ahmad bertemu dengan penyair Ibrahim Sattah. Gaya Ibrahim Sattah yang menggelegak dalam pembicaraan budaya diselingi oleh ketawanya yang serak, agaknya telah menyentuh perhatian Muchtar Ahmad terhadap kebudayaan Melayu. Pertemuan Muchtar Ahmad dengan Ibrahim Sattah serta penulis muda Riau lainnya seperti Husnu Abadi, Dasri, Fakhrunnas MA Jabbar dan Tien Marni, segera menaikkan temperatur kreativitas budaya di Riau. Tidak lama berselang, Ibrahim Sattah mendirikan Yayasan Puisi Nusantara dan segera mengadakan acara budaya yang unik yakni ‘’Malam Hopla’’.
Pada ‘’Malam Hopla’’ itulah mulai tersingkap, betapa Riau rupanya adalah lubuk bahasa dan budaya Melayu. Tetapi sampai dewasa itu, hampir tak dikenal dengan memadai oleh anak jati Riau, terutama para pengarang muda. Perbincangan yang berlaku dalam ‘’Malam Hopla’’, telah membuat Muchtar Ahmad tampil sebagai salah seorang peserta serta memberikan pandangannya. Dia cukup tertarik dengan peranan yang pernah dilakukan oleh cendekiawan Riau, oleh Raja Ali Haji dengan pengarang Riau asuhannya yakni para pengarang Rusydiah Klab.
Perbincangan ketika itu, di samping menarik, juga sampai memanaskan emosi para peserta. Hal ini terjadi, betapa Riau yang rupanya punya harga diri demikian rupa, tapi kenyataannya dipermainkan sesuka hati oleh pemerintah pusat. APBN Indonesia ketika itu (1970-an) sepenuhnya bersandar pada hasil minyak Riau. Namur orang Melayu di Riau hidup terlunta-lunta. Puak Melayu Sakai yang tanah ulayatnya kaya dengan kandungan minyak, dihalau ke mana-mana, ketika pipa angguk minyak, harus berdiri di halaman mereka. Masyarakat Melayu di Riau tidak punya sumber daya manusia yang berkualitas, sebab tak ada lembaga pendidikan yang dapat diharapkan di Riau. Tak ada perhatian dari pihak manapun untuk memperhatikan taraf hidup dan kualitas hidup puak Melayu di Riau. Mereka dibiarkan hidup oleh pemerintah pusat bagaikan semak belukar, agar para pejabat, kaki tangan pemerintah, pemilik modal yang serakah, dan yang punya senjata, dapat berburu sesuka hati dalam semak belukar itu, menangkap binatang buruan yang mereka senangi.
Perbincangan ‘’Malam Hopla’’ yang ditaja oleh Yayasan Puisi Nusantara, diikuti oleh mahasiswa, penulis muda dan cendekiawan muda Muchtar Ahmad, telah melahirkan kesadaran baru kepada anak jati Riau. Mereka telah menyadari, bahwa leluhur mereka adalah para ulama, syuhada, cendekiawan dan pemikir yang punya pandangan jernih terhadap kehidupan. Bukan manusia bendawi, makhluk serakah yang harga dirinya hanya sebatas hawa nafsu.
Kesadaran ini harus tertanam pada para penulis Riau, agar mendapat apresiasi yang bening dalam karya-karya yang akan mereka karang, Mereka harus menyadari bahwa ilmu pengetahuan lebih berharga daripada harta benda, sebagaimana dipesankan oleh Ali bin Abi Thalib. Mulia dengan agama Islam yang memberikan ilmu serta akhlak yang terpuji lebih baik daripada kaya raga, tapi hina.
Perbincangan yang berkesan pada ‘’Malam Hopla’’ itu tampaknya sudah menjadi pangkal, mulai berseminya pemikiran budaya dalam diri Muchtar Ahmad. Kesadaran dan minatnya terhadap budaya Melayu semakin bergelora selaras dengan semakin luasnya pergaulan dengan para pengarang Melayu. Muchtar Ahmad segera akrab dengan Idrus Tintin. Niscaya banyak anekdot dalam pergaulan Muchtar Ahmad dengan Idrus Tintin. Muchtar Ahmad bergaul lagi dengan Ediruslan Pe Amanriza, seorang pengarang Melayu yang tampan, punya suara berat dengan tawa yang indah. Selepas itu dengan segera berkenalan lagi dengan BM Syamsudin dan Hasan Junus, yang tentu mereka akan berbual sambil mengisap rokok. Meskipun Muchtar Ahmad tidak merokok, tapi tak pernah terbayang ketidaksukaan Muchtar Ahmad terhadap kedua sahabatnya itu. Mereka akan berbual tentang budaya dengan hangat, meskipun dikerubungi oleh asap rokok.
Pertemuan budaya ‘’Malam Hopla’’, yang mempertemukan para penulis dan pengarang Riau, agaknya telah menyebabkan Muchtar Ahmad kena virus budaya Melayu. Semenjak itu hatinya gelisah menyaksikan keadaan masyarakat dan budaya Melayu di Riau. Sungguhpun begitu, dia tokoh gelisah di belakang layar. Dia bukan gelisah sebagai penonton, yang berada di depan layar menyaksikan jalannya pertunjukan. Karena dia memandang dirinya bukan sebagai penonton. Muchtar Ahmad berada di belakang layar, di mana para pemain bertukar pakaian dan berbincang tentang penampilan selanjutnya. Dia ikut gelisah ketika jalannya pertunjukan tidak memadai dan lebih-lebih tidak memberi makna kepada penonton. Karena itu dia terpaksa ikut bicara dengan mereka di belakang layar, agar dapat diperbaiki penampilan selanjutnya.
Ketika Pusat Kajian Kebudayaan Melayu Universitas Riau berpindah tangan dari Dasri kepada Yusmar Yusuf, tampaknya Muchtar Ahmad cukup gembira dengan kemampuan Yusmar Yusuf memegang teraju pusat kajian itu. Dalam pegangan Yusmar Yusuf, berbagai kegiatan budaya Melayu ditampilkan. Mulai dari perbincangan budaya, pergelaran seni, kunjungan budaya serta gabungan berbagai kegiatan, terutama yang berlaku di Batam, sebagai negeri Melayu yang telah menjadi pusat dagang dan industri di Asia Tenggara.
Sungguhpun begitu, ketika Yusmar Yusuf menyerahkan teraju pusat kajian itu kepada tangan selanjutnya, kegelisahan Muchtar Ahmad kembali memuncak. Sebab, kreativitas budaya yang sudah mulai membaik dengan tetak tangan Yusmar Yusuf, malah kembali meredup. Maka, Muchtar Ahmad mencoba mencari beberapa jalan dan cara, bagaimana lagi budaya Melayu di Riau dapat lagi berkibar. Dia mendirikan penerbit yang bernama Unri Press. Semasa dia menjadi rektor, penerbitan ini telah berkembang cukup bagus dan ada tanda akan semakin jaya. Tetapi setelah dia tidak lagi memimpin Universitas Riau, Unri Press kembali lesu. Ini tentu menjadi beban kegelisahan lagi bagi Muchtar Ahmad. Kasihan dia, gelisah di belakang layar. Haruskah dia tampil dalam pertunjukan?***
Tulisan ini dimuat dalam buku Muchtar Ahmad Sang Pionir, buku yang diterbitkan sempena Muchtar Ahmad menempuh usia 70 tahun pada 9 September 2015.