Pekanbaru, Ahad 25 Oktober 1997
Bung TA Sakti yang tekun dan kreatif,
Saya sudah menerima sejumlah karya Bung, berupa bermacam alih tulis naskah-naskah lama Aceh, yang semuanya cukup menarik. Jika Bung suka mendengar pertimbangan dari saya, maka saya kira alangkah baiknya jika karya-karya itu tidak hanya sebatas bahasa Aceh, tetapi dibuatkan lagi di belakang atau di bawah tiap bait (untai) syair itu terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Jika ini dilakukan, maka jangkauan pembaca karya Bung akan sangat luas, yakni seluas masyarakat yang dapat memahami bahasa Melayu-Indonesia. Ini tentu dapat dilakukan dalam cetak ulang. Kemudian juga sebaiknya ada semacam pengantar dari Bung, yang bisa memberikan tentang seluk-beluk naskah itu, sekitar 2-3 halaman, seperti tentang pengarang, usia naskah, tempat ditemukan, keadaan naskah, versi naskah dan sebagainya.
Jika ini dilakukan, maka tentu karya Bung dapat dikutip oleh sejumlah peneliti atau penulis. (Sayang hal itu belum teringat, tapi kita belum terlambat).
Melihat harga buku yang Bung terbitkan, amat besar kemungkinan bisa dibeli oleh kalangan yang luas. (Kelemahannya barangkali paling kurang adalah seperti saya katakan di atas).
Sebagai bandingan, buku saya Orang Melayu di Riau, dijual paling kurang Rp7.500 (175 halaman HVS 60 gram, gambar kulit 3 warna) sedangkan buku saya tahun ini Cakap Rampai-rampai Budaya Melayu di Riau, juga dijual Rp7.500 (125 halaman HVS 70 gram, gambar kulit 5 warna).
Dari situ saya bisa mendapat keuntungan kotor lima ribu per buku. Pasaran buku saya, terutama mahasiswa, dosen dan peneliti (termasuk peneliti asing), tamu-tamu dari Malaysia, guru-guru sekolah dan perpustakaan yang dapat saya kunjungi.
Bagi Bung saya kira, sekolah-sekolah amat potensial untuk membeli buku-buku itu. Bung harus segera bekerjasama (hubungi) Kanwil P dan K Aceh. Bicarakan buku ini sebagai muatan lokal, yang sekarang cukup hangat. Kalau perlu Bung lakukan seperti saya perbuat.
Saya bersedia memberikan penataran muatan lokal sambil memperkenalkan buku-buku saya kepada guru Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah. Jika tiap sekolah membeli untuk pustaka, sudah berapa buku Bung bisa terjual? Tiap ada pameran, Bung jangan lalai mengambil kesempatan.
Saya amat tertolong, tiap tahun (17 Agustus) selalu ada pameran, termasuk buku-buku oleh Pustaka Wilayah. Buku saya selalu jadi andalan mereka untuk dipamerkan. Maka saya mendapat promosi yang murah, tapi amat efektif. Tiap saya memberikan seminar, buku saya juga selalu saya jual, kalau perlu dengan harga agak rendah, demi kepentingan pemasaran.
Jadi, Bung punya peluang untuk memasarkan buku untuk berbagai jurus: Pustaka Wilayah, pustaka sekolah, guru-guru, kalangan mahasiswa, para peneliti dan sebagainya. Coba turunkan ulasan tentang buku-buku ini pada suratkabar di Aceh. Coba misalnya Rusdi Sufi menulis untuk itu.
Ini tentu amat berguna. Kemudian Bung kan sudah lama membantu Balai Kajian Tradisional Aceh yang dipimpin Rusdi. Mengapa kalian tidak melakukan berbagai seminar, yang ketika itu Bung dapat memasarkan karya Bung. Saya sudah 3 kali memberikan seminar untuk Balai Kajian Tradisional Melayu. Tiap seminar, buku saya terjual sekitar Rp300 ribu.
Saya kira, penerbit buku Bung hendaknya juga diperhatikan. Dulu kan saya beri saran. Apa tak mungkin diterbitkan atas nama misalnya Unsyiah Press atau Arraniry Press. Buku saya sebagian diterbitkan atas nama Unri Press, Unilak Press, Bumi Pustaka, Payung Sekaki dan sebagainya.
Ternyata ada percetakaan mau kerjasama dengan Bung. Walaupun imbalannya agak rendah, tapi daripada karya kita tidak beredar atau tidak terbit, saya kira tidak jadi soal. Bung sebagai pemula, jangan berpikir bahwa jadi pengarang atau penulis itu akan segera jadi kaya.
Tanggungjawab kita ialah tanggungjawab moral, akademis dan budaya. Serta di atas segalanya sebagai amal saleh di sisi Tuhan. Kita bukan pengarang komersial, yang tidak mencari nilai, kecuali kebendaan semata.
Demikianlah dulu,semoga ada gunanya bagi Bung.
Wassalam
UU Hamidy