Bagaimana kadar agama Islam dengan manifestasi ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial budaya orang Melayu, telah memberikan semacam tesis, betapa agama samawi itu telah dipergunakan untuk pembentukan pandangan hidup, sikap dan tingkahlaku. Karena agama Islam menjadi faktor utama dalam pembentukan pandangan hidup, maka ajaran itu tentu dijadikan pula untuk menafsirkan realitas kehidupan yang dihadapi oleh orang Melayu.
Mula-mula orang Melayu menafsirkan alam kehidupannya dengan latar belakang pengaruh sosio-historis kepercayaan primitif dan Hindu-Buddha. Selepas itu muncullah penafsiran dengan agama Islam, karena dengan agama inilah orang Melayu merasa sanggam menafsirkan kehidupan ini.
Dengan menafsirkan realitas kehidupan dari sudut agama Islam, maka ujud sikap dan tingkahlaku orang Melayu telah diwarnai oleh agama tersebut, dalam arti berbagai kegiatan sosial dan pribadi merupakan suatu gerak hidup dalam rangka bertakwa kepada Ilahi. Kadar tingkahlaku budaya yang bernafaskan Islam itulah yang telah membuat kebudayaan Melayu menjadi satu di antara 5 cabang kebudayaan Islam di muka bumi.
Karena orang Melayu melihat awal dan muara kehidupan berakhir kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka orang Melayu juga telah mempunyai persepsi bagaimana sebenarnya dirinya sendiri (sebagai makhluk) begitu dekat kepada Tuhan (sebagai Khalik, Pencipta). Tuhan telah menciptakan alam raya ini dalam ujud berbagai unsur, sehingga dalam pandangan orang Melayu, manusia juga telah diciptakan oleh Tuhan dari 4 unsur pokok dalam alam ini : air, udara, tanah dan api). Itulah sebabnya dalam ilmu obat-obatan orang Melayu keempat unsur itu menjadi bagian-bagian yang diperhitungkan.
Selepas itu, setelah manusia ujud sebagai makhluk, maka generasi selanjutnya dalam pandangan orang Melayu berpangkallah dia kepada 4 sisi : ibu, bapak, malaikat dan Tuhan. Dari pihak itu manusia dipandang mendapatkan unsur-unsur yaitu urat, daging, darah dan tulang. Dari pihak bapa, seorang mendapatkan unsur otak, benak (otak besar) hati dan jantung. Dari malaikat manusia mendapatkan gerak-gerik, rasa dan perisa. Tetapi semua itu baru mempunyai denyut kehidupan apabila Sang Khalik (Tuhan Pencipta) memberikan ruh, sehingga nafas menjadi gerak kehidupan baginya.
Karena pada hakikatnya jarak antara manusia dengan Tuhannya cukup dekat, maka orang Melayu telah memandang Tuhan dalam hubungan yang begitu intim. Tuhan tidak perlu lagi dipanggil dengan redaksi kebesaran-Nya, tapi dapat saja dipanggil dengan sebutan Engkau, atau langsung dipanggil nama-Nya Allah dengan tidak memberikan tambahan atau simbol apa-apa seperti Gusti, Kanjeng, Duli dan sebagainya. Inilah bahasa doa orang Melayu, bahasa yang begitu mesra dalam berhubungan, berdialog dan mengadukan segala peri kehidupannya kepada Sang Khalik, sebab Dia adalah Maha Rahman, Maha Rahim, Maha Pengampun, serta dapat berbuat apa saja.
Hidup yang bertakwa kepada Tuhan dalam pandangan orang Melayu di Riau, adalah hidup dalam kebenaran. Sebab, hanya dengan kebenaran itu orang dapat hidup mulia. Kebenaran itu tidak hanya sekedar diakui dalam hati atau diucapkan dengan lidah, tapi terlebih-lebih harus ujud dalam tingkahlaku atau perbuatan. Sebab kebenaran yang di dalam hati merupakan hakikat cahaya Allah, sedangkan perbuatan eksistensi lahiriah kebenaran.
Kebenaran itu jugalah yang akan menentukan besar kecilnya seseorang dalam pandangan sosial budaya masyarakat. Maka kata Raja Ali Haji, ‘’orang besar itu ialah orang yang menjaga budi pekerti’’, sebab pengejawantahan dari kebenaran dalam segala perbuatan, akan memancarkan perangai yang mulia. Untuk memperhalus tingkahlaku menjadi budi bahasa, tabiat yang lemah lembut, maka puisi-puisi Melayu (pantun, gurindam, syair dan bermacam peribahasa) dipergunakan untuk latihan ruhani, agar dapat menyelami keagungan Tuhan, serta meresapi bagaimana kemuliaan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai utusan Allah.
Meskipun pada mulanya ketakwaan berawal dari keimanan yang kemudian dikokohkan oleh akal pikiran, namun keindahan dan kebahagiaan iman hanya akan dapat dirasakan melalui proses batiniah, penghalusan cita dan rasa, penajaman pandangan hati (tajalli), renungan yang dalam serta tiada putus akan memuji kebesaran Allah dengan selalu penuh harap akan rahmat dan rahim-Nya. Hati sebagai tempat bersemayam cahaya Ilahi, telah diletakkan di tengah-tengah tubuh manusia agar mampu menjadi penimbang antara kebajikan dan kejahatan, sebab hatilah yang akan menjadi saringan segala keinginan manusia.
Karena ketakwaan hidupan manusia terhadap Tuhannya terletak pada aspek keruhanian sebagai basisnya, maka jasmani dan bendawi hendaklah dipandang sebagai alat untuk ketakwaan itu. Hal ini menjuruskan padangan orang Melayu untuk memandang lebih dahulu segi-segi ruhaniah pada dirinya, baru kemudian aspek lahiriah. Dalam pandangan orang Melayu tersirat, bukan jasmani yang sehat yang membuat ruhani yang waras, tetapi ruhani yang waraslah (dalam arti mengenal dan memuji Tuhannya) yang akan mampu membentuk jasmani yang sehat.
Pandangan serupa itu melatarbelakangi bagaimana marwah atau harga diri orang Melayu. Harga diri orang Melayu pertama-tama telah ditentukan oleh segi-segi ruhaniah dengan rujukan agama Islam, yang terpancar melalui sikap dan tingkahlaku. Jika dia seorang yang beriman atau bertakwa kepada Tuhannya, maka hendaklah dari diri serupa itu terpancar kejujuran, sederhana, ikhlas dan tertib untuk memberikan tanda-tanda lahiriah dari keadaan batiniah itu.
Karena itu, dalam sifat ketakwaan, harta benda bisa menjadi beban. Inilah yang mendorong orang Melayu untuk mencari harta benda sekedar yang diperlukan, agar harta benda yang banyak tidak berubah menjadi beban yang akan menyiksa. Sementara itu, harta juga dilihat belum tentu menjamin kehidupan, yang diyakini ialah kehidupan (yang bertakwa) yang akan menjamin keperluan harta benda atau makan minum.
Memandang harga diri dalam citra ruhaniah yang mengabdi kepada Tuhan, maka marwah yang mulia seyogianya tidak jatuh oleh kebendaan atau oleh nafsu jasmani yang rendah. Setiap kebajikan hendaklah disampaikan seluas-luasnya kepada masyarakat. Sebaliknya kejahatan hendaklah diredam dengan suara yang bijaksana.
Tiap pertemuan atau kontak sosial sesama orang Melayu diikuti dengan tegur sapa. Tegur sapa adalah manifestasi kemesraan dan kerendahan hati. Tetapi setelah orang Melayu memeluk agama Islam, ucapan ‘’Assalamulaikum’’ menjadi pembuka tegur sapa yang amat penting dalam pergaulan sosial. Ucapan salam itu dipakai hampir dalam setiap bertemu muka, seperti bertamu, membuka rapat, memulai upacara dan sebagainya. Seterusnya, bagian penutup dari kegiatan sosial itu juga ditutup dengan maaf dan salam.
Ini memberi pertanda bahwa mereka di mana-mana mengharapkan keselamatan, rahmat (pemberian) dan hidayah (keberuntungan) dari Allah. Jika suatu temu muka salah seorang menyampaikan undangan, maka yang menerima undangan telah menerimanya dengan ucapan terima kasih, lalu berkata ‘’Insya Allah’’ untuk memenuhi undangan itu. Mereka tidak berani memberikan janji dengan kata ‘’ya’’, sebab hal itu tersirat oleh orang Melayu sebagai mengandung arti mendahului kehendak Allah.
Dengan perkatan Insya Allah (jika Allah menghendaki) mereka pandang terkandung dalam perkataan itu, karena segala sesuatu selalu memang harus dipulangkan kepada-Nya. Versi lain dari ucapan ketakwaan itu ialah ‘’jika panjang umur’’, ‘’tak ada halangan sakit mati’’. Mereka juga tidak merasa aman memulai pekerjaan tanpa ucapan ‘’Bismillah’’. Ucapan itu dipandang sebagai suatu cara mendapatkan keselamatan dalam tiap kegiatan, sehingga kita akan tentram mengerjakan sesuatu.
Karena ketakwaan terhadap Tuhan diartikan juga sebagai penjelajahan mendekati Zat Yang Maha Tinggi itu dengan cara mengerjakan suruhan dan menjauhi larangan Allah dan Rasul, maka ketakwaan terhadap Tuhan itu harus dapat menumbuhkan persaudaraan, keselamatan dan kesejahteraan lahir dan batin. Tanda-tanda persaudaraan itu dalam pandang sosial orang Melayu, paling kurang merujuk kepada 3 perkara : harta, tenaga dan pikiran (ilmu).
Persaudaraan harus ujud paling kurang satu di antara 3 aspek itu. Jika seseorang tidak dapat membantu saudaranya dengan harta, hendaklah dia membantunya dengan tenaga. Jika tak dapat dengan tenaga, bantulah dia dengan pikiran atau ilmu. Atau sebaliknya jika tak dapat memberikan pikiran, berikanlah harta, jika tidak juga tenaga, berikanlah harta. Sedangkan bantuan yang sempuma kepada saudaranya Itu tentulah yang meliputi harta, tenaga dan ilmu.
Dengan demikian perjalanan hidup manusia dalam dunia Melayu yang menganut agama Islam di Riau, akan tampak sebagai suatu daya upaya menunaikan amanah Tuhan. Jika hidupnya kelak telah berakhir, maka dia hendaklah meninggalkan bekas kehidupan yang baik seperti pepatah Melayu : ‘’gajah mati meninggalkan gading’’. Kematiannya janganlah hendaknya meninggalkan keburukan, bak harimau mati meninggalkan belang. Hidup harus meninggalkan jasa yang baik, sebab jika hidup tidak berjasa ibarat hutang nan ndak lansai.
Karena hidup dan mati akan bermuara kepada-Nya, maka kematian yang diharapkan oleh orang Melayu ialah hidup yang berakhir dengan ucapan kalimah Allah ‘’Laa ila ha illallah’’, tiada Tuhan melainkan Allah.***
(Ketakwaan Orang Melayu, UU Hamidy)