Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Ragam Penampilan Teks Tulisan dalam Masyarakat, Oleh: UU Hamidy

Ragam Penampilan Teks Tulisan dalam Masyarakat, Oleh: UU Hamidy

Paling kurang ada 5 macam gaya penampilan teks tulisan dan lisan dalam masyarakat Melayu di Riau. Pertama, kitab hikayat atau syair dibacakan dengan suara yang merdu; boleh memakai iringan rebana (gendang) atau tidak. Pada masa dulu juga dipakai talam sebagai pengganti gendang. Dalam bentuk penampilan ini naskah yang disebut juga dengan matan (motan) mula-mula dibacakan oleh seorang seniman, kemudian diikuti oleh seniman atau tukang kayat (syair, berdah) dan yang lain.

Cara ini lazim dipakai oleh pegelaran berdah yang berisi cerita kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Gaya ini hampir dapat dijumpai di seluruh pelosok daerah Riau. Bacaan oleh seorang seniman syair untuk para pendengar (tanpa diikuti bersama-sama oleh seniman lainnya) banyak dilakukan untuk memperdengarkan syair-syair karya Raja Ali Haji dan para penyair lainnya selepas beliau. Penampilan serupa itu banyak dilakukan di daerah Kepulauan Riau, terutama di pulau Penyengat Inderasakti, bekas kedudukan Yang Dipertuan Muda Riau.

Cara yang ke dua, teks tulisan itu dibacakan dengan suara yang merdu juga oleh seorang seniman, tetapi dengan diberi selingan. Setelah beberapa bait hikayat atau syair dilagukan, seniman yang biasanya mempunyai pengetahuan agama Islam, memberikan penjelasan terhadap rangkai syair yang dilagukannya. Penjelasan atau selingan itu biasanya berhubungan dengan agama Islam, hidup dan mati sebagai seorang muslim.

Karena itu penjelasan atau tambahan ini dihubungkan oleh seniman tersebut dengan Al-Qur’an, hadits dan tarikh Islam. Ragam ini misalnya dilakukan terhadap syair-syair yang berhubungan dengan para nabi, seperti Hikayat Tengkorak Kering (versi lain Hikayat Raja Jumjumah) yang dihubungkan dengan cerita Nabi Isa Alaihi Salam. Penampilan ini dapat dijumpai di daerah Rantau Kuantan, seperti yang dilakukan oleh Rajudin sebagai ulama seniman yang membawakan Hikayat Tengkorak Kering tersebut.

Dalam cara ke tiga, beberapa teks yang telah dituliskan atau dicetak, dihafal oleh para seniman. Teks yang dihafal ini antara lain Hikayat Hasan dan Husin (versi Hikayat Hanafiah), Syair Kanak-kanak, Ratap Siti Fatimah, koba (kisah-kisah tentang raja atau pahlawan dalam citra Islam) dan berbagai karya sastera Islam lainnya. Karena sudah hafal, maka penampilan boleh dikatakan hampir 100 persen lisan, sehingga terbuka peluang memberikan tambahan, berupa kata-kata dan beberapa sisipan.

Ragam yang ke empat berupa bermacam perbendaharaan puisi yang lazim menjadi teks lisan dipilih dan diperbaiki demikian rupa, lalu dilagukan sesuai dengan selera khalayak yang mendengarnya. Pantun-pantun ini juga biasanya dibawakan oleh seniman hikayat atau tukang kayat dalam bentuk rangkaian peristiwa sosial budaya, sehingga bisa menggambarkan suasana kehidupan semasa (sehari-hari) di daerah tersebut. Sebab itu, realisasinya bisa memberikan sindiran, lawak dan tragedi. Gaya penampilan ini amat subur sekali di daerah Rantau Kuantan; terkenal dengan nama kayat pantun, dibawakan oleh dua orang tukang kayat, Jumat dan Juman.

Dalam ragam yang ke lima, seorang seniman Melayu di Riau dengan sengaja membuat cerita (yang sebagian terdorong oleh suasana yang sedang berlaku) dan langsung diceritakan dalam tempat-tempat pertemuan seperti kedai kopi atau tempat lainnya yang digunakan untuk beristirahat sambil berbual-bual. Cerita itu membuat suasana pertemuan menjadi lebih segar, karena banyak di antara cerita itu berupa cerita-cerita pandir.

Hampir setiap kampung orang Melayu akan kita jumpai pembuat cerita pandir ini. Tetapi seorang di antaranya yang amat terkenal (yang meninggal tahun 1980-an) ialah Yong Dolah, tukang cerita yang amat terkenal di daerah Bagan Siapi-api. Begitu terkenalnya cerita-cerita Yong Dolah ini, sehingga sudah menjadi sebutan orang ramai dengan cerita Yong Dolah.

Satu di antara tanda cerita serupa ini (terutama cerita Yong Dolah itu) ialah susunannya yang begitu sederhana, tidak begitu panjang, sehingga bagaikan cerita-cerita telapak tangan seperti cerita humor para sufi. Kehadiran tokoh-tokoh cerita seperti Yong Dolah tersebut memberi bukti kepada kita, bagaimana model cerita Melayu seperti Pak Belalang dan Pak Pandir, masih berlanjut sampai hari ini. Cerita-cerita semacam ini tampaknya berisi kadar kritik sosial, sehingga selalu akan menarik setiap ditampilkan oleh tukang cerita.***

(Teks dan Pengarang di Riau, UU Hamidy)

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *