Ulama ini lahir kira-kira tahun 1913. Ketika tulisan ini dibuat tahun 1988, umur beliau sekitar 75 tahun. Beliau pernah sekolah rendah zaman Belanda, selepas itu melanjutkan pada madrasah Darul Muallimin yang berdiri sejak 1919, dengan pimpinan Haji Abdul Malik.
Tidak diketahui dengan jelas identitas ulama ini, sebab beliau telah menjadi yatim sejak kecil. HM Nur Mahyuddin merupakan murid pertama di Darul Muallimin. Beliau telah belajar di madrasah itu sekitar 10 tahun dan tamat sekitar tahun 1928. Beliau lambat menamatkan sekolah madrasah sebab baru kelas dua saja beliau sudah diberi tugas sebagai guru bantu oleh gurunya Haji Abdul Malik.
Madrasah Darul Muallimin pimpinan Haji Abdul Malik terganggu kemajuannya karena kedatangan Jepang yang kemudian disusul oleh agresi Belanda. Selepas itu, dikumpulkan lagi semua orang patut di daerah Bangkinang, membicarakan bagaimana masalah pembinaan umat, terutama generasi muda membicarakan umat Islam. Akhirnya disepakati, untuk mendirikan sebuah madrasah. Haji Abdul Malik tampil sebagai wakil umat, menyerahkan secara simbolik tanggung jawab itu kepada Haji Muhammad Nur Mahyuddin. Maka didirikanlah oleh HM Nur Mahyuddin madrasah Daarun Nahdhah dengan sokongan masyarakat, tanggal 15 Agustus 1948.
Tokoh ini mempunyai 8 orang anak. Semuanya menamatkan Daarun Nahdhah. Kepada semua anaknya beliau berpesan, ‘’Kalian harus jadi ulama, dalam arti mengajarkan agama Islam.’’ Ada seorang anaknya ingin masuk Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri, tapi dilarang oleh Buya. Sebab kata beliau, ‘’PGA tidak bisa mencetak ulama.’’ Lima orang di antara anaknya menjadi guru dan bisa berperan sebagai ulama.
Daarun Nahdhah tidak akan dinegerikan. Itulah pendirian ulama ini, untuk menggantikan Buya meneruskan madrasah ini, seorang anaknya tamatan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah mulai bekerja sebagai guru dan sekaligus sebagai wakil beliau. Kepada sang anak calon pengganti itu, beliau berkata, ’’Kalau ikut saya, ikut 100 persen. Kalau mau cari jalan hidup lain, silakan.’’
Buya Nur Mahyuddin tidak keberatan menerima bantuan pihak pemerintah, seperti biaya perbaikan gedung, guru-guru dan buku-buku, asal tidak mengikat sifatnya. Meskipun guru-guru kelak akan makin banyak guru subsidi (pemerintah), tetapi kepala madrasah harus tetap berstatus swasta.
Pertimbangan ulama ini untuk mempertahankan status Daarun Nahdhah sebagai lembaga pendidikan swasta, berdasarkan kepada perhitungan betapa madrasah ini dalam perkiraan beliau akan hancur, jika telah dinegerikan. Sebab kata beliau, jika guru-guru semuanya telah digaji oleh pemerintah, maka tugas guru akan diabaikan, sehingga sekolah akan mundur. Mengapa demikian? Karena kenyataannya, kata beliau, tidak pernah dihubungkan kemajuan sekolah dengan gaji guru oleh pihak pemerintah.
Sebaliknya, jika sekolah status swasta, akan berusaha terus meningkatkan mutu pendidikannya, agar makin banyak murid yang masuk, yang pada ujungnya akan mempengaruhi honor bagi guru-gurunya. Jika Daarun Nahdah telah mati, agama akan mundur di daerah Bangkinang, sebab ulama akan surut dan hilang di daerah itu. Padahal menurut hemat Buya ini, sekolah agama adalah karcis masuk surga, sebab tiap orangtua akan ditanya oleh Allah tentang pendidikan anaknya, apakah diajarkan agama atau tidak.
Mengenai arah perkembangan sekolah-sekolah umum yang makin jauh terseret ke arah kepentingan dunia saja, Buya Nur memberikan komentar, ‘’Kami tidak akan terpengaruh oleh apa-apa yang terjadi di luar. Kami jalan terus mencetak ulama yang merdeka, tidak terikat kepada pemerintah dan golongan tertentu, sebab sekolah agama ini adalah milik kita bersama.’’ Bahkan mengenai jumlah sekolah negeri yang makin bertambah terus jumlahnya, Buya ini melihat tidak akan mendesak Daarun Nahdhah. Malah dalam penilaian ulama ini, Daarun Nahdhah semakin mendapat pasaran.
Karena pendirian yang kuat itulah, tokoh ini beberapa kali menolak tawaran pihak Departemen Agama, untuk mengangkat beliau sebagai pegawai negeri. Juga sewaktu beliau digoda untuk menjadikan madrasah asuhannya dijadikan sekolah umum, dengan cara memindahkan pelajaran agama ke surau, beliau memberikan reaksi, ‘’Tidak bisa. Saya tetap keduanya : mencetak ulama dan tenaga untuk negara.’’
Sedangkan untuk mengokohkan pendiriannya menolak tawaran menjadi pegawai negeri, beliau berucap sebagai berikut : ‘’Saya ini ibarat puasa, sudah pukul lima petang. Saya mendidik ulama melakukan perintah Allah, sekaligus juga perintah negara. Kalau jadi pegawai, saya tidak melakukan perintah Allah, sebab terikat kepada pemerintah. Saya tidak melihat pegawai negeri itu sebagai jaminan hidup. Jaminan hidup saya bukan dari pemerintah tetapi dari Tuhan. Kalau kita mengikuti perintah Allah, tentu kita akan ditolong-Nya. Rezeki dari Tuhan itu walau sedikit harus diterima dengan lapang dada. Kalau banyak ya alhamdulillah. Kewajiban saya adalah terhadap Tuhan dan juga dengan sendirinya terhadap negara. Lihatlah bagaimana Daarun Nahdhah hidup terus karena pertolongan Allah.’’ (bersambung)
(Sikap dan Pandangan Hidup Ulama di Riau, UU Hamidy)