Pekanbaru, 8 Sya’ban 1429 Hijrah
10 Agustus 2008 Masehi
Yth Bung TA Sakti di Darussalam, Aceh.
Surat ini memang pantas ditulis atas pertimbangan beberapa perkara. Pertama, jika masih ada umur, insya Allah bulan depan kita melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Karena itu, melalui surat ini saya menyampaikan selamat melakukan ibadah Ramadhan kepada Bung serta keluarga. Semoga ibadah ini menambah kebajikan dalam umur kita. Dan selanjutnya, insya Allah kita dapat berhari raya Idul Fitri sehingga sekali lagi saya ucapkan pula selamat hendaknya Bung dan keluarga mencapai pintu gerbang rahmat Allah yang tiada terhingga itu.
Kita harus bicara seperti ini, sebab d u n i a pada hakikatnya semakin menjauh sementara akhirat semakin mendekat. Maka sebenarnya, seperti telah saya utarakan dalam surat-surat terdahulu, dalam pandangan dakwah serupa itulah saya tergerak lagi menulis mengenai hikayat Aceh.
Coba Bung bayangkan, sudah lebih dari 30 tahun (yakni terhitung sejak tahun 1975) saya mempelajari hikayat Aceh. Kemudian dengan tidak terduga Bung membicarakan lagi tentang hikayat Aceh kepada saya tahun 2007 melalui berbagai kegiatan dan jerih payah yang Bung lakukan.
Saya termenung, membayangkan Aceh tahun 1974, membayangkan Pak Anzib Lamnyong mengumpulkan hikayat yang amat besar artinya bagi kajian saya. Juga teman lain seperti Talsya, Syekh Rih, Pak Ali Hasjmy dan banyak lagi.
Saya bermukim di Aceh di kampung Darussalam, bergaul dengan saudara seiman bagaikan saudara sendiri. Bahkan setelah saya kembali ke Pekanbaru, saya masih menjadi pembantu khusus majalah Sinar Darussalam sampai majalah itu berhenti terbit.
Kalau begitu, saya sebenarnya s i a p a di Darussalam Aceh. Darussalam Aceh sudah saya rasakan sebagai kampung halaman saya. Tak heran jika Pemda Aceh ketika itu menawarkan kepada saya melalui Gubernur Muzakkir Walad dan Ibrahim Hasan Rektor Unsyiah bahwa mereka bersedia menerima saya menjadi tenaga pengajar di Unsyiah. Silakan pindah dari Pekanbaru ke Darussalam. Dan tiap Pak Ali Hasjmy ke Pekanbaru, dia niscaya mencari saya untuk bertemu, lalu kepada sesama warga Aceh, saya diperkenalkan sebagai warga Aceh–orang Aceh yang tinggal di Pekanbaru.
Jadi bagaimana saya bisa melupakan hikayat Aceh begitu saja. Tulisan saya tentang hikayat Aceh, baik yang melalui buku saya maupun yang diterbitkan pihak lain seperti Seulawah dan Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia terbitan Al Ma’arif Bandung dengan editor A Hasjmy sudah mendunia. Kajian hikayat Aceh telah memberi bahan bahkan juga gagasan kepada saya untuk memperhatikan dunia sastra Melayu, sehingga saya mendapat peluang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala menulis tentang dunia Melayu lebih dari 50 buah buku.
Bung TA Sakti, jadi begitulah keistimewaan hubungan saya dengan hikayat Aceh serta masyarakatnya. Lalu berselang 30 tahun, keadaan itu seakan Bung panaskan lagi. Maka itulah yang terjadi. Saya membuka lagi sejumlah kartu-kartu hikayat Aceh yang masih saya simpan. Hasilnya itulah lebih kurang 7-8 tulisan pendek mulai dari ‘’Lain Ditulis Lain Dibaca’’ (tentang Pak Anzib Lamnyong, semacam anekdot) sampai ‘’Tipologi Manusia dalam Hikayat Aceh’’.
Maka, rasanya j a d i l a h serupa itu saya menyambut gegap gempita kreativitas Bung yang membara terus. Saya sendiri tak mungkin lagi menulis seperti dulu karena sesuai dengan sunnatullah apa-apa yang ada pada manusia akan lenyap dan binasa dan hanya yang berada di sisi Allah-lah yang kekal abadi.
Sebab itu, kalau selepas ini tak ada lagi tulisan saya mengenai hikayat Aceh, janganlah Bung kecil hati dan kecewa. Itu bukanlah suatu kehendak yang sengaja, tetapi semata-mata sesuai dengan kudrat dan iradat Allah. Kemampuan saya berdakwah melalui hikayat Aceh tentu ada batasnya. Sebab itu, jika kemampuan ini hendak diperpanjang maka seperti saya sampaikan kepada Bung dan juga teman kita LK Ara, jalan yang dapat ditempuh ialah menerbitkan lagi semacam Seulawah jilid II, yang buat sementara saya sederhanakan judulnya: ‘’Bunga Rampai Hikayat Aceh’’.
Di dalamnya termuat 1) sejumlah tulisan mengenai hikayat Aceh yang agaknya beberapa di antara tulisan pendek saya yang 7-8 itu dapat dimasukkan di dalamnya. 2) Gambaran umum tentang budaya Aceh yang islami, yang meliputi berbagai cabang budaya. 3) Inventarisasi judul-judul hikayat Aceh (naskah lama Aceh). 4). Daftar judul kajian (buku) mengenai Aceh, teristimewa mengenai hikayat Aceh. 5). Rancangan ke depan untuk memelihara sastra dan budaya Aceh.
Buku ini dapat ditaja oleh 3 pihak yakni Pemda Istimewa Aceh cq Bidang Pendidikan/Budaya, Balai Bahasa Aceh dan Lembaga Adat Aceh. Jika buku samacam itu dapat diterbitkan, niscaya akan menjadi buku penting (pokok) untuk mata pelajaran muatan lokal di Aceh. Menjadi buku cenderamata bagi pelancong yang datang ke Aceh. Dan di atas segalanya inilah juga cara kita umat Islam menampilkan ketinggian ajaran Islam, yang mampu memberikan p e n c e r a h a n sepanjang masa.
Bung TA Sakti, hari sudah rembang petang. Bila saya mendapat panggilan menghadap-Nya, barang kali tidak akan ada surat atau berita kepada Bung. Sebab itu marilah kita sama-sama berharap dan berdoa kepada Allah agar pergaulan dan persaudaraan kita selama ini diridhai Allah. Semoga menjadi tambahan kebajikan bagi kita, apa-apa yang telah kita tulis dengan niat bertasbih memuji Allah.
Selamat beribadah dan berkarya, semoga Bung dan keluarga selalu dalam perlindungan, taufik dan hidayah-Nya, yang tiada putus dan terhingga. Amin.
Wassalam
UU Hamidy