Penghargaan dan saling menghargai antara sesama pada masa dulu di Kuantan Singingi tidak hanya dalam batas-batas kepentingan pertanian saja. Dalam federasi yang berada di bawah pimpinan para datuk yang juga merupakan orang cerdik pandai (bahkan arif bijaksana) juga berlaku solidaritas sosial antara luhak dan kenegerian.
Rantau nan kurang satu dari dua puluh itu, kemudian berkembang juga. Akibatnya terbentuklah negeri-negeri baru seperti Benai, Sentajo, dan Kopah. Namun negeri-negeri itu tetap dalam kerukunan hidup bersama dengan negeri-negeri lain yang relatif lebih tua dari negeri-negeri baru tersebut.
Apa yang kita lihat dalam solidaritas sosial itu, ialah suatu pembagian tugas, yang memperhatikan persatuan dan gotong-royong antara sesama negeri di rantau itu. Dengan tugas-tugas yang khas demikian, maka tiap negeri mempunyai kelebihan, tapi juga sekaligus kekurangannya dalam hal lain. Inilah yang telah menimbulkan suatu iklim kerendahan hati antara sesama negeri-negeri itu, sehingga satu sama lain saling menghargai.
Marilah kita lihat saling ketergantungan dengan bakti tiap negeri masing-masing dalam tugas-tugas sosial pergaulan masyarakat mereka. Pertama sebutlah negeri Lubuk Ambacang, tempat kediaman Orang Gedang yang bergelar Datuk Paduko Rajo. Negeri ini tidak boleh memutuskan sesuatu tanpa mendengar nasehat dari negeri di sebelahnya. “Indak suda dek enyo do, musti ado bantuan dari Lubuk Jambi”. Negeri ini dalam beberapa pekerjaan yang amat mustahak tidak boleh merampungkan urusan itu sampai habis, kecuali setelah bermusyawarah dengan Lubuk Jambi si Gajah Tunggal. Jadi negeri ini boleh memulai, namun jangan sampai menyudahinya sekaligus, karena dalam hal itu mungkin ada kekurangan mereka. Itulah kira-kira yang hendak dijelaskan oleh rangkai kata adat di atas itu.
Lubuk Jambi diberi julukan si Gajah Tunggal. Inilah negeri yang berada di bawah kendali kebijaksanaan Orang Gedang Datuk Habib. Rantau ini mendapat gelar si Gajah Tunggal, maksudnya negeri ini mampu berdiri sendiri. Dia mempunyai kekuatan yang hebat, sehingga si kuat (gajah tunggal) itu diharapkan dapat membantu negeri tetangganya seperti Lubuk Ambacang di mudik dan Lubuk Tarontang di hilirnya.
Sementara itu Lubuk Tarontang disebut dengan kata berkias Pasak Malintang. Negeri ini menjadi batas luhak, namun merupakan posisi kunci dalam kesatuan luhaknya.
Negeri Kari telah disebut dengan sanjungan sumuar nan jonia, boke bauji ome kek batu (sumur yang jernih, tempat menguji emas pada batu). Di sinilah tempat menentukan seseorang, apakah dia seorang yang berkualitas tinggi, atau hanya seorang biasa yang tidak terpandang. Negeri ini merupakan tempat melihat keaslian sesuatu, sebab di sinilah sebenarnya dilakukan kepada seseorang itu “kalam diangkek lancung dibuang”. Di sinilah seseorang jika mungkin mendapatkan semacam penataran sekarang ini, untuk meningkatkan kualitas dirinya. Inilah negeri untuk menguji apakah seorang memang mempunyai keturunan yang baik, apakah dia orang asal.
Negeri Teluk, telah diberi nama timangan dengan kasayan rapek, boke batintiang dodak di nyiru. Di sinilah tempat duduk Urang Gedang Datuk Bisai. Dia sering dipanggil sebagai Datuk Bisai saja, yang sebenarnya berasal dari pergeseran ucapan “datuk kisai (-an)”. Sebab dialah orang yang akan mengisai, akan memberikan timbangan dalam keadilan. Negeri ini menjadi tumpuan harapan bagi yang mendambakan kebenaran dan tegaknya hukum, sebab segala sesuatu pengaduan akan ditintiang, diperiksa dan diteliti sampai sehalus-halusya, sehingga jelas mana yang dedak dan mana yang beras, mana yang benar dan mana yang salah. Inilah negeri tempat mengisai segala perkara sehingga ditemukanlah kebenaran dalam perkara itu.
Kopah, sebuah negeri di hilir Teluk diberi julukan tempo dulu sebagai sebuah negeri pembantu dalam menghadapi musibah. Di sinilah diamnya Datuk Lelo Pitaro, seseorang datuk yang amat besar sekali rasa peri kemanusiaannya. Jika ada negeri-negeri di sekitar ini yang mendapat musibah berupa kematian, maka negeri inilah yang pertama menawarkan kebaikan hatinya, Penduduk negeri inilah yang segera mencari tumang untuk membuat tungku dalam berbagai upacara makan bersama, dan mereka pulalah yang tidak segan-segan mencarikan bahan makanan yang diperlukan untuk kepentingan jamuan makan bersama, bagi mempererat tali persahabatan itu. Tak sak lagi, patutlah datuknya diberi gelar Lelo Pitaro, seorang yang memang dapat diharapkan santunan dan petaruhnya atau sumbangannya.
Negeri Sentajo menjadi tempat kedudukan Datuk Simambang. Ini juga sebuah negeri yang amat sosial dan rela berkorban. Dalam berbagai upacara kematian negeri ini selalu tampil dengan para warganya yang segera mencarikan daun untuk pembungkus segala macam sedekah yang akan diberikan kepada yang melayat keluarga si mati. Negerinya sebagai penghasil pisang yang cukup lumayan, memberi peluang bagi mereka memberikan sumbangan untuk kepentingan sosial di kawasan itu. Hal itu juga tampak pada negeri Kopah yang berdampingan dengan hutan, sehingga memudahkan mereka mencari tumang (kayu untuk tungku) dan cempedak dari hasil kebun mereka yang melimpah.
Benai sebuah negeri di hilir Sentajo, tempat bermukimnya Datuk Mangku. Negeri ini telah bertindak bagaikan palang merah. Inilah sebuah negeri yang punya rasa kasih begitu mendalam, sehingga bila ada warga di sekitar negeri ini yang mereka dengar sakit, maka mereka telah datang dengan segera memberikan sumbangan berupa obat-obatan. (bersambung)
(Masyarakat Adat Kuantan Singingi, UU Hamidy)