1. Pendahuluan
Kehidupan seseorang dalam pusaran nasibnya yang berubah silih berganti, pada prinsipnya sama dengan suatu sistem jagad raya itu sendiri. Setiap kehidupan sebagai suatu bagian dari kehidupan masyarakat, dapat disamakan dengan suatu sistem sebuah planet –di mana dapat dilihat batas-batas kebebasannya dan keterikatannya. Jika sistem planet ditentukan oleh massa dan gravitasi maka sistem suatu kehidupan manusia terikat oleh sistem sosial dan budaya. Dari pandangan ini jelas betapa siklus kehidupan seseorang dalam rentetan tahun umurnya, tidak akan pernah dapat diuraikan sebagaimana ia terjadi dalam realitas yang sesungguhnya.
Sejajar dengan hal itu, warna kehidupan seseorang dalam arti gambaran kehidupan yang terjadi oleh aktivitas tingkah lakunya, dapat dipandang sebagai suatu bagian pula dari pada pemandangan yang maha luas tentang alam semesta ini. Betapapun kecilnya gambaran kehidupan seseorang dalam pandangan orang lain, namun gambaran kehidupan orang itu tetaplah sebagai bagian yang tak dapat luput dari lukisan alam yang serba kompleks itu. Oleh karena itu melukiskan kehidupan seseorang ke dalam rangkaian kata yang mempunyai berbagai kekurangan dan kelemahan, asalah suatu hal yang amat rumit. Apalagi jika orang itu mempunyai sifat kreatif yang berbagai ragam.
Kesulitan semacam itu terasa amat menghalang dalam usaha membuat siklus yang sederhana dalam lukisan yang mendekat terhadap kehidupan Soeman Hs. Gambaran yang dibuat dalam uraian yang sederhana ini, hanyalah bagaikan sebuah foto saja dari suatu lensa kamera, terhadap alam kehidupan Soeman Hs yang begitu luas dan berliku-liku. Bagaimanapun juga cermatnya pengamatan yang dilakukan terhadap tokoh ini, namun tetap akan terjadi bagian-bagian yang luput, atau sengaja tak dapat dilukiskan, karena akibat segala kelemahan dan kekurangan kita.
2. Tahun-tahun Kehidupan
Soeman Hs lahir tahun 1904 di Bengkalis, Riau. Dia anak ketiga dari keluarga lebai Wahid (Hasibuan) dengan isterinya Tarumun (Lubis). Pada masa kelahirannya itu, Bengkalis masih masuk Sumatera Timur, dengan ibu kota Medan. Dengan predikat marga Hasibuan, nyatalah dia berasal dari Tapanuli. Memang orangtuanya berasal dari Kotanopan, Tapanuli Selatan. Orangtuanya datang ke Bengkalis sebagai petani. Karena lazimnya orang tani dalam masa penjajahan itu miskin –kata Soeman dalam wawancaranya yang dimuat dalam majalah Horison Nomor 3 tahun 1976—maka termasuklah saya anak petani yang miskin pula.
Dia mula-mula masuk Sekolah Melayu (Gouvernements Inlandsche School) di Bengkalis tahun 1912, dan tamat 1918. Tahun 1918 menempuh ujian calon guru (Kweekling) dan lulus. Tahun itu juga belajar ke Medan memasuki Normaalcursus. Setelah naik kelas dua lalu melanjutkan ke Normaalcursus Langsa, tamat 1923. Pada tahun 1923 itu juga Soeman Hs diangkat menjadi guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) Siak Sri Indrapura. Tahun 1930 pindah ke Pasir Pengaraian, dan diangkat sebagai guru Kepala Sekolah Melayu. Dalam masa Jepang diangkat menjadi Penilik Sekolah (Singaku).
Sesudah pemulihan kedaulatan, dia dipindahkan ke Pekanbaru, dengan jabatan Penilik Sekolah Kepala, merangkap Jawatan Dinas PPK Pekanbaru/Kampar. Tahun 1960 pensiun dari Penilik Sekolah Kepala tersebut, dan menetap di Pekanbaru.
Kegiatannya dalam lapangan politik bermula tahun 1945, dengan posisi sebagai Wakil Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) Rokan Kanan/Kiri. Waktu agresi kedua dengan Belanda, dia diangkat menjadi KPG (Komandan Pangkalan Gerilya) Rokan Kanan, dan menjadi staf Gubernur Militer Riau. Tahun 1960 dia menjadi anggota Badan Pemerintahan Tingkat I Riau (BPH) sampai tahun 1966. Sesudah itu menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Riau dari tahun 1966 sampai 1968.
Selepas tahun 1968 itu Soeman Hs melepaskan dirinya dengan urusan-urusan pemerintahan yang praktis. Dia menerjunkan dirinya kepada kegiatan swasta. Demikianlah setelah sekitar 45 tahun mengabdi kepada pemerintah, di ujung perjalanan hidupnya dia bergerak dalam lapangan swasta, tapi tetap dalam bidang keahliannya. Dia terus melanjutkan karirnya dalam bidang pendidikan sebagai Ketua Umum Yayasan Pendidikan Islam Riau, Ketua Yayasan SMA Setia Darma, dan Dewan Penyantun dalam berbagai perguruan tinggi di Riau.
Dari mata rantai tahun-tahun kehidupan di atas, tampak kepada kita dari mana awal kehidupan tokoh ini, ke mana dia menuju dan akhirnya ke mana dia surut. Tidak kurang dari 37 tahun dari umurnya telah disumbangkannya untuk kepentingan pendidikan dan pengarang. Selama kurang lebih 23 tahun telah didarmakannya untuk kepentingan politik, dan sisanya sampai masa ini tidak kurang dari 13 tahun bagi kepentingan sosial yang bersifat swasta.
Masa mudanya yang dinamis dan vitalitas telah digunakannya untuk membina bangsanya. Dia bekerja sebagai pendidik, yang pada masa itu (zaman Belanda dan Jepang) amat menentukan arah dan nasib bangsa.
Setelah dia mempunyai tingkat kematangan berpikir, dia mulai menulis. Disampaikannya gagasannya lewat hasil karangannya. Kematangan itu dilengkapinya dengan utuh, tatkala dia dengan penuh risiko memasuki bidang politik. Pilihan ini agaknya tidak begitu sesuai dengan watak jiwanya yang asasi. Namun hal itu dilakukannya suatu kesadaran sejarah. Dia kemudian sadar, bahwa suatu ketika dia harus memberi peluang kepada generasi muda untuk berbuat lebih baik, bagi bangsa dan negara ini. Maka dengan senang hati dia melepaskan tugas-tugasnya dengan pemerintahan. Dia surut ke bawah, kembali kepada rakyat –dari mana dia dulu berasal. Dengan sisa kemampuannya yang masih cemerlang, dia mengabdikan dirinya kepada kepentingan-kepentingan sosial.
3. Tokoh Sastra dan Budaya
Mengulas kehidupan Soeman Hs dalam bidang sastra dan budaya, berarti kita menyimak kreativitasnya. Dengan dasar pendidikan guru yang dimilikinya, Soeman mulai menulis tahun 1928. Ini berarti dia mengawali kreativitasnya pada umur 24 tahun –suatu awal kegiatan menulis yang cukup pagi. Pada mulanya tulisan-tulisan dia dimuat pada surat kabar, seperti Pewarta Deli dan Sinar Deli, terbitan Medan. Tulisan-tulisan itu masih terbatas pada bentuk-bentuk berita seperti kapal karam, perampokan dan kebakaran. Dari menulis berita, Soeman melangkah kepada bidang sastra yang sesungguhnya. Mulailah dia menulis puisi, dimuat pada majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru.
Pengalaman Soeman dalam bidang karang-mengarang dengan segera tampak berkembang subur. Melalui berbagai bacaan yang dapat dicapainya, maka daya pikirnya semakin tajam. Dengan hal ini kemampuannya membaca kehidupan semakin terang. Oleh karena dunianya pertama-tama adalah dunia remaja, maka sasaran kreativitasnya juga lebih dahulu tertuju ke sana. Dalam dunia tersebut dia melihat bagaimana anak muda tidak mendapat tempat yang patut dalam usahanya menentukan masa depan.
Soeman melihat peranan orang tua dalam pembinaan generasi muda terlalu otoriter, sehingga menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial masa itu. Kehidupan sosial yang serupa itu mendapat kritik dalam novelnya yang pertama Kasih Tak Terlarai, yang ditulis tahun 1929 di Siak Sri Indrapura. Dalam novelnya Mencari Pencuri Anak Perawan yang diterbitkan Balai Pustaka 1938, Soeman masih mengkritik kepincangan sistem sosial yang demikian. Novel ini menjadi novel Soeman yang paling terkenal, dan banyak dibaca publik. Dalam dua novelnya yang lain, Tebusan Darah (mula-mula berjudul Kasih Tersesat) dan Percobaan Setia, Soeman melukiskan dengan baik bagaimana hidup ini sebagai suatu teka-teki yang tidak mudah dijawab. Yang selalu berkisar, yang tiada dapat diatur begitu saja menurut kemauan kita.
Soeman mengarang novel dan cerita pendek. Kerativitas itu didasari oleh kesukaannya mengarang. Tapi lebih-lebih karena dia mempunyai suatu kesadaran betapa Bahasa Melayu yang begitu disenanginya, merasa perlu dibina bagi perkembangan Bahasa Indonesia. Dia dengan sadar memakai Bahasa Melayu, tapi dalam suatu sikap yang lebih maju, sehingga kata Sutan Takdir Alisjahbana, dalam tangan Soeman Hs, Bahasa Melayu lama yang kaku dan beku dalam susunan dan acuhannya, menjadi cair kembali, luas mengalir berliku-liku, ringan beriak beralun-alun. (Kawan Bergelut, 1979:6).
Soeman Hs memandang Bahasa Melayu sebagai suatu Bahasa Indonesia. Bagi saya –kata Soeman—susah membedakan antara Sastra Melayu dengan Sastra Indonesia. Dalam segi isinya tentu saja ada bedanya, tapi dalam segi bahasanya, buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka dahulu sesuai juga dengan bahasa sastra sekarang ini (Horison 1976:73). Dalam pandangan serupa itu, dia berusaha mempergunakan bahasa tersebut sebaik mungkin –dalam pengertian sesuai dengan sifat atau sistem bahasa itu sendiri. Bagi dia, sistem Bahasa Indonesia hendaklah jangan sampai tanggal dari sistem Bahasa Melayu –di mana Dialek Melayu Riau sudah pernah dipakai sebagai dasar awal dalam usaha standarisasi, berkat usaha dan kesadaran Raja Ali Haji dan kawan-kawannya dalam kawasan Kerajaan Riau.
Bertolak dari konsep serupa itu, tokoh kita ini selalu mengambil bagian dalam berbagai kegiatan sastra dan budaya: pembacaan puisi, diskusi sastra dan budaya, Hari Sastra dan Bulan Bahasa serta dalam berbagai kegiatan budaya yang lebih luas.
Dalam kecintaannya terhadap Bahasa Melayu yang seiring dengan kesayangannya terhadap Bahasa Indonesia, Soeman Hs menyediakan sisa umurnya untuk pembinaan bahasa pada Radio Republik Indonesia (RRI) Pekanbaru, semenjak tahun 1970. Dalam ceramahnya sekali sepekan itu, Soeman mengupas berbagai aspek bahasa, dengan tekanan terhadap Bahasa Melayu. Nilai-nilai yang diberikan dalam ceramah itu tidak hanya sekadar untuk membantu perkembangan dan pembinaan Bahasa Indonesia, tapi juga berisi serangkaian nilai-nilai sosial budaya yang amat layak diperhatikan bagi pembinaan generasi muda.
Bagi khazanah kesusastraan Indonesia, Soeman Hs telah menyumbangkan 5 buah karyanya: Kasih tak Terlarai, Mencari Pencuri Anak Perawan, Tebusan Darah, Percobaan Setia dan Kawan Bergelut. Jumlah itu meskipun dapat saja dipandang kecil dari sudut angka, tapi tak dapat diabaikan bahkan sulit dinilai betapa besar artinya bagi kepentingan kemanusiaannya. Dengan karangannya ini, Soeman akan merupakan seorang tokoh sastra dengan kepribadiannya sendiri. Melalui nafas karyanya itu, Soeman telah mempunyai andil dalam perimbangan kemanusiaan, antara ekstrim materi dengan ekstrim ruhani. Karangan-karangannya itu akan menjadi wakil dirinya sepanjang masa, sebagai seorang cendekiawan.
4. Kepribadian
Bagi Sutan Takdir Alisjahbana, Soeman Hs mempunyai kedudukan yang luar biasa di antara pengarang-pengarang prosa zaman baru (Kawan Bergelut, 1979:6). Keistimewaan itu memang cukup beralasan. Kemampuan Soeman berkreatif dalam bidang bahasa seperti tadi juga telah disinggung, memang amat berkesan. Dalam pemakaian bahasa yang teliti dan bijak itu, dapat dilihat kepribadian tokoh ini. Gaya karangannya yang bercorak detektif memberikan iklim yang segar kepada kita, sedangkan nadanya yang jenaka memberikan hiburan yang amat bermutu, setiap kita membaca karangan Soeman.
Tidak ada satupun kepribadian karangan Soeman yang memberi beban berat kepada pikiran kita. Tapi meskipun begitu, bukan pula suatu hal yang enteng yang tak ada mempunyai makna. Dalam karya-karyanya, Soeman menyajikan kepada kita bahwa dunia bukanlah suatu bahaya yang menakutkan, tidak pula sebagai gelanggang untuk berfoya-foya. Dalam keseimbangan antara dua kutub itu, terlihat dengan jelas kepribadian Soeman: kesederhanaan.
Dia melihat dunia dengan mata yang girang dan hati yang jenaka –sekali lagi meminjam komentar Sutan Takdir Alisjahbana. Dengan kepribadiannya yang sederhana, Soeman membiarkan tokoh novelnya melalui hidupnya dengan nada suka, duka dan jenaka. Nada hidup itu dipandang Soeman memang telah menjadi kodrat hidup itu sendiri. Dengan kepribadiannya yang sederhana, jujur dan berirama, dia dapat mengasihi musuh-musuhnya. Dengan pribadinya yang jenaka, dia dapat meredakan ketegangan sosial, sehingga dia dapat membuat perdamaian antara tokoh-tokoh novelnya dengan lawan dan musuh-musuhnya.
Perdamaian itu memang sering tampak kurang logis, tapi jelas memperjernih kejenakaan. Dan itu bukanlah sesuatu yang aneh dalam sistem kehidupan. Kejenakaan dalam kehidupan telah menjadi semacam aksioma hidup yang memang tak dapat dilogiskan. Tentulah dari pengamatan semacam itu Sutan Takdir Alisjahbana sampai lagi kepada kesimpulan: Soeman tak dapat disamai oleh pengarang prosa modern yang mana sekalipun (Kawan Bergelut, 1979:14).
Kesederhanaan tokoh kita ini bukan hanya dapat disimak dalam karya-karyanya. Kesederhanaan itu langsung tercermin dalam tingakh laku dan perbuatan sosial budayanya sehari-hari. Dia tak pernah silau dengan simbol-simbol sehingga sejumlah surat-surat yang memuji atau menghargainya tidaklah mendapat perhatiannya yang berlebihan. (Dalam hal itu, Soeman rupanya tak begitu tertarik menyimpan surat-surat serupa itu, sehingga hal ini membuat makin sulitnya memberikan komentar tentang dunianya dan kepengarangannya). Gaya hidupnya selalu mengikuti konsep kesederhanaan itu, sehingga siapapun juga yang hendak mendekati atau berurusan dengan dia, tidaklah akan mendapat semacam rasa penghalang sedikitpun juga. Kesederhanaan Soeman dalam karya-karyanya benar-benar konsisten dengan kesederhanaan dirinya.
5. Penutup
Rangkaian tahun kehidupan Soeman Hs dan lukisan dirinya, akan menjadi suatu tafsiran bagi dunia sastra dan budaya kita. Bahasanya yang telah diabadikan melalui novel-novel dan cerpennya, menjadi suatu dan sekaligus bahan pembanding, bagaimana tokoh kita ini telah berbuat dalam bidang bahasa dan sastra.
Dari karya-karya Soeman itu dapat dilakukan berbagai kajian. Pada zamannya, Soeman dengan karya-karyanya tentu telah memperkenalkan semacam hal-hal yang baru kepada masyarakatnya, sehingga dia mempunyai saham pula dalam menggerakkan perkembangan masyarakat masa itu. Sebagai pengarang tahun 30-an, dia ikut memperkaya ide-ide kepada para pembaca novel-novelnya.
Dewasa ini –dalam usianya yang lanjut—setelah dia dipandang sebagai tokoh yang berhasil dalam karirnya, dia mendapat berbagai tanda penghargaan. Dia menjadi tokoh yang merestui, tokoh yang memberi legitimasi. Tokoh yang memberi dan diminta restunya dalam berbagai kegiatan sastra dan budaya, terutama di Riau, tempat dia lahir dan medan juangnya.***
(Kedudukan Kebudayaan Melayu di Riau, UU Hamidy)
Tulisan ini juga merupakan lanjutan dari tulisan UU Hamidy yang bertajuk ‘’Soeman Hs Sebagai Sastrawan dan Budayawan’’ yang dimuat di majalah Horison Nomor 3, terbitan Maret 1976.