Rantai nasib yang menimpa Riau serupa itu, tampak bagaikan belenggu. Kesan sebagai daerah perburuan, menyebabkan rasa memiliki akan daerah ini dari pihak penduduknya amat tipis sekali. Jika rasa memiliki amat tipis atau hampir tak ada, maka tak dapat diharapkan timbulnya kemauan untuk membangun daerah itu. Perasaan memiliki dari para warga suatu daerah amatlah penting. Dari rasa memiliki itu akan timbul rasa bertanggung jawab. Rasa bertanggung jawab itulah kelak yang juga akan berperanan memberikan dorongan kepada warganya untuk menjaga kelestarian lingkungan pada suatu rantau. Jika hal ini tidak ada, maka semua orang hanya akan bertindak menurut kepentingan sendiri, tanpa menimbang keselamatan lingkungan dan alam kehidupan di tempat itu bagi kepentingan bersama.
Tipisnya rasa memiliki daerah ini dalam diri para warga masyarakat di Riau tidaklah hanya bertabatas pada para pendatang atau perantau saja. Berbagai puak Melayu yang tinggal di Riau juga memperlihatkan bagaimana tipisnya rasa memiliki Riau dalam suatu sikap yang utuh. Puak-puak Melayu di rantau ini seperti Riau Kepulauan, Inderagiri, Siak, Kampar dan Rantau Kuantan, belum mempunyai rasa memiliki Riau dalam kadar yang dominan. Puak-puak kecil serupa itu tampak mempunyai orientasi lebih berat terhadap puaknya berbanding terhadap Riau yang lebih besar. Hal ini menampakkan diri kadangkala dalam tipisnya rasa kebersamaan dan tanggung jawab terhadap kemajuan daerah ini.
Ketidakterpaduan dalam sikap dan rasa memiliki yang kurang tebal akan Riau sebagai suatu daerah provinsi dalam berbagai puak Melayu, amat terasa begitu banyak mempengaruhi semangat dalam upaya membina daerah ini. Tetapi hal itu sedikit banyak juga berpangkal kepada sejarah dan geografi masa silam, jika kita mau memahaminya lebih saksama. Pemahaman ini cukup berarti karena merupakan suatu bahan bagi pemikiran yang lebih saksama, untuk mengatasi masalah-masalah serupa itu.
Dalam masa silam, daerah Riau dalam bentuk provinsi sekarang ini, pernah terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu bagaimanapun juga mempunyai banyak persamaan dalam citra budaya dan agama Islam yang dianut, namun oleh kepentingan-kepentingan yang sempit pernah bersaing satu sama lain. Keadaan serupa itu tentu saja tidak terus menerus. Namun pernah bersambung dalam masa yang panjang. Akibatnya, integritas antar rakyat berbagai kerajaan sangat tipis, sebab kepentingan siasat atau politik kerajaan sering melangkahi horison budaya dan agama yang akan memberi jembatan kepada kebersamaan rakyat.
Dalam zaman Belanda sampai masa awal kemerdekaan, sebagian daripada daerah Riau sekarang ini termasuk kepada Provinsi Sumatera Utara; sebagian lagi ke dalam Provinsi Sumatera Tengah dalam bagian besar. Dalam masa itu, daerah Riau, terutama daerah kepulauan sekarang ini, telah menjadi semacam daerah pembuangan oleh Belanda, terhadap para pegawainya yang dipandang tidak baik. Dengan dipindahkannya pegawai yang bersalah atau kaki tangan pemerintah kolonial yang tidak disukai, ke daerah-daerah kepulauan atau ke daerah pedalaman Riau di daratan Sumatera, para pegawai serupa itu diharapkan akan merasa terpenjara.
Inilah salah satu sebab mengapa banyak Amir-amir (semacam camat sekarang ini) dalam zaman Belanda di Kepulauan Riau, berasal dari Palembang dan Minangkabau. (Meskipun sebelum itu, Kerajaan Riau-Lingga juga mengangkat para Amir dari luar daerah kerajaannya sebagai realisasi sikap bersahabat terhadap berbagai puak Melayu). Bagaimanapun juga kualitas para pegawai yang dipindahkan dengan motif sebagai pembuangan itu, namun dampaknya lebih condong negatif.
Dengan nilai serupa itu, maka para pegawai ini telah hadir di Riau, bukan pertama-tama dengan maksud menunaikan tugasnya sebagai pegawai yang akan melayani kepentingan masyarakat dan pemerintah Belanda, tetapi lebih banyak tergoda untuk berbuat bagi kepentingan dirinya sendiri. Dia merasa patut mengutamakan kepentingan pribadinya, sebab, setelah masa kerjanya berakhir di Riau, dia bermaksud akan kembali ke daerah asal. Untuk itu diperlukan semacam bekal dalam bentuk kekayaan yang akan dibawa pulang. Inilah pangkal sejarah perbuatan kaki tangan pemerintah, yang hanya sekadar mencari keuntungan pribadi di daerah Riau. Kenyataannya, sejarah perbuatan serupa itu berlanjut dalam masa yang panjang, sehingga amat terasa bagaimana pukulannya terhadap kemajuan daerah ini.
Pada sisi lain, keadaan geografi juga amat berpengaruh terhadap rasa memiliki serta keutuhan daerah Riau. Daerah-daerah yang membentuk Provinsi Riau berada dalam beberapa belahan yang amat terpisah satu sama lain oleh keadaan geografi serta ketiadaan atau kekurangan sarana perhubungan dan komunikasi. Sampai tahun 1970-an, antar daerah kabupaten tidak ada sarana perhubungan yang lancar, yang bisa menghubungkan daerah satu dengan lain dalam waktu yang relatif singkat.
Kalaupun ada jalan darat atau melalui air berupa sungai dan lautan, namun jalan ini amat tidak efektif, karena akan memerlukan waktu yang lama disebabkan oleh kondisi dan sistem jaringan yang masih amat sederhana. Hal ini amat membatasi interaksi dan kontak-kontak antar penduduk kabupaten yang satu dengan kabupaten yang lain. Keadaan geografi dengan sarana yang demikian membuat orientasi penduduk tiap pecahan daerah terlalu terbatas. Sikap dan pertimbangan warga dalam tiap daerah yang terpisah-pisah itu banyak yang tidak menjangkau orientasi terhadap Riau yang utuh.
Kesejarahannya yang merupakan minor dari Provinsi Sumatera Utara serta dominan dalam bagian Provinsi Sumatera Tengah, juga menimbulkan jejak yang berkesan, terutama dalam dunia pendidikan. Karena posisinya sebagai daerah kabupaten dalam dua provinsi itu, daerah Riau amat ketinggalan dalam dunia pendidikan. Sudah menjadi tradisi tampaknya, betapa lembaga-lembaga pendidikan akan selalu lebih dahulu didirikan pada kota-kota besar yang menjadi pusat kegiatan administrasi pemerintahan.
Tradisi ini menyebabkan daerah Riau amat lambat sekali dijangkau oleh sekolah-sekolah yang akan bisa menumbuhkan generasi dengan pikiran yang lebih maju. Kekurangan Riau dalam bidang pendidikan ini amat terasa sekali dalam upaya menggerakkan kemampuan masyarakat serta mengolah sumber-sumbernya yang relatif kaya. Sebagian besar tenaga terdidik dalam bidang teknik dan ilmu pengetahuan terpaksa didatangkan dari luar. Sementara itu, sebagian besar penduduk berada dalam keterbelakangan pendidikan, sehingga tidak dapat berpartisipasi dengan sepenuhnya dalam kegiatan membina daerahnya.
Dalam keadaan serupa itu, tampak bagaimana modal atau peranan budaya dan pendidikan, merupakan suatu jalan yang patut ditempuh, untuk segera merangsang gagasan-gagasan baru yang lebih mampu menjawab tantangan zaman bagi kemajuan daerah Riau. Adanya iklim budaya dan pendidikan yang cerah di rantau ini, akan bisa mengarahkan pandangan warganya kepada perumusan-perumusan yang lebih nyata tentang bagaimana daerah ini harus ditata.
Tetapi karena pembinaan budaya dan pendidikan itu masih relatif lamban dibandingkan dengan daerah-daerah yang telah maju di sekitarnya, maka proses terbentuknya kesatuan gagasan bagi menimbulkan kemauan yang keras kepada warganya, masih terasa sulit. Sungguhpun begitu, jika horison budaya dan pendidikan ini bisa dirancang begitu rupa, niscaya akan bisa memberikan manfaat yang besar kepada upaya menumbuhkan rasa memiliki bagi warganya. Jika langkah-langkah itu dapat dilakukan, hasilnya bisa menimbulkan rasa bertanggung jawab, sehingga merasa berkewajiban menjaga kelestarian daerah ini, dengan cara membina atau membangunnya melalui perhitungan yang saksama.***
(Membaca Kehidupan Orang Melayu, UU Hamidy, Bumi Pustaka, 1986)