Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Riau, Kisahmu Sebagai Padang Perburuan (Bagian 1), Oleh: UU Hamidy
Foto: gettyimages.com

Riau, Kisahmu Sebagai Padang Perburuan (Bagian 1), Oleh: UU Hamidy

Nama Riau telah cukup lama juga. Nama itu telah diucapkan paling kurang semenjak pusat Kerajaan Johor-Riau-Pahang dan Lingga dipindahkan ke Ulu Riau, sekitar awal abad ke-18. Jadi, dalam masa-masa awal nama tersebut telah dipakai untuk merujuk kepada suatu daerah di Kepulauan Riau sekarang ini, yang berada di bawah kesultanan Melayu. Beberapa nama telah dipakai silih berganti oleh kerajaan ini, seperti Johor-Riau-Pahang dan Lingga, dan akhirnya menjadi hanya Kerajaan Riau-Lingga.

Setelah kerajaan itu dihapuskan dari peta bumi oleh Belanda pada tahun 1913, maka nama Riau, hanya menjadi semacam daerah kabupaten sampai masa Provinsi Sumatera Tengah, yang mempunyai ibukota di Bukittinggi. Setelah melalui berbagai upaya untuk melepaskan diri dari Provinsi Sumatera Tengah, maka pada tahun 1958, nama Riau dipakai untuk menunjukkan suatu provinsi, yang daerahnya meliputi sebagian bekas Provinsi Sumatera Utara dan sebagian lagi bekas Provinsi Sumatera Tengah pada pantai Timur Sumatera bagian tengah, serta daerah Kepulauan Riau itu sendiri. (Sekarang Kepulauan Riau juga telah menjadi provinsi sendiri).

Itulah sekadar kilasan nama Riau. Seberapa yang benar daripadanya telah memberi petunjuk, bahwa dia pernah ujud sebagai kerajaan. Kemudian menjadi pangkal perebutan kekuasaan oleh ambisi pribadi para raja yang memerintahnya. Lantas menjadi ajang perebutan kuasa dan harta benda, antara Belanda dengan Inggris, yang berakhir dengan dibelah dua oleh kedua kuasa luar itu pada tahun 1824 melalui Perjanjian London. Semua boleh dikatakan antara pihak Riau dengan pihak kuasa luar, berada dalam batas-batas saling menghormati. Tetapi perkembangan berikutnya membuat posisi Riau makin lemah. Dari duduk sama martabat dengan Belanda, disusul oleh sasaran intimidasi, sehingga Riau mau terpaksa surut dari gelanggang sejarah.

Dari masa-masa awal itu telah tampak bagaimana daerah Riau dengan kawasan sentral Kepulauan Riau sekarang ini, telah mempunyai riwayat yang banyak berkaitan dengan rebut rampas kekuasaan. Berawal paling kurang semenjak perebutan kekuasaan oleh Raja Kecik di Johor, yang kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Riau tahun 1719, disusul dengan persengketaan sesama keluarga istana. Selepas itu jatuh ke dalam kancah perebutan kuasa antara Belanda dan Inggris, yang berakhir dengan nasibnya jatuh ke dalam cengkraman Belanda.

Apakah maknanya kisah ini bagi Riau sebagai suatu provinsi sekarang ini? Dalam wajahnya semenjak zaman kemerdekaan terutama dalam tahun 1950-an, kawasan ini lebih banyak dipandang sebagai tempat memperoleh berbagai kekayaan, daripada suatu daerah yang harus dibenahi dengan rasa tanggung jawab dari seluruh pihak yang menghuninya.

Dalam tahun 1950-an itu, Riau amat terkenal sebagai daerah dolar, meskipun pada saat itu yang disebut daerah dolar itu hanyalah daerah Kepulauan Riau. Kata sanjungan ‘’daerah dolar’’ rujukannya tidak lain daripada daerah kaya, daerah materi atau harta benda. Dari sini timbullah semacam mitos, ‘’jika mau kaya, pergillah ke Riau’’.

Dengan mitos serupa itu, maka daerah Riau telah dipandang sebagai tempat mencari kekayaan. Jalan ke arah itu tampak terbuka lebar. Daerah ini (yaitu daerah Kepulauan Riau) beredar mata uang Inggris, yang disebut dolar oleh rakyat setempat. Perdagangan dalam bentuk barter, pertukaran barang dengan barang, terbuka lebar bagi daerah itu. Sementara itu daerah tersebut kaya dengan hasil karet dan kopra, bahan baku yang amat laris di pasaran internasional. Dan lebih dari itu, Singapura sebagai kota perdagangan bebas, menjadi induk semang yang amat ramah, tempat menjual dan membeli bermacam barang. Kota ini selalu berada dalam posisi yang menggoda bagi semua pedagang dan penyeludup, oleh sifat-sifatnya yang khas.

Adanya mitos, sifat sosial budaya masyarakat tempatan dan geografi daerah yang demikian rupa, telah berpadu kepada diri daerah Riau, sehingga wajahnya tampak sebagai padang perburuan. Dikatakan bagaikan ‘’padang perburuan’’ karena daerah Riau dapat memenuhi hasrat kepada siapa saja untuk mencari harta dunia yang disukainya. Dengan berbagai kondisi yang dimiliki Riau, orang dapat melakukan apa saja untuk memperoleh ‘’binatang buruan’’ dalam bentuk kekayaan atau pemuas hawa nafsu lainnya.

Inilah yang telah menjadi pangkal bala bagi daerah ini, sehingga amat sulit memegang tali terajunya ke arah kemajuan yang positif bagi sebagian besar penduduknya. Dengan mitos sebagai padang perburuan, sebagai tempat menyalurkan hawa nafsu yang rendah, maka daerah Riau jauh dari pandangan sebagai daerah yang harus dibangun. Logika itu cukup sederhana. Hasil ‘’buruan’’ pada umumnya memang bukan dimakan atau dimanfaatkan di padang atau hutan tempat berburu. Hasil buruan selalu sebagian besar dibawa pulang, ke tempat menetap.

Keadaan inilah yang banyak menampar daerah Riau. Siapapun yang mempunyai kesempatan mencari di rantau ini, sebagian besar telah tergoda membawa segala hasil usahanya ke luar Riau. Ini menyebabkan, hasil berbagai usaha dan kegiatan di daerah ini, tidak pertama-tama dimanfaatkan dan ditanamkan di daerah Riau, tetapi lebih banyak dibawa ke daerah lain. Oleh sebab itu, Riau hampir sama sekali tidak mendapatkan investasi dari berbagai kekayaan yang telah dihasilkannya. Hal ini tentulah menjadi salah satu sebab yang penting, mengapa daerah Riau yang cukup kaya dengan sumber-sumber alam (minyak bumi, bauksit, kayu dan berbagai hasil laut) serta beberapa komoditi hasil pertanian (seperti kopra, kelapa, karet dan cengkeh), namun ternyata terhitung daerah yang lamban perkembangannya. Suatu hal yang aneh namun menjadi suatu ironi karena menjadi kenyataan. (bersambung)

(Membaca Kehidupan Orang Melayu, UU Hamidy, Bumi Pustaka, 1986)

Riau, Kisahmu Sebagai Padang Perburuan (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *