1. Dagang dan Perairan
Orang Melayu dapat dikatakan sebagai penduduk pemula (tradisional) di Riau. Mereka telah mendiami daerah perairan. Ada yang tinggal di pulau-pulau, pesisir pantai, ada pula yang mendiami daerah aliran sungai. Sebab itu budaya Melayu pertama-tama adalah budaya perairan. Meskipun sebagian dari mereka telah nikah-kawin dengan berbagai suku seperti Bugis, Banjar, Jawa dan Arab serta suku bangsa lainnya, namun budaya perairan mereka tetap kokoh.
Walaupun para perantau sudah diberi kedudukan yang tinggi dalam teraju kehidupan, seperti Yang Dipertuan Muda (untuk keturunan Bugis dalam Kerajaan Riau-Lingga), Sultan (untuk keturunan Arab dalam Kerajaan Siak), Mufti (untuk keturunan Banjar dalam Kerajaan Inderagiri), dan banyak lagi jabatan tinggi lainnya setelah kemerdekaan untuk keturunan Jawa dan Minangkabau, tetapi budaya Melayu tetap dominan. Kenyataan ini memberi petunjuk, bahwa kata ‘’Melayu’’ tidak lagi sebatas merujuk kepada fisik antropologis, tetapi bisa lebih banyak menjurus kepada kultural antropologis.
Tradisi kehidupan yang suka mendiami perairan (pantai dan aliran sungai), telah membuat orang Melayu menjadi suku bangsa yang suka berlayar. Tentulah budaya perairan ini yang telah memberi peluang munculnya potensi dagang orang Melayu. Kata dagang memang berarti memikul atau membawa barang dari satu tempat ke tempat lain. Jadi, berlayar dan berdagang memang telah mempunyai hubungan sebab akibat, sehingga menjadi dua budaya yang hampir sebati.
Pada awalnya, yang diperdagangkan di kepulauan itu ialah hasil-hasil bumi dalam negeri seperti lada, gambir dan hasil-hasil laut seperti ikan, siput dan kerang. Sementara dari luar, bermacam barang keramik dari China dan barang pakaian seperti sutra dan permadani dari Timur Tengah. Barang-barang hasil dalam negeri disediakan oleh saudagar Melayu untuk dijual kepada pedagang dari luar. Sedangkan barang dagangan dari luar disalurkan oleh saudagar Melayu ke dalam negeri atau kerajaan.
Perdagangan bebas serupa itu telah menyebabkan masyarakat Melayu menjadi warga yang makmur dan cepat maju. Keadaan ini terjadi karena didorong oleh tiap pusat kerajaan Melayu sekaligus memainkan peranan pula sebagai kota dagang atau kota pelabuhan. Antara saudagar dan kerajaan terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Kerajaan memberikan perlindungan kepada lalu-lintas perdagangan dari gangguan bajak laut atau lanun.
Kerajaan membangun dermaga serta kemudahan lainnya untuk perahu dan kapal-kapal yang tiba dan pergi. Sedangkan para saudagar dapat memberi kemakmuran kepada kerajaan dan anak negeri, sebab kerajaan dan anak negeri mendapat peluang menjual hasil bumi dan jasa kepada para saudagar. Tentulah atas kenyataan serupa ini Kerajaan Riau-Lingga sampai mendirikan Syarikat Dagang Ahmadi di Pulau Midai pada tahun 1906, lalu membuat anak perusahaan itu di Singapura dalam bentuk percetakan yang bernama Al Ahmadiah Press tahun 1918, untuk mendukung koperasi atau syarikat tersebut.
Budaya dagang Melayu yang telah memakmurkan anak negeri dan kerajaan itu, mungkin telah berlangsung sejak zaman Sriwijaya abad ke-7 Masehi, disusul oleh kejayaan Melaka dari abad ke-14 sampai abad ke ke-16. Kejayaan itu mulai surut setelah Melaka jatuh ke tangan Portugis 1511, disusul oleh berdirinya Singapura oleh Inggris tahun 1819. Dan hampir lumpuh sama sekali setelah pembubaran Kerajaan Riau-Lingga pada 1913, disusul lagi oleh penjajahan Belanda dan Jepang.
Meskipun dari tahun 1918 sampai tahun 1950-an Syarikat Dagang Ahmadi masih berdiri kokoh, bahkan mengalami kejayaan dalam tahun 1920-an sampai 1930-an, tetapi karena Kerajaan Riau-Lingga menjadi tumpuan pendukungnya telah diruntuhkan Belanda, berlanjut pula dengan perkembangan Singapura di bawah kekuasaan Inggris, maka kedudukan Syarikat Dagang Ahmadi bagaimanapun juga, terpaksa pelan-pelan mundur dan akhirnya tidak bisa berkembang lagi.
Syarikat itu bisa berjaya, karena dalam perdagangan kopra masih dapat memakai pelabuhan Singapura bebas. Namun ketika tiba Perang Dunia Kedua, Jepang merebut Singapura, Belanda dan Inggris kalah oleh Jepang, maka seluruh kegiatan perdagangan di Singapura lumpuh total, sehingga Syarikat Dagang Ahmadi, kehilangan pasar sama sekali. Meskipun selepas kemerdekaan tahun 1950-an syarikat ini muncul kembali, namun modal dan potensinya tidak lagi begitu memadai.
Kehadiran Belanda di Riau, paling kurang sejak Perjanjian London 1824, telah merugikan dunia perniagaan Melayu di rantau ini. Keadaan permusuhan antara kerajaan dengan Belanda, membuat iklim dagang tidak stabil. Akibatnya, saudagar Melayu mulai sulit berkembang. Posisi saudagar Melayu sebagai penyalur barang-barang dari luar ke dalam negeri serta menjual hasil-hasil bumi kepada pedagang dari luar, mulai terdesak oleh pedagang keturunan China. Sebab Belanda memberi peluang kepada pedagang China menjadi pedagang perantara antara petani pribumi dengan Belanda yang akan mengekspor haisl-hasil itu ke Eropa. Keturunan China mendapat keistimewaan dari Belanda, sebab mereka tidak diperlakukan sebagai bumi putera yang dijajah. Akibatnya potensi atau budaya dagang orang Melayu tak mendapat peluang untuk maju dan berkembang.
Keadaan itu membuat orang Melayu terpaksa surut jadi petani. Maka dibuatlah mula-mula kebun kelapa, terutama di Pulau Tujuh, Pulau Midai. Kebun kelapa ini kembali memberi jalan pada budaya dagang orang Melayu, sebab hasil kelapa berupa kopra, menjadi komoditi pasar yang cukup mahal di pasar Singapura. Inilah yang memberi kejayaan bagi Syarikat Dagang Ahmadi, yang membuka perkebunan kelapa di Midai itu.
2. Siasat Penjajah
Sungguhpun begitu, Belanda dan Inggris, baik secara sadar atau tidak, telah meredam kegiatan dagang orang Melayu. Caranya begitu halus sehingga juga tak dirasakan (disadari) oleh orang Melayu. Belanda an juga Inggris, menawarkan getah dengan pasar yang lebih menarik daripada kelapa. Orang Melayu bersedia membuka kebun getah, diberi semacam kupon, yakni semacam surat izin tanam dan produksi oleh Belanda. Sistem ini terasa oleh petani getah amat menguntungkan. Sebab harga getah stabil dan mahal. Keadaan ini membuat jumlah petani karet dengan cepat meningkat. Maka kebun kelapa jadi terdesak oleh kebun getah, bahkan orang Melayu mengabaikan mata pencaharian yang lain. Mereka hidup dengan menjadi petani karet sebagai mata pencaharian yang dominan, sehingga hampir menjadi monokultur.
Dalam perkebunan kelapa, pada mulanya orang Melayu masih bisa merangkap jadi saudagar di samping jadi petani. Sebab kopra hasil kebun mereka, dengan mudah mereka jual ke Singapura. Ini berbeda dengan getah. Terhadap getah, orang Melayu hanya bisa jadi saudagar pengumpul di kebun atau di desanya. Hasil kumpulan itu dijual pada tauke China. Tauke-tauke ini yang akan menjual getah kepada Belanda atau Inggris, untuk selanjutnya akan dibawa ke Eropa menjadi bahan baku industri. Karena peranan tauke-tauke keturunan China semakin kuat maka perdagangan kopra akhirnya juga jatuh kepada mereka. Ini terjadi, karena pihak pembeli kopra di Singapura sebagian besar juga keturunan China. (bersambung)
(Riau Doeloe-Kini dan Bayangan Masa Depan, UU Hamidy)
Budaya Dagang Orang Melayu di Riau (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy