3. Tataniaga Getah
Kebun getah merupakan satu di antara mata pencaharian rakyat yang penting di Riau, di samping juga kebun kelapa dan sagu. Tetapi kehidupan petani karet tak kunjung baik. Hal ini menyangkut beberapa hal. Pertama, kebun getah rakyat kebanyakan tidak memadai luasnya untuk mendukung ekonomi keluarga petani. Kebun getah petani hanya berkisar satu sampai dua hektare. Bahkan sekarang makin banyak petani yang tidak memiliki lagi kebun getah, karena tak mampu meremajakan atau karena masalah lainnya, terutama tanah perkebunan mereka banyak yang diambil oleh perusahaan besar serta tak dapat lagi membuka kebun baru karena tanah ulayat mereka habis oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan perusahaan perkebunan.
Kedua, hasil kebun karet amat terpengaruh oleh keadaan cuaca. Pada musim penghujan, kebun karet tak dapat disadap. Ketiga, kualitas getah rakyat amat rendah mutunya, sehingga sulit meningkatkan harganya dalam persaingan yang semakin tajam.
Di luar masalah kebun getah yang demikian, yang lebih menentukan lagi taraf hidup petani ialah, mata rantai tata niaga getah rakyat yang terlalu panjang. Panjangnya tata niaga ini memberi akibat kepada harga getah. Adapun mata rantai tata niaga getah itu secara sederhana dapat digambarkan seperti di bawah ini.
Penyadap getah biasanya terpaksa berhutang kepada saudagar atau tauke pengumpul di desa. Tauke di desa ini biasanya masih keturunan pribumi. Penyadap getah atau anak semang terpaksa berhutang kepada induk semang (saudagar pengumpul) tentu oleh banyak hal. Tapi yang terpenting ialah oleh gangguan cuaca. Ketika tiba musim penghujan, anak semang tak bisa menyadap getah. Mereka ini terpaksa berhutang kepada induk semang, paling kurang untuk keperluan makan minum. Keadaan penyadap yang terjepit oleh hutang ini, menyebabkan induk semang dengan mudah dapat mengatur harga getah.
Kemudian saudagar keturunan pribumi itu berhutang pula kepada tauke pengumpul beberapa desa (tingkat kecamatan). Tauke besar ini biasanya keturunan China. Saudagar itu terpaksa berhutang, sebab modal untuk membeli getah petani, tidak mereka miliki. Oleh sebab itu, tauke keturunan China itu mempunyai wewenang lagi untuk menentukan harga getah. Keadaan itu sering makin parah lagi oleh berbagai pungutan tak resmi dari sejumlah pejabat dan aparat pemerintah terhadap tauke besar (keturunan China), terutama ketika ada peringatan hari besar, seperti upacara pacu jalur di Rantau Kuantan tiap Hari Proklamasi. Beban pungutan ini oleh para tauke juga ditimpakan kepada penyadap getah, dengan cara menurunkan harga getah. Keadaan serupa ini juga menimpa petani kelapa serta petani bahan mentah lainnya.
Dewasa ini (tahun 2000), kebun rakyat masih cukup luas di daerah Kuantan Singingi dan daerah Kampar Kiri. Semula ditanam getah biasa, sekarang sudak dipakai getah bibit unggul. Kebun kelapa di samping masih ada di daerah Kepulauan Riau, yang paling luas terdapat di daerah Inderagiri Hilir. Di Inderagiri Hilir, kebun kelapa dibuat pada tanah rawa. Kebun ini telah dibuat semula oleh perantau Banjar dengan memakai sistem parit. Selepas itu diteruskan oleh perantau Bugis. Tanah rawa dikeringkan dengan cara membuat parit-parit besar. Setelah tanah kering oleh parit tersebut, maka kelapa dapat ditanami. Di samping itu, parit tadi berguna pula untuk lalu-lintas pengangkutan kelapa ke luar dan ke dalam kebun.
Jalan sejarah yang telah menghalangi budaya dagang orang Melayu, disusul dengan dominasi pedagang keturunan China serta pasaran harga getah yang amat baik dalam tahun 1920-an sampai 1930-an, telah menyebabkan kebanyakan orang Melayu di Riau menjadi petani karet alam yang monokultur. Pengolahan getah yang relatif mudah dan singkat, membuat petani dengan segera mendapat uang. Keadaan inilah yang mendorong orang Melayu hidup boros, tidak merasa perlu untuk hidup hemat. Sebab, asal cuaca baik, tiap hari bisa mendapat uang dengan segera.
Meskipun sepintas lalu mata pencaharian menyadap karet cukup mudah mendatangkan uang, tapi sebenarnya pencaharian itu amat rawan sekali. Menyadap getah amat ditentukan oleh faktor cuaca. Ketia tiba musim penghujan, batang getah tidak dapat ditakik. Akibatnya, mereka terpaksa berhutang kepada induk semang atau tauke. Keadaan ini menyebabkan petani karet itu jatuh miskin. Mereka susah terlepas dari lilitan hutang kepada induk semang, sehingga sulit meningkatkan taraf hidup dan tidak ada peluang untuk membuka kebun baru. Sedangkan hasil ladang padi pada umumnya tidak memadai, sebab sering dilanda banjir atau mendapat gangguan dari berbagai binatang dan hama tanaman.
Memang biasanya orang Melayu itu tidak akan sampai kelaparan. Ini terjadi karena mereka mempunyai tradisi mata pencaharian yang disebut tapak lapan. Ada 8 macam mata pencaharian tradisional orang Melayu di Riau:
1. Berkebun, yakni membuat kebun kelapa dan kebun getah
2. Beladang, yakni menanam padi dan sayuran.
3. Beternak, yakni memelihara ayam, itik, kambing, sapi dan kerbau.
4. Bertukang, yaitu membuat bermacam barang dan bangunan.
5. Membuat gula enau, yakni mengambil (menetek) air enau, lalu dijual atau dijadikan manisan dan gula lebih dahulu.
6. Berdagang, seperti menjadi saudagar getah, menjual hasil bumi dari kampung ke pasar serta membuka kedai.
7. Mengambil hasil hutan, seperti rotan, damar, jelutung, gaharu, buah-buahan, kayu bangunan dan binatang buruan.
8. Menangkap ikan, yakni menjadi nelayan. Bisa juga sambil mendulang emas di beberapa anak sungai tempat mencari ikan.
Dari 8 mata pencaharian itu, akan ada satu mata pencaharian yang menjadi mata pencaharian pokok atau utama. Seperti diterangkan terdahulu, maka berkebun getah dan kelapa telah menjadi mata pencaharian utama kebanyakan orang Melayu di Riau. Mata pencaharian yang lain akan berperan sebagai pembantu atau penunjang. Karena banyak orang Melayu pernah menjadi petani karet, maka mata pencaharian lainnya menjadi diabaikan. Ini terjadi terutama ketika harga getah mahal, yakni dalam zaman Belanda (1920-1930-an) dan setelah kemerdekaan, yakni tahun 1950-an, semasa kabinet Burhanuddin Harahap dari partai Masyumi.
Setelah masuk zaman kemerdekaan, penduduk pribumi di Indonesia sebenarnya sudah mendapat peluang kembali untuk meningkatkan taraf hidupnya. Begitu juga orang Melayu sebagai penduduk tradisional di Riau. Beberapa hasil di Riau seperti getah, kopra, minyak kelapa rakyat, sagu, ikan kering, gula enau dan banyak lagi, punya peluang untuk menjadi barang dagangan. Tetapi, dalam keadaan itu puak Melayu di Riau menghadapi realitas yang dilematis.
Pertama, semangat dagang telah lama kendur, padahal lapangan dagang itu amat memberi harapan. Kedua, peranan keturunan China dalam berbagai mata rantai perdagangan, terutama kopra dan getah, sudah begitu mapan (kuat) sehingga hampir tak ada celah untuk mengambil bagian. Mereka telah punya jaringan dagang yang rapi dengan dukungan modal yang kuat, sehingga hampir tak mungkin lagi dapat disaingi.
Pada belahan lain, budaya dagang orang Melayu yang sudah lama tersurut dan terpukul, memberi konsekuensi amat sedikitnya pengalaman dalam dunia dagang. Tidak mudah lagi mencari individu yang berani berdagang. Di samping itu, puak Melayu amat lemah dalam modal. Kalau sekiranya diberi modal, masih diragukan keberhasilannya, sebab pengalaman yang sedikit amat sulit menghadapi jaringan tata niaga yang telah lama dikuasai oleh keturunan China.
Jika ada yang mencoba masuk ke dalam jaringan tata niaga itu, dia dengan mudah dipermainkan, sehingga akhirnya juga harus menyerah. Maka budaya dagang Melayu bagaikan sudah terperangkap. Kemampuannya paling-paling sebatas saudagar pengumpul di desa-desa, kemudian menyerahkan hasilnya pada jaringan dagang yang telah dikuasai oleh keturunan China.
Setelah kemerdekaan tahun 1950-an itu, ternyata orang Melayu masih mengandalkan kebun getah. Semangat berkebun masih bertambah oleh adanya harga getah yang mahal semasa itu, yakni ketika Burhanuddin Harahap menjadi Perdana Menteri tahun 1955. Ketika itu bagaikan masa keemasan bagi petani, tidak begitu jauh bedanya dengan harga getah yang mahal semasa penjajahan Belanda sebelumnya.
Sayangnya, harga getah yang baik dan mahal banyak melengahkan perhatian generasi muda terhadap pendidikan. Mereka banyak yang lebih suka menjadi penyadap karet, karena pendapatannya jauh melebihi penghasilan pegawai negeri. Sedangkan orang yang bersekolah hanya dipandang akan menjadi pegawai negeri, yang gajinya tidak seberapa. Di samping itu, di Riau memang susah mencari lembaga pendidikan tingkat menengah ke atas. Untuk menyambung sekolah, setelah tamat sekolah rakyat (sekolah dasar) harus pergi ke Sumatera Barat, Medan atau tanah Jawa.
Beberapa petani getah dan saudagar getah, memang telah mampu menyekolahkan anaknya ke tingkat menengah atas bahkan sampai perguruan tinggi. Generasi inilah yang menjadi pegawai negeri, terutama menjadi guru. Sebab sekolah guru seperti SGB dan SGA itulah yang segera berdiri di Riau, setelah kemerdekaan tahun 1950-an. Dengan keadaan itu, maka dunia dagang tetap kurang diperhatikan oleh orang Melayu di Riau. Untuk membangkitkan kembali semangat wiraswasta ini, perlu kiranya diperhitungkan beberapa tindakan seperti di bawah ini.
1. Generasi muda Melayu di Riau, harus segera memasuki dunia wirausaha seperti dagang, bidang jasa dan sejenisnya, sesuai dengan kemampuan yang memungkinkan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia perlu ditingkatkan melalui bidang pendidikan dan pelatihan.
2. Untuk mendapatkan pengalaman dan berbagai kiat dalam berdagang dan berusaha, puak Melayu seyogianya mencari kesempatan magang kepada suku lainnya yang telah berhasil seperti orang Minang, Bugis bahkan sebaiknya juga terhadap orang China.
3. Pihak pemerintah perlu memberikan bimbingan dan latihan dalam berbagai bidang usaha, sedangkan pihak bank bisa memulai memberikan pinjaman secara selektif, dengan sistem syariah tanpa riba.
4. Sudah tiba masanya orang Melayu mencoba berani membuat gudang asap untuk getah serta beberapa perusahaan minyak kelapa. Dalam hal ini barangkali bisa dimulai dengan lebih dulu melalui kerja sama dengan pihak yang relatif berpengalaman. Ini diperlukan, agar dalam tata niaga getah dan kopra, puak Melayu bisa makin kuat. Begitu juga mengenai sagu, cara pengolahan tradisional sudah mendesak untuk ditingkatkan, agar bisa lebih produktif.
5. Kualitas getah rakyat, dan barangkali juga kopra dan sagu sedapat mungkin mendapat perhatian pihak berwenang, agar dapat ditingkatkan dan terpelihara. Ini amat diperlukan untuk menjaga stabilitas harga.
6. Pihak petani karet, kopra dan sagu sudah tiba masanya punya hubungan dengan bank. Jika ini terjadi, pihak petani mendapat peluang untuk meremajakan kebun atau untuk membeli peralatan produksi yang lebih baik. Dalam hal ini pihak bank semestinya proaktif, tentu harus tetap dengan sistem syariah tanpa riba.
7. Pihak pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebaiknya ikut mendorong berdirinya koperasi petani karet, kopra dan sagu yang sehat dan sesuai dengan syariah. Jika ada kerja sama antara pihak pemerintah (koperasi) dengan bank dan LSM, besar kemungkinan hasilnya amat memadai. Jika ada koperasi yang sehat dan sesuai syariah serupa itu, maka harga dan kualitas serta pemasaran tentu bisa ditingkatkan. Keterikatan hutang kepada saudagar (tauke) bisa dikurangi, serta persaingan harga bisa semakin kompetitif.
Sementara itu, jika ada pertimbangan latar belakang tradisi masing-masing puak Melayu di Riau, dalam memberi peluang untuk memberdayakan perekonomiannya, tentu hasilnya bisa relatif lebih baik dan cepat. Puak Melayu Suku Laut misalnya, punya tradisi dalam pelayaran dan penangkapan ikan, tentu akan bisa berkembang lebih cepat, jika mereka diberi peluang dalam bidang tersebut, dibandingkan peluang dalam sektor lain yang masih baru dalam kehidupan mereka.
Suku Sakai punya persentuhan kehidupan yang menyukai rimba belantara. Mereka akan cepat tertarik pada proyek konservasi alam, reboisasi, pelestarian hutan dan sungai serta perlindungan flora dan fauna. Jadi mereka hanya memerlukan semacam bekal pengalaman yang lebih baik daripada yang telah mereka miliki, sehingga bisa ditingkatkan.
Puak Melayu Talang Mamak agaknya dengan mudah dapat menerima cara-cara baru dalam beladang tani, beternak dan berkebun getah, sebab bidang tersebut sudah lama menjadi mata pencaharian mereka. Juga puak Melayu Bonai sudah lama punya kehidupan tradisional beladang padi. Puak Melayu Akit dan Suku Asli (Hutan), terbiasa dengan sagu (rumbia), hutan bakau dan nelayan. Meningkatkan taraf hidup mereka, tentu akan lebih mudah dengan mengambil bidang pengalaman tersebut. Begitu juga halnya dengan puak Melayu lainnya. Delapan macam mata pencaharian tradisional atau tapak lapan, dapat dipilih mana agaknya yang paling baik untuk dikembangkan, sehingga mereka dapat segera meningkatkan perekonomiannya.
Jika mata pencaharian tradisional dapat menjadi titik tolak peningkatan taraf hidup puak Melayu, maka perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh, masalah hutan tanah sebagai modal utama usaha mereka. Hutan tanah mereka harus terpelihara daripada jatuh kepada pemilik modal, yang akhirnya membeli lahan itu untuk kepentingan perkebunan atau perusahaan besar. Untuk ini perlu perhatian dari berbagai pihak, terutama dari pemerintah yang harus punya kemauan politik untuk melindungi petani kecil, di samping pengendalian terhadap pemilik modal raksasa, agar bisa menahan diri dari keserakahan, tidak sampai membeli tanah ladang dan perkebunan rakyat dengan berbagai cara.
Karena itu, para petani di pedesaan Riau, benar-benar memerlukan kebijakan pemerintah yang dapat melindungi mereka dari ancaman pemilik modal yang kuat. Hanya dengan perlindungan itu, mereka dapat memperoleh kesempatan untuk memperbaiki taraf hidupnya secara bermartabat. Jadi, suatu tatanan ekonomi yang etis amat diperlukan, agar masing-masing pihak mendapat peluang untuk maju, dalam hubungan satu sama lain yang saling menguntungkan. Bukan seperti persaingan yang memakai hukum rimba, siapa yang kuat, dialah yang berjaya. Jika yang terakhir ini yang kita pakai, apa gunanya kita memakai Pancasila.***
(Riau Doeloe-Kini dan Bayangan Masa Depan, UU Hamidy)