Dari penyebaran serupa itu, maka patut diteliti tentang dua nama penting, yaitu nama Kuantan dan Taratak Air Hitam yang juga banyak dipakai bagi nama-nama tempat di Malaysia. Mustahil rasanya nama kuantan di Pahang tidak mempunyai hubungan dengan kuantan di Rantau Kuantan. Dari kajian belahan Rantau Kuantan, maka nama Kuantan Pahang, telah diberikan oleh perantau asal Rantau Kuantan itu, bagi mengingat kampung halaman mereka di Sumatera.
Sebagian lagi di antara mereka, terpaksa kembali ke pangkalan: surut ke Rantau Kuantan, negeri kelahiran nenek moyang mereka. Inilah dia yang pulang dengan membawa nama Kolang, Koda dan Johor, sebagai bahan kenangan bagi masa perantauan mereka yang pernah berhasil gemilang di Tanah Semenanjung. Yang surut ini, ada yang benar-benar menetap kembali di Rantau Kuantan, tetapi juga ada sebagian yang pergi ke daerah Kepulauan Riau, seperti Pulau Midai dan Tarempa. Kehadiran mereka ke daerah kepulauan itu, di samping karena tidak mau lagi berusaha di Malaya, juga oleh karena kehadiran Jepang yang diikuti oleh agresi Belanda sampai tahun 1949, yang akibatnya penuh dengan kekacauan kehidupan sosial dan ekonomi.
Ketika itu, daerah Natuna serta Pulau Tujuh di Laut China Selatan, merupakan tempat yang cukup aman untuk bekerja sebagai petani. Karena itu sebagian dari perantau asal Rantau Kuantan itu telah memilih daerah pulau-pulau yang terpencil itu untuk membuka lapangan kehidupan baru. Semula mereka bekerja sebagai buruh tani terhadap perkebunan kelapa Syarikat Dagang Ahmadi, suatu koperasi dan perusahaan bersama keluarga raja-raja Riau. Kelak, dengan modal ketekunan dan kepercayaan yang diberikan oleh pihak Syarikat Dagang Ahmadi, mereka akhirnya bisa memiliki kebun kelapa sendiri. Dewasa itu (tahun 1984), Pulau Midai sebagai pulau yang terbaik di daerah itu telah dikuasai kira-kira oleh sepertiga orang Rantau Kuantan. Sepertiga lagi kira-kira dikuasai oleh perantau asal Kampar, sedangkan sisanya berada di tangan Syarikat Dagang Ahmadi dan beberapa penduduk Melayu asal tempatan.
Roda sejarah yang pernah menurun dalam kehidupan para imigran Rantau Kuantan di Malaya, sedikit banyak dapat memberikan kesadaran kepada mereka, bahwa mereka juga harus ikut dalam dunia pendidikan, jika mau bertahan dalam percaturan kehidupan yang makin menajam. Tentulah atas kesadaran serupa itu, maka beberapa anak perantau itu telah memasuki sekolah-sekolah, dengan sekolah agama sebagai pilihan yang utama. Dari pemikiran serupa inilah, yang memungkinkan beberapa di antara keturunan orang Rantau Kuantan itu, kembali kelihatan tunasnya di Malaysia.
Di antara mereka dapat disebutkan pertama-tama ialah Haji Saleh Usman. Beliau tamatan pendidikan di Mesir dan hapal Al-Qur’an. Setelah dia menjadi guru di Perlis, dia berkenalan dan bersahabat baik dengan Tengku Abdurrahman, yang menjadi Perdana Menteri bagi Persekutuan Tanah Melayu yang pertama (yang kemudian menjadi Malaysia, setelah Singapura keluar dari Persekutuan Tanah Melayu itu). Saleh Usman telah pernah menjadi Ketua Pemuda atas jasa baik Tengku Abdurrahman. Yang kedua ialah Ibrahim Ya’kub dari negeri Jenjang (asal Sentajo Rantau Kuantan) pernah menjadi anggota Senat. Sesudah itu bisa disebutkan Haji Arsad (asal Benai Rantau Kuantan) pernah menduduki jabatan Kadi di Kuala Lumpur, sedangkan dia sendiri bertempat tinggal di Kuang. Akhirnya juga mulai mereka memasuki lapangan kemiliteran, di mana Muhammad bin Haji Taib di Batu Empat Gombak Road, merupakan orang Rantau Kuantan yang pertama memasuki asykar (tentara).
Kisah perantauan orang Rantau Kuantan ini, tentu saja sekarang bisa dibaca dengan nada suka bercampur duka. Bisa dibaca dengan nada suka, karena menjadi bukti bahwa rakyat negeri ini juga pernah memberikan sumbangan yang begitu rupa kepada negara tetangga kita dewasa ini, yang bagi orang Rantau Kuantan, tidak akan dipandang sekadar tetangga saja, tetapi sekaligus sebagai saudara atau famili sendiri. Dibaca dengan duka, karena kesempatan yang pernah begitu baik, yang telah dipegang oleh puak ini, terpaksa jatuh ke pihak lain, karena kelalaian dalam menghitung makna kehidupan ini. Kalaulah mereka dari awal mau membaca arah pergeseran sejarah, sedikit banyak tentulah nasib mereka oleh Yang Maha Esa, tidak akan sampai begitu jauh meleset.
Bagaimanapun, besar atau kecil peranan orang Rantau Kuantan bagi pembinaan Kuala Lumpur khasnya dan Tanah Melayu umumnya, namun tak disangsikan lagi, betapa andil atau saham mereka memang pernah ujud di rantau itu. Jalan Datuk Koyan, sebagai Kerani Penghulu Datuk Sati pernah ada di Kuala Lumpur. Penamaan jalan itu, tentulah untuk mengingat jasa-jasa kerani tersebut, yang kemudian menjadi Penghulu menggantikan bekas majikannya. Tetapi sayang, rasanya Kuala Lumpur seakan-akan melupakan kawan, ketika kita lihat tidak ada nama jalan Datuk Sati asal Rantau Kuantan itu.
Namun demikian, biarlah sejarah berada dalam dirinya sendiri. Tidak semua yang tertulis mempunyai makna. Biarlah beberapa bakti dan jasa baik dilupakan, karena agaknya mendiang atau almarhum yang berbakti itu memang telah berniat, bukan untuk mendapatkan nama pada sisi kehidupan manusia, tetapi cukuplah memperoleh penghargaan di sisi Allah sebagai Pemegang Tampuk Segala Kehidupan.
Sungguhpun begitu, Kampung Segambut di pinggiran Kota Kuala Lumpur dewasa ini masih menjadi kenangan sejarah yang relatif utuh, bagi perantau dari Rantau Kuantan. Segambut Dalam telah menjadi saksi hidup yang takkan terbantah, betapa dahulunya orang Rantau Kuantan telah ikut membina dan membangun di rantau itu. Jika kita memasuki Kampung Segambut Dalam, maka kita hampir merasakan bagaikan memasuki daerah Rantau Kuantan. Sebab di kampung itu bilangan besar penduduknya masih mempergunakan logat bahasa Melayu Rantau Kuantan. Inilah agaknya semacam duplikat Rantau Kuantan di Malaysia.***
(Membaca Kehidupan Orang Melayu, UU Hamidy)
Buku ini telah diterbitkan pada tahun 1986. Dalam konteks ruang dan waktu, beberapa hal dalam tulisan mungkin telah berubah.