Keberhasilan pendatang Rantau Kuantan di negeri Malaya, juga mendatangkan semacam kerugian kepada mereka. Dengan penghasilan kebun yang lumayan, mereka memandang enteng kepada pendidikan, sehingga anak-anak mereka jarang yang masuk ke bangku perguruan. Sebagian besar generasi mereka terjun kepada pertanian menggantikan atau mendampingi orangtua mereka. Akibatnya, dalam segi pendidikan, mereka jadi ketinggalan. Sebaliknya, orang-orang Minangkabau, keberhasilannya telah banyak digunakan untuk pencapaian dalam bidang pendidikan, yang akibatnya kedudukan mereka makin kuat.
Itulah yang menjadi pangkal bala, mengapa kedudukan orang Melayu Rantau Kuantan akhirnya mundur, dan digantikan oleh pihak lain. Setelah Penghulu Datuk Sati (asal Rantau Kuantan) meninggal dunia, maka dia semestinya dapat digantikan oleh kemenakannya yang bernama Hayun, atau oleh anaknya yang bernama Latif. Namun antara kedua orang itu (karena tidak mengenal ilmu siasat) berebut untuk menjadi Penghulu, sehingga bukan kata mufakat yang didapatkan, tetapi silang sengketa tanpa akhir. Dalam pada itu maka masuklah Kerani Datuk Sati sendiri asal negeri Cubadak Talu Pasaman (Minangkabau) yang lebih berpendidikan dari kedua orang calon itu, sehingga akhirnya kedudukan Penghulu jatuh dari tangan orang Rantau Kuantan kepada tangan pihak Minangkabau.
Tadi telah dikatakan, bahwa sekali setahun perantau asal Rantau Kuantan itu menyeberang lagi di Selat Malaka, menuju Rantau Kuantan. Memang hal ini merupakan satu di antara sifat mereka. Kerinduan pada kampung halaman amat tinggi kadarnya bagi puak Melayu di rantau itu. Perjalanan pulang-balik serupa itu, telah menimbulkan pula dimensi baru dalam hal kesenian. Para perantau inilah yang telah memperkenalkan permainan gasing di Rantau Kuantan, yang mereka bawa dari Tanah Semenanjung.
Jika di Malaya permainan gasing merupakan permainan bagi orang dewasa dan anak-anak, maka di Rantau Kuantan permainan itu hanya berkembang dalam dunia permainan anak-anak. Begitu pula seni musik. Di Rantau Kuantan telah lama orang bisa membuat celempong, sehingga kesenian tradisional rarak (musik) celempong enam, telah lama dikenal di rantau itu. Namun mereka belum membuat bentuk celempong yang lebih besar disebut gong atau tawak-tawak. Alat musik gong ini juga telah mereka kenal melalui perantauan di Malaya. Kabarnya, gong telah dibeli pertama-tama oleh orang Rantau Kuantan di Malaya kepada orang asal Serawak.
Setelah pasaran harga getah menjadi bahan mentah yang penting dalam perdagangan dunia, di mana Inggris dan juga Belanda memainkan peranan penting, maka perantau asal Rantau Kuantan di Semenanjung Malaya juga membuat kebun getah. Dalam tahun 1938 dapat dicatat beberapa pekebun getah asal Rantau Kuantan di sekitar Kota Kuala Lumpur. Di antaranya yang penting-penting saja ialah:
1. Di Jenjang, ada kebun Datuk Pendekar Batua, sekitar 38 eka (hektare).
2. Di Batu Empat Gombak Road, ada kebun getah Haji Kadir, kira-kira seluas 35 eka (hektare).
3. Di Batu Enam Gombak Road ada kebun Sandiang, sekitar 30 eka (hektare).
4. Di Batang Kali Ulu Selangor, ada kebun Maddin, kira-kira 40 eka (hektare) dan kebun Hajar sekitar 35 eka.
5. Pada beberapa tempat seperti segambut, Bukit Lanjan sebelah Damansara dan Petaling, ada sejumlah petani kebun getah asal Rantau Kuantan, yang memiliki kebun puluhan eka (hektare).
Para pemilik kebun sebagai ‘’raja getah’’ ini dewasa itu memiliki sebuah mobil sedan. Kemakmuran itu jugalah, yang menjadi pintu bagi kejatuhan mereka. Setelah mereka makin terdesak oleh pihak Minangkabau dalam posisi kehidupan sosial, dan dalam dunia perdagangan makin tak mampu bersaing dengan orang China, sementara itu dalam bidang pendidikan amat kurang, maka harta benda berupa kebun yang luas-luas itu dengan mudah jatuh ke tangan orang lain, yang lebih pandai membaca tanda-tanda kehidupan dan ahli bermain siasat.
Setelah posisi mereka yang kuat jatuh ke tangan pihak lain, diikuti dengan kekayaan berupa kebun getah terjual satu demi satu kepada pihak yang cerdik, maka mau tidak mau sebagian besar orang Rantau Kuantan itu mencari perhitungan lain. Dalam kedudukan sosial, mereka akhirnya merasa malu, oleh karena kehilangan kedudukan yang pernah mereka pegang, oleh ketinggalan dalam pendidikan mereka telah kehilangan kekayaan karena tak pandai menghitung masa. Akhirnya, sebagian di antara mereka meninggalkan Kuala Lumpur, mencari tempat peruntungan yang baru.
Dalam tahun 1938 itu, hampir semua posisi penting orang Rantau Kuantan telah digantikan oleh pihak Minangkabau. Maka mereka ada yang pergi ke Perak, Kedah, Pahang, Negeri Sembilan dan Johor. Ke Perak kabarnya telah berangkat Penghulu Hitam, yang kemudian menetap di Jerai. Ke Negeri Sembilan telah berangkat antara lain Haji Ya’kub gelar Datuk Marajo, menetap di Ngalau Seri Menanti. Juga M Taib gelar Haji Sutan mengambil tempat di Kampung Jempul. Subki gelar Malim Kaya mencoba bertahan dengan cara mengambil tanah di Hulu Langat, seperti juga yang dilakukan oleh beberapa orang lainnya di daerah Segambut. (bersambung)
(Membaca Kehidupan Orang Melayu, UU Hamidy)
Buku ini telah diterbitkan pada tahun 1986. Dalam konteks ruang dan waktu, beberapa hal dalam tulisan mungkin telah berubah.
Peranan Perantau Kuantan di Perantauan Malaysia (Bagian 4), Oleh: UU Hamidy