Boleh dikatakan hampir seratus peratus (persen) dari pada perantau asal Rantau Kuantan itu datang ke Malaya dengan tujuan bertani. Daerah yang menjadi pilihan utama ialah daerah Kuala Lumpur, yang semasa 50 tahun silam barulah merupakan sebuah pasar kecil. Mereka mencapai Kuala Lumpur dengan cara menyongsong aliran sungai atau batang Kelang, sehingga kemudian mendarat di sekitar daerah Petaling sekarang ini.
Memandang riwayat perjalanan serupa itu, maka penamaan Kuala Lumpur besar kemungkinan telah berasal dari lidah orang Rantau Kuantan, yang mencapai daerah itu dengan mempergunakan sampan menyongsong aliran sungai Kelang. Ketika sesama mereka bertemu, maka pihak yang baru datang dari hilir bertanya kepada yang telah tiba, ‘’sampai di mano gala parahu aang?” (sampai di mana galah perahu kamu, atau di mana perahu kamu ditambatkan?). Rekannya (temannya) menjawab, ‘’sampai di kualo lumpur du!’’ (sampai di tempat berlumpur itu, sampai di kuala yang berlumpur itu). Tempat itu kira-kira pada Mesjid Jamik Kota Kuala Lumpur sekarang ini, di mana telah bertemu dua aliran sungai, sehingga dewasa itu banyak mengendap lumpur di tempat itu. Karena tempat yang disebut sebagai kuala lumpur itu menjadi tempat persinggahan bagi orang Rantau Kuantan, maka menjadi buah mulutlah tempat itu. Hasilnya kemudian menjadi nama untuk suatu kota di tempat itu, yang makin berkembang pesat setelah hadirnya perantau-perantau dari Rantau Kuantan mendiami daerah itu.
Dalam awal abad ke-20 itu, orang Rantau Kuantan mencapai daerah Kuala Lumpur sekarang ini, dalam keadaan masih sebuah pasar kecil. Pasar itu juga berada di daerah delta antara dua aliran sungai, yang sekarang ini menjadi tempat Mesjid Jamik Kuala Lumpur. Pada masa itu Kuala Lumpur dijumpai oleh perantau dari Rantau Kuantan, masih terdiri dari beberapa deretan kedai, yang masih beratapkan atap daun rotan. Rupanya di daerah itu tidak tumbuh pohon rumbia, sehingga untuk atap terpaksa dipakai daun rotan.
Kehadiran orang Rantau Kuantan ke Malaya atau ke daerah Kuala Lumpur (sekarang ini) mula-mula bekerja sebagai petani kopi, dengan cara membuat kebun kopi. Mereka membuat kebun kopi di daerah hutan sekitar pasar kecil itu. Di antara daerah-daerah yang pernah menjadi kebun orang Rantau Kuantan ialah:
1. Batu Tiga Kampung Baru
2. Jenjang
3. Batu Tiga Jalan Gombak
4. Petaling
5. Bukit Datuk
6. Segambut
7. Bukit Lanjan
8. Damansara
Di samping berkebun kopi, mereka juga berkebun sirih, perkebunan mereka inilah yang menjadi bahan atau barang perdagangan pada pasar Kuala Lumpur. Ada dua orang perantau Rantau Kuantan yang cukup handal dalam masa awal tersebut. Pertama ialah Datuk Sati (asal dari negeri Sentajo, Rantau Kuantan) merupakan seorang petani yang paling luas kebunnya, dan cukup berpengaruh. Oleh pengaruhnya yang demikian, maka Pemerintahan Inggris telah mengangkat Datuk Sati menjadi Penghulu di Batu Tiga Setapak. Yang kedua ialah Haji Darun, merupakan satu-satunya pedagang kain asal Rantau Kuantan di Kuala Lumpur tempo itu. Setelah para pedagang China makin kuat, maka Haji Darun akhirnya bangkrut. Dia pergi ke Negeri Sembilan, dan diangkat menjadi mufti di daerah itu.
Ketekunan perantau dari Rantau Kuantan itu dalam bidang pertanian telah menjadi penyebab kemakmuran kehidupan mereka. Datuk Sati yang menjadi pemuka atau pimpinan mereka, semula merupakan Penghulu bagi anak rantau (dagang) bagi pedagang Rantau Kuantan, sehingga dia pernah juga disebut sebagai Penghulu Dagang. Tetapi karena keberhasilan dia dengan teman-teman seperantauan, dan kepandaian menyesuaikan diri, maka dia dikokohkan kedudukannya oleh Raja Selangor. Keberhasilan itu pertama-tama telah diniatkan untuk pergi haji ke Mekkah. Maka banyaklah perantau yang menjadi petani kebun di Malaya itu yang berhasil naik haji.
Selepas naik haji, mereka biasanya pulang sebentar ke Rantau Kuantan untuk bertemu dengan sanak famili, serta untuk melepaskan rindu kepada kampung halaman. Nanti setelah dua tiga bulan berangkat lagi. Dalam keberangkatan itu, ikut pula beberapa kaum famili, yang telah tergoda oleh kehidupan yang tampaknya amat bahagia di Tanah Melayu itu.
Keadaan serupa itu menyebabkan tersiarnya ke mana-mana di daerah Rantau Kuantan, bahwa para perantau di Malaya telah menjadi orang kaya-kaya, serta telah banyak yang naik haji. Berita ini menjalar kepada orang-orang Minang, sehingga kemudian muncullah lagi gelombang perantau dari daerah Minangkabau. Rombongan perantau dari Minangkabau yang paling besar jumlahnya telah berangkat di bawah pimpinan Nakhoda Yusuf. Mereka mula-mula banyak menumpang kepada orang Rantau Kuantan. Ada yang buat sementara menjadi anak semang, tapi juga ada yang kemudian membuat kebun dan berdagang. (bersambung)
(Membaca Kehidupan Orang Melayu, UU Hamidy)
Buku ini telah diterbitkan pada tahun 1986. Dalam konteks ruang dan waktu, beberapa hal dalam tulisan mungkin telah berubah.
Peranan Perantau Kuantan di Perantauan Malaysia (Bagian 3), Oleh: UU Hamidy