Dewasa ini orang Melayu yang tinggal di Rantau Kuantan, Provinsi Riau banyak sekali yang bernama sama dengan kota atau tempat-tempat yang berada di Malaysia. Nama Kolang (Kelang/Klang) merupakan nama diri yang paling banyak dipakai. Setelah itu menyusul nama Koda (Kedah) dan terakhir banyak pula yang memakai nama Johor. Setelah kita pelajari dengan saksama, mengapa orang-orang ini sampai bernama demikian, maka akhirnya terbukalah suatu kisah sejarah yang amat menarik.
Orang yang bernama Kolang, rupanya telah dilahirkan atau diperanakkan di Negeri Kelang/Klang. Yang mengambil nama Koda, rupanya disebabkan oleh karena ayahnya telah merantau ke Negeri Kedah, lantas dia kemudian lahir dalam perantauan di negeri itu. Begitu pula yang bernama Johor, rupanya telah ditakdirkan Allah Subhanahuwata’ala, dilahirkan atau diperanakkan di Kota Johor atau Negeri Johor.
Bersadarkan data-data mengenai nama-nama itu, maka terbukalah suatu rahasia mengenai migrasi orang Melayu Rantau Kuantan Riau ke Malaysia sekitar paling kurang satu abad berselang. Ini atas petunjuk, bahwa orang-orang yang bernama Kolang, Koda dan Johor itu, sekarang ini telah berumur antara 40-80 tahun, bahkan telah banyak yang sudah meninggal dalam masa sekitar 15-20 tahun belakangan ini. Kapan orang Rantau Kuantan itu merantau atau mengadakan migrasi ke Malaysia dan apa latar-belakang perantauan itu, tidaklah dapat dipastikan dengan nyata. Tetapi berdasarkan perbandingan kehidupan sosial dan siasat atau politik, kita boleh membuat suatu kajian tentang itu.
Menurut berita berangkai dari mulut ke mulut yang diberikan oleh orang tua-tua (yang sekarang ini berumur sekitar 75 tahun) dapat diketahui bahwa orang Rantau Kuantan telah merantau ke Malaysia (yang dulu mereka sebut Malaya) paling kurang semenjak abad ke-19, bahkan semasa Portugis di Melaka, kabarnya juga sudah mulai dalam jumlah yang terbatas. Tetapi gelombang yang paling besar dari migrasi dan perantau itu ialah dalam awal abad ke-20. Hal itu sangat erat hubungannya dengan beberapa hal. Pertama, dalam tahun 1905 Rantau Kuantan mulai dimasuki oleh Belanda. Setelah mendapatkan perlawanan yang kurang berimbang dari penduduk Rantau Kuantan, maka Belanda semenjak tahun 1906 boleh dikatakan telah menjajah atau menguasai negeri itu.
Oleh keadaan itu, maka beberapa bekas pejuang penentang Belanda pergi melarikan diri ke Malaya. Pilihan ke Malaya itu tentu saja mempunyai latar-belakang lagi. Tapi agaknya yang penting ialah, karena sifat penjajahan Inggris di Malaya terasa lebih lunak dari pada Belanda, sehingga orang Melayu Rantau Kuantan itu seakan-akan kembali merasakan martabat dan kemerdekaan dirinya setelah mencapai tanah tepi di Semenanjung Malaka tersebut. Di samping bekas pejuang, tentu saja ada para petani yang ikut pindah, yang juga memandang atau mendengar berita, kemungkinan kehidupan yang lebih baik di Malaya dari pada tetap bertahan di Rantau Kuantan. Pasaran harga getah pada awal abad ke-20 itu oleh pihak Inggris terhadap orang-orang Melayu pekebun getah di negeri Malaya, amatlah menggoda dibandingkan dengan pasaran dari pihak Belanda, yang baru memperhatikan hal itu secara khas dalam tahun 1920-an sampai tahun 1930-an mendekati kehadiran pendaratan Jepun.
Dengan demikian dapat dilihat ada paling kurang tiga alasan bagi perantau-perantau daerah Rantau Kuantan pada awal abad ke-20 itu, pergi ke Malaysia. Pertama, sebagai suatu cara menyelamatkan diri dari kejaran Belanda. Kedua, untuk mendapatkan rasa kebebasan yang lebih memadai. Dan ketiga, untuk mendapatkan suatu kondisi kehidupan sosial ekonomi yang layak atau mencukupi.
Ada dua macam jalan yang dipakai oleh perantau dari Rantau Kuantan untuk mencapai Malaya. Pertama sebelum kehadiran Belanda, mereka pergi ke Kelang dan Malaka melalui muara Sungai Kampar sekarang ini. Perjalanan dimulai dari negeri Sentajo (di Rantau Kuantan) kira-kira bertolak dari Batang Pelangkahan (Kampung Baru Sentajo sekarang ini). Oleh karena tempat berangkat atau tempat melangkah pergi merantau itulah, sungai tersebut diberi nama Batang Pelangkahan, yang berarti sungai (batang oleh orang Rantau Kuantan) yang dipakai untuk tempat bertolak atau melangkah pergi merantau.
Dari sini mereka menuju suatu tempat negeri Teratak Air Hitam (sebuah negeri sekarang ini di Rantau Kuantan) yang terletak di tengah hutan. Selepas itu berjalan terus ke arah Utara, sehingga sampai kepada sebuah tempat bernama Pontian Cimpur. (Kata Pontian, berasal dari kata ‘’perhentian’’). Setelah berhenti di sana, maka dibuatlah perahu besar untuk berlayar. Setelah perahu selesai, mereka pun masuk ke dalam Sungai Kampar pada daerah Langgam sekarang ini. Dengan perahu itu mereka terus menghilir Sungai Kampar sampai ke muaranya. Setelah sampai di muara, maka mereka terus menyeberangi Selat Malaka, sehingga kemudian mendarat di Malaka dan di Kelang.
Jalan kedua ialah dengan menghilir Batang Kuantan terus ke Inderagiri. Dari muara sungai itu langsung menyeberang ke Selat Malaka, lalu kemudian mendarat di Malaka atau pergi ke Kelang. Jalan ini dipakai setelah zaman Belanda. Sebenarnya jalan ini tampak lebih ringkas. Namun sebelum Belanda jalan ini tidak dipakai, sebab mereka yang migrasi ke Malaya itu, hendak menghindari cukai dari Kerajaan Inderagiri di hilir Rantau Kuantan.
Untuk memudahkan penyeberangan di Selat Malaka, maka para perantau dari Rantau Kuantan memilih musim keberangkatan semasa musim selatan. Dewasa itu angin bertiup dari selatan ke utara, sehingga memudahkan sampan mereka berlayar ke selat itu. Kemudian jika mereka pulang sekali setahun, maka mereka akan pulang pada musim angin utara, yang memudahkan pula perjalanan dari Semenanjung Malaka ke pesisir Timur Sumatera, di muara Sungai Kampar atau Sungai Indragiri. (bersambung)
(Membaca Kehidupan Orang Melayu, UU Hamidy)
Buku ini telah diterbitkan pada tahun 1986. Dalam konteks ruang dan waktu, beberapa hal dalam tulisan mungkin telah berubah.
Peranan Perantau Kuantan di Perantauan Malaysia (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy