1. Semakin Pudar
Pergiliran masa yang berlaku dalam sunatullah, juga telah melanda kehidupan seni tradisional Melayu di Riau. Pergiliran masa berupa menang-kalah, maju-mundur dan kejayaan serta keredupan, tak dapat dihindari oleh perjalanan seni tradisonal tersebut. Masa kejayaannya masih berlaku sampai tahun 1950-an, lantas memasuki masa kemunduran menjelang tahun 2000, lalu mengalami masa scram dewasa ini. Ada beberapa seni tradisional Melayu yang pernah jaya diminati khalayak, di antaranya: makyong, mendu, bersyair, bakoba, madihin, bangsawan, basiacung, kayat dan randai. Makyong dan mendu pernah mendapat sambutan yang baik di daerah Kepulauan Riau, terutama daerah Pulau Tujuh, yang sekarang disebut Natuna. Madihin dan bangsawan menjadi tontonan khalayak di Inderagiri Hilir. Basiacung mendapat tempat di Kampar. Bakoba di Rokan Hulu. Kayat dan randai di Kuantan Singingi, menumbai di Pelalawan. Sedangkan pembacaan syair, merata disukai oleh segenap puck Melayu di Riau.
Mengapa perjalanannya bisa bergerak kepada kemunduran? Perkara ini dengan mudah dapat dijawab setelah kita memperhatikan kehidupan masyarakat dewasa ini. Pertama, mungkin yang paling penting ialah, berubahnya pola kehidupan masyarakat Melayu dalam berbagai sektor kehidupan. Pada mulanya seni tradisional itu amat erat penampilannya dengan kegiatan sosial masyarakat Melayu, seperti upacara nikah-kawin, pindah rumah, perayaan hari besar Islam, khatam Qur’an, turun mandi anak, peringatan kematian, pecah-tobo, turun ke ladang dan sebagainya.
Pola kehidupan sosial itu, terutama di perkampungan Melayu sudah banyak yang jauh berubah. Bahkan beberapa di antaranya sudah ditinggalkan atau dilupakan. Dalam nikah-kawin misalnya, mulai muncul musik moderen yang disebut band, menggantikan musik tradisional Melayu yang disebut rarak dan kompang. Peringatan kematian sudah hampir ditinggalkan, sehingga tak ada lagi peringatan 1.000 hari dengan pembacaan syair atau kayat. Pecah-toba juga sudah hilang, padahal dulu dilakukan dengan menampilkan randai. Ini terjadi selaras dengan merosotnya dunia pertanian (sawah-ladang) dalam kehidupan orang Melayu di perkampungannya. Menumbai juga sudah hampir hilang, sejak rimba kepungan sialang rusak binasa oleh HPH dan berbagai proyek perkebunan, lebih-lebih oleh “illegal loging”
Sementara itu, peranan hiburan yang ditampilkan oleh seni tradisional Melayu mendapat tandingan yang hebat dari hingar-bingar budaya elektronik seperti film, televisi, berbagai kaset dan CD yang berserakan di mana-mana serta hampir dapat ditonton maupun didengar di seantero tempat. Dengan demikian, seakan lengkaplah keruntuhan tempat berpijak seni tradisional Melayu itu. Di samping itu, penduduk kampung Melayu semakin banyak yang pindah ke kota meninggalkan kampungnya. Ada pula perkampungan yang sepi, karena penduduknya pindah dari tepi sungai ke tepi jalan raya, yang jauh di daratan. Belum lagi yang pergi merantau ke Malaysia, karena kampungnya sudah berkecai-kecai jadi padang perburuan makhluk serakah dewasa ini.
Maka seniman seni tradisional bagaikan tinggal sebatang kara di tengah kampung yang lengang. Dalam pada itu, usia mereka yang semakin tua, menyebabkan makin banyak yang tidak bisa kreatif lagi. Malah mereka satu demi satu hilang, pergi ke liang lahat, dalam perjalanan menuju negeri akhirat.
2. Dokumentasi Museum Sang Nila Utama
Begitulah keadaan suram yang menerpa kehidupan seni tradisional Melayu di perkampungannya dewasa ini. Di tengah gagap-gempita dunia yang hiruk-pikuk, mereka kesepian tanpa khalayak yang memperhatikan. Bersabit dengan itu, barangkali pihak Museum Sang Nila Utama, dapat memberikan perhatian. Walaupun hanya sedikit, tapi agaknya dapat bernilai dalam riwayat seni tradisional di Riau. Pihak Museum Sang Nila Utama, dipandang layak memberi perhatian, karena ada beberapa peranan strategis yang dapat dilakukannya.
Sudah diketahui oleh khalayak, bahwa museum tempat menyaksikan berbagai koleksi budaya. Museum Sang Nila Utama tentu sudah dianggap menampilkan kokeksi budaya Melayu di rantau ini. Karena itu museum dikunjungi untuk mengetahui segala sesuatu tentang budaya. Kunjungan itu di samping untuk menambah pengetahuan, juga dapat memberikan nilai hiburan. Sebab koleksi itu juga bisa memberikan keindahan masa silam. Apalagi, jika pengunjung dari anak sekolah, mahasiswa dan generasi muda, tentu dapat memperoleh gagasan baru, jika mereka ternyata berjiwa kreatif dan tangan yang lasak.
Memandang peranan museum serupa itu, maka mengundang para seniman tradisional Melayu — yang tadi dijelaskan sudah begitu redup — tampil di Museum Sang Nila Utama, agaknya dapat memberikan beberapa makna budaya, untuk masa kini dan masa datang. Pertama, seni tradisional Melayu mendapat peluang lagi tampil di hadapan khalayak. Dengan peristiwa itu, seni tersebut dapat lagi diperkenalkan kepada zuriat masa kini, sedangkan sang seniman mendapat lagi kejutan kreatif. Kedua, jika penampilan seni tradisional ini dapat apresiasi dari berbagai kalangan, terutama para seniman muda, maka senuthannya dapat memberikan semangat kreatif yang yang lebih berkualitas seutuhnya.
Tetapi ada suatu hal yang lebih mustahak daripada itu. Penampilan seni tradisional Melayu di Museum Sang Nila Utama, merupakan kesempatan yang amat beharga untuk membuat dokumentasi elektronik tentang seni tradisional tersebut. Dokumentasi ini amat penting, sebab seni tradisional ini, tak lama lagi akan punah. Kalau sudah punah, dokumentasi takkan dapat lagi dibuat. Jika itu terjadi, maka kita kehilangan beberapa matarantai budaya masa silam. Dokumentasi itu, di samping untuk khazanah museum, dapat juga dipakai oleh para guru untuk bahan pelajaran muatan lokal budaya Melayu. Jika sebagian dapat dicetak, tentu gambar-gambar yang istimewa itu, dapat dipajang di mana perlu sebagai ikon budaya untuk menarik para wisatawan.
Kalau gagasan ini dapat diterima, maka dalam pelaksanaannya pihak museum dapat bekerjasama dengan 2 pihak. Pertama, dengan pihak Dewan Kesenian Daerah yang berada di tiap kabupaten. Pihak Dewan Kesenian Daerah dapat membantu mencari dan memilih mana saja seni tradisional yang masih dapat ditampilkan dari daerahnya. Kedua, pihak museum bekerjasama dengan Pemerintah Daerah kabupaten, agar mendapat kemudahan mendatangkan rombongan seniman tradisional itu, untuk tampil di Museum Sang Nila Utama, Pekanbaru. Alangkah baiknya, jika tiap rombongan seniman tradisional itu, juga sambil memperkenalkan obyek wisata di daerahnya, sehingga pemapilan mereka memberikan apresasi budaya yang lebih lengkap.
Dari penampilan sejumlah seni tradisional Melayu dari berbagai daerah di Riau, pihak Museum Sang Nila Utama dapat membuat dokumentasi budaya Melayu yang relatif lengkap dan lebih menarik. Peluang ini sungguh amat berharga. Sebab, jika cuai dan terlambat, maka segala-galanya hanya akan menjadi penyesalan.***