Ibarat cerita ‘’Dedap Durhaka’’, seperti itulah kelakuan bahasa Indonesia hari ini. Jati dirinya seakan telah tercerabut dari induknya yakni bahasa Melayu. Dia kini tak lagi merujuk pada asal-usulnya.
Pengarang Melayu nan piawai, Raja Ali Haji telah menyindir tingkahlaku seperti ini dalam ikat gurindamnya: ‘’jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi bahasa’’. Bahasa adalah cerminan akal budi sebab itu ‘’bahasa menunjukkan bangsa’’. Jika di masa penjajahan bahasa Melayu harus bersaing dengan bahasa Belanda, maka di masa kemerdekaan, bahasa Melayu yang telah melahirkan bahasa Indonesia harus menghadapi cabaran dari bahasa asing (terutama bahasa Inggris) dan dialek daerah (terutama Jawa).
Begitu banyak kata-kata asing dan bahasa daerah yang diserapnya sehingga jati diri bahasa nasional itu sekarang telah berubah arah. Sebab, kata-kata serapan itu bukanlah padanan yang tepat, malah justru menjadi sampah bahasa. Masuknya unsur-unsur bahasa asing dan dialek daerah ini tanpa diperhitungkan dan tiada disaring. Kelalaian ini akhirnya menimbulkan gedoran. Itu semua berpunca karena kita tidak membina bahasa sebagai salah satu monumen kebudayaan.
Itulah salah satu kerisauan yang dibahas dalam pertemuan ‘’Koordinasi dan Konsolidasi Program Kerja Balai Bahasa Provinsi Riau 2015’’. Acara yang berlangsung di Hotel Ibis Pekanbaru pada 22 hingga 24 Februari tersebut dihadiri oleh sejumlah elemen. Mulai dari budayawan, sastrawan, lembaga adat, akademisi, jurnalis, kartunis, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Kepolisian hingga Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata dari 12 kabupaten-kota se-Riau. Hadir di antaranya budayawan Al azhar dan Suwardi MS, akademisi Junaidi dan Elmustian Rahman, Ketua Dewan Kesenian Riau Kazzaini KS, serta para sastrawan dan seniman seperti Taufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, Mosthamir Thalib, Musa Ismail, Abel Tasman, Hang Kafrawi, Syaukani Al Karim, Marhalim Zaini, Hary B Kori’un dan masih banyak lagi. Berbagai elemen ini diminta memberi masukan kepada Balai Bahasa dalam bentuk usulan penelitian dan kegiatan.
Asal, Dasar dan Akar
Kita harus membuka kembali akar sejarah. Kongres Bahasa Indonesia di Medan pada 1954 telah menjelaskan bagaimana hubungan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu. Pada kongres itu dirumuskan bahwa asal dan dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu. Dalam panggung sejarah, istilah bahasa Melayu punya banyak referensi sehingga patut dijernihkan kembali. Merujuk pendapat para ahli bahasa dan sastra seperti CA Mees, HB Jassin, Umar Junus dan Anton Moeliono, bahasa Melayu yang dimaksud adalah bahasa Melayu Riau.
Dalam hal ini, ada mata rantai yang saling bersangkut-paut dalam perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu sejak keberadaannya beratus tahun lalu sebagai lingua franca hingga setakat ini. Hal tersebut harus benar-benar diperhatikan, sebab jika tidak, akan ada hal yang rumpang. Bahasa Melayu punya sejarah yang panjang sehingga telah membuatnya memegang peranan di kepulauan Nusantara. Faktor histroris telah menjadikannya sejak beberapa abad lampau berhasil menjadi bahasa perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan kepulauan Indonesia. Faktor sebagai bahasa yang dominan inilah yang kelak memperlicin jalannya menjadi bahasa resmi di Indonesia dan Malaysia.
Sejatinya, bahasa Melayu Riau dan bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia adalah sama. Karena, bahasa Melayu di Semenanjung Melaka dan Singapura semula sebenarnya adalah bahasa Melayu Riau yang mendapat aspirasi dari suku-suku Melayu di sana sehingga mendapat predikat nasional yakni Bahasa Melayu Persekutuan Tanah Melayu. Wilayah penggunaannya terbagi dua karena Inggris dan Belanda membagi dua kekuasaan di Asia Tenggara melalui Perjanjian London 1824. Inilah yang memecah wilayah pemakaian bahasa Melayu Riau.
Setelah titik pisah wilayah itu, bahasa Melayu Riau dalam daerah Kerajaan Riau (pecahan dari Kerajaan Melayu Riau) ternyata semakin baik perkembangannya karena dibina secara sungguh-sungguh oleh sejumlah pujangga dan penulis. Istilah Kerajaan Melayu Riau merujuk pada pengertian Kerajaan Melayu yang meliputi Riau dan Semenanjung Melaka. Sementara istilah Kerajaan Riau merujuk pada daerah Riau dan daerah takluknya di pesisir Sumatera atau setelah periode Perjanjian London 1824.
Pilar Agung Raja Ali Haji
Pelopor yang mengasuh dan membina bahasa Melayu ialah Raja Ali Haji. Bersama kawan-kawannya, Raja Ali Haji membuat bahasa Melayu menjadi bahasa yang bernilai standar. Pada zaman Raja Ali Haji dalam Kerajaan Riau, pembinaan bahasa Melayu Riau mencapai pembakuan dan punya tata bahasa yang standar. Ia menulis Bustanul Katibin pada 1857 yang mencakup ilmu bahasa dan ejaan. Buku ini sejatinya adalah tata bahasa standar untuk bahasa Melayu Riau. Ia juga menulis buku Pengetahuan Bahasa pada 1859 yang menurut penilaian A Teeuw dapat disebut sebagai kamus yang sangat penting dan dapat dipandang sebagai ensiklopedi. Raja Ali Haji bukan sekedar ahli bahasa dan sastrawan. Ia juga penulis sejarah, ulama dan penyair. Dialah pilar agung yang membawa bahasa Melayu ke altar yang bermartabat.
Di sekeliling Raja Ali Haji masih banyak lagi sastrawan dan penulis yang ikut membina bahasa Melayu Riau. Raja Ali Kelana telah menulis buku Bukhiatul Aini Fi Hurufil Maani yang sudah membicarakan apa yang disebut oleh ilmu bahasa dewasa ini dengan istilah ‘’fonemik’’. Abu Muhammad Adnan mengarang beberapa kita pelajaran Bahasa Melayu Riau. Pada zaman itu bahkan sudah ada organisasi pengarang yakni Rusydiah Klab yang berhasil mengusahakan percetakan di Pulau Penyengat yaitu Mathabaatul Riawiyah yang sudah mulai aktif semenjak tahun 1894.
Tetapi, politik kolonial Belanda yang ditentang raja-raja Riau –termasuk Raja Ali Haji–membuat Belanda membenci Raja Ali Haji. Walaupun nantinya Belanda terpaksa jua mengambil bahasa Melayu Riau sebagai bahasa resmi pemerintah jajahannya. Masalah politis membuat karya-karya Raja Ali Haji tidak mendapat perhatian yang sewajarnya dalam studi-studi bangsa Belanda dan Inggris karena dinilai tak menguntungkan kepentingan penjajah. Pembiaran ini membuat karya-karya Raja Ali Haji tenggelam dalam kabut zaman sehingga namanya terlepas dari perkembangan bahasa Melayu Riau. Padahal, di kemudian hari bahasa Melayu Riau dipakai sebagai alat perjuangan oleh para pejuang dan pemimpin kemerdekaan yang akhirnya diakui secara resmi dalam peristiwa Sumpah Pemuda 1928.
Segala jerih payah Raja Ali Haji disangkal oleh jalan sejarah. Perbuatan ini dapat disamakan dengan ‘’hilang jasa kapak oleh jasa ketam’’. Jerih payah Raja Ali Haji dan sejumlah pengarang Riau membina dan memelihara bahasa Melayu dengan bertungkus-lumus, hilang begitu saja, oleh hasil pekerjaan orang di belakang mereka. Raja Ali Haji dan para pengarang Riau-lah yang sebenarnya bekerja keras, tapi yang mendapat nama ialah orang yang memperhalus pekerjaan mereka.
Kelakuan serupa sekarang pun telah dilakukan bahasa Indonesia yang mendurhakai ibunya, yakni bahasa Melayu. Akibatnya, bahasa Indonesia jadi terlantar, tumbuh liar bagai semak-belukar. Asas-asas yang dimilikinya –yang tak lain adalah jati dirinya– telah tercabik-cabik, berkecai. Sendi-sendinya pun lumpuh.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof Mahsun, yang hadir sebagai pembicara di malam pembukaan pada Ahad (22/2) malam, mengakui Riau sebagai negeri asal-usul bahasa Indonesia. Bahkan, dalam hasil penelitiannya tentang kata-kata yang berakhiran a-a-a, e-e-e dan o-o-o yang merujuk pada bahasa Melayu, ternyata para pemakainya tersebar di banyak daerah di Indonesia.
‘’Banyak hal yang telah membuktikan bahwa bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu asalnya dari Riau. Ini tidak boleh kita nafikan,’’ ujar Mahsun.
Kembali ke Pangkuan Ibu
Menurut budayawan Al azhar yang tampil sebagai pembicara pada Senin (23/2), Riau adalah salah satu ‘’negeri kata-kata” terpenting di Nusantara, sejak dulu hingga sekarang. Bahkan, budayawan UU Hamidy dalam bukunya yang terbit tahun 1981 telah menahbiskan negeri ini sebagai ‘’pusat bahasa dan kebudayaan Melayu”.
‘’Untuk itu, Balai Bahasa Provinsi Riau harus mendekati dan memperlakukan bahasa Melayu sebagai bahasa yang bermartabat. Bukan sekedar ’bahasa daerah’ yang bukan hanya terkesan sempit, tapi juga mengingkari kenyataan,’’ ujarnya.
Dikatakan Al azhar, khazanah kebahasaan dan kesastraan Melayu Riau ini harus didesak untuk kembali menjadi patokan utama bahasa Indonesia. Dalam cakrawala harapan Melayu di Riau, ini terletak pada ketunakan Balai Bahasa Provinsi Riau untuk ‘’memulangkan sirih ke gagangnya, memulangkan pinang ke tampuknya’’. ‘’Balai Bahasa Provinsi Riau justru perlu menjadi agen yang mendesak kepulangan sang anak (bahasa Indonesia) ke pangkuan ibunya (bahasa Melayu),’’ tuturnya.
Pada era tahun 1950-an, lanjut Al azhar, tidak kurang dari 2.500 kosa-kata dalam buku Pengetahuan Bahasa yang ditulis oleh Raja Ali Haji, dimasukkan semuanya ke dalam Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS Poerwadarminta. Anehnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan tahun 2008, semua perbendaharaan kata warisan Raja Ali Haji itu dihilangkan. ‘’Ada apa? Ini tentu patut dipertanyakan,’’ katanya.
Al azhar menilai, tingkat konsumsi sastra yang rendah berkaitan erat dengan kegagalan terbesar Indonesia dalam membangun bangsanya: yaitu kegagalan pembudayaan keberaksaraan. Kewibawaan sejarah dan kekayaan khazanah kebahasaan serta kesastraan Melayu di Riau merupakan modal yang lebih dari cukup bagi Balai Bahasa Provinsi Riau untuk membangun keunggulan-keunggulannya.
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning, Junaidi, yang memberi makalah pada sesi kedua menilai keberadaan Balai Bahasa belum begitu dikenal di masyarakat. Padahal, bahasa dan sastra menjadi bidang yang penting untuk diurus. Ia juga menyarankan Balai Bahasa menjadi lembaga penelitian yang unggul, pusat informasi dan memberi pelayanan yang prima di bidang kebahasaan dan kesastraan.
‘’Untuk itu Balai Bahasa harus melakukan kegiatan yang bersifat mengembangkan, membina dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia serta Melayu,’’ tutur Junaidi.
Meski menjadi ujung tombak pembinaan bahasa, tentulah tidak patut hanya menyandarkan pekerjaan besar ini semata kepada Badan Bahasa. Menurut Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau, Agus Sri Danardana, selama periode tahun 2000-2014, baru 58 kali diadakan penyuluhan bahasa dan sastra Indonesia. ‘’Dari 1.890 orang yang disuluh, guru menempati posisi paling besar dengan jumlah 1.470 orang dan perkiraan jumlah penduduk Riau mencapai 6,4 juta jiwa. Itu juga bermakna masih ada 109.302 guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum disuluh,’’ ungkap Danar.
Politik Bahasa
Kenyataan memberi bukti, tindakan-tindakan kita selama ini telah mengabaikan pembinaan bahasa Indonesia dan memutuskan mata rantainya sama sekali dengan bahasa Melayu Riau. Yang terjadi kemudian adalah dimasukkannya unsur-unsur bahasa asing dan dialek daerah tanpa penyaringan. Politik bahasa nasional di Indonesia masih belum dipersiapkan sedemikian rupa sehingga perimbangan perkembangan dan pertumbuhan bahasa nasional di satu pihak, dengan dialek suku di pihak lainnya serta bahasa asing pada pihak ketiga belum diarahkan sedemikian rupa.
Sebenarnya, tak hanya bahasa Indonesia yang harus kembali ke pangkuan ibunya yakni bahasa Melayu Riau. Bahasa Melayu Riau sekarang juga kehilangan kendali dari bahasa standar Melayu Riau zaman yang lampau sehingga kehilangan arah dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Kecuaian kita terhadap bahasa harus segera ditegah. Kita kini sebenarnya sedang diuji, apakah bahasa dan budaya yang menjadi tonggak kepribadian atau jangkar harga diri itu dapat dipertahankan dari pengaruh-pengaruh luar atau kita lebur ke dalamnya sehingga kehilangan kepribadian sama sekali.
Dalam pembinaan bahasa Indonesia, alangkah baiknya jika kita memperkayanya dengan perbendaharaan bahasa Melayu Riau karena bahasa ini telah merupakan asal dan dasar bahasa Indonesia. Kemudian baru dilengkapi dengan perbendaharaan dialek-dialek daerah suku lainnya sampai kepada taraf-taraf yang dapat diterima. Dengan demikian, kita takkan sukar membuat pembakuan dan tidak akan begitu sesuka hati memakai bahasa Indonesia atau begitu sewenang-wenang memasukkan kata-kata asing ke dalam bahasa Indonesia setiap waktu.
Selama bahasa Indonesia masih memperhitungkan standarisasi bahasa Melayu Riau, maka selama itu dia akan tetap punya kepribadian dan hanya dengan demikian pula dia dapat mempertahankan eksistensinya terhadap pengaruh bahasa asing. Pembinaan dan pemeliharaan bahasa Indonesia seyogianya tidak mengabaikan dasar-dasar bahasa Melayu yang telah menjadi jati diri bahasa Indonesia. Memelihara dasar-dasar bahasa Melayu amat penting agar bahasa Indonesia tetap punya dasar yang kokoh. Dalam hal ini, keberadaan Riau dalam bidang bahasa dan budaya tidak dapat dinafikan. Riwayatnya pernah mempersatukan Riau, Johor, Pahang dan Singapura.
Kembali ke Pangkal Jalan
Satu-satunya cara mengatasi masalah ini adalah kembali ke pangkal jalan. Dalam pemakaian bahasa Indonesia sekarang ini, setelah perbendaharaan kata-kata bahasa Melayu diabaikan, maka logika bahasa Indonesia telah lumpuh. Orang kerap mengacaukan ‘’siap’’ dengan ‘’selesai’’, ‘’lari’’ dengan ‘’kabur’’, ‘’Ahad’’ dengan ‘’minggu’’, ‘’panggang’’ dengan ‘’bakar’’ dan masih banyak lagi.
Pengucapan bunyi bahasa (fonem) juga harus baik. Bunyi bahasa itu sebaiknya diucapkan seperti pengucapan oleh pemakai bahasa ibu (native speaker). Karena bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang dibina di Riau oleh Raja Ali Haji, yang kemudian terpelihara menjadi bahasa Melayu Tinggi, maka seyogianya pengucapan bahasa Indonesia memperhatikan pengucapan bahasa Melayu yang terpelihara itu.
Sebab itu, hasil-hasil karya dalam bahasa Melayu Riau dari abad yang lalu terutama buku-buku Raja Ali Haji dan kawan-kawannya mutlak diketahui oleh generasi sekarang. Para sastrawan masa kini pun hendaknya kembali menjaga dan membina bahasa Melayu Riau sebagaimana yang telah dilakukan Raja Ali Haji dan kawan-kawannya dalam abad ke-19. Mengarang adalah warisan leluhur yang selalu dipelihara. Meminjam lidah Hasan Junus, ‘’dari Kuantan ke Siantan, bersatu di ujung mata pena’’. Bahasa dipandang sebanding dengan budi. Bila rusak bahasa, binasalah budi.
Van Ophuijsen –yang mengarang Logat Bahasa Melayu (Tata Bahasa Melayu) pada 1901–mengatakan paling kurang ada 4 alasan mengapa ia mengambil data bahasa Melayu Riau untuk menyusun tata bahasa Melayu. Pertama, bahasa Melayu Riau punya perpustakaan tertulis yang jumlahnya besar, baik yang lama maupun baru. Kedua, pengaruh sastra lama masih ditiru (dilestarikan) di Riau. Ketiga, bahasa Melayu Riau dipakai di istana-istana Melayu, dalam pergaulan dan surat-menyurat golongan berpendidikan. Keempat, bahasa Melayu Riau paling sedikit mendapat pengaruh dari bahasa-bahasa lain. Jadi bahasa ini relatif lebih murni dari dialek Melayu lainnya.
Mengutip pemikiran UU Hamidy dalam bukunya Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau, ibarat karet, jagad Melayu dapat direntang panjang maupun pendek. Dalam rentang yang panjang, jagad Melayu merupakan rantau rumpun bahasa Melayu-Polinesia yang lintasan wilayahnya mulai dari Madagaskar di barat sampai ke Pulau Pass di Lautan Teduh di timur, melintas lagi dari Pulau Fomosa di utara sampai New Zealand di selatan. Inilah suatu rumpun bahasa yang terluas wilayahnya di dunia. Dalam bingkai ini, jagad Melayu tentu jauh lebih besar dari Indonesia.
Sedangkan rantau Melayu dalam rentang yang lebih pendek meliputi kawasan Asia Tenggara dengan wilayah Selat Melaka sebagai pusarannya. Jika jagad Melayu yang luas punya bingkai budaya yang dirangkai oleh bahasa dan budaya, maka jagad Melayu yang sempit dijalin oleh bahasa serta adat resam Melayu dengan berpunca pada agama Islam. Pada pusaran wilayah Melayu Selat Melaka itulah Riau telah memainkan peranan dalam jagad Melayu paling kurang sejak abad ke-19 sebagai pusat bahasa dan budaya Melayu serta pengembangan Islam.
Pada akhirnya, persaudaraan budaya terasa semakin penting, karena manusia ternyata tak lagi tersekat oleh tanah dan air yang telah menjadi peta geografi politik. Manusia rupanya merasa terpisah oleh budaya. Maka bingkai budaya yang terpelihara dapat melintasi geografi politik, sehingga antar pendukung budaya yang sama, dapat merasakan suatu persaudaraan. Inilah yang bisa berlaku pada jagad Melayu.
Karena itu, bagi orang Melayu di Riau, sulit sekali untuk memandang Malaysia sebagai negeri asing. Sebab mereka terikat secara histroris, budaya dan pertalian kekeluargaan. Sejumlah saudara-mara mereka berkembang biak di sana dan tetap menjaga hubungan kekeluargaan dengan pihak Riau. Hasutan nasionalisme yang sempit takkan pernah mempan jika dihadapkan pada hal ini.
Pemerintah Indonesia harus diakui memang belum memiliki kebijakan dalam hal bahasa dan kebudayaan. Dua hal terakhir hanya diterjemahkan dalam wilayah administratif yang ujung-ujungnya adalah proyek yang kemudian memberi laluan untuk rasuah. Karena bukan dianggap sebagai spirit, orang-orang yang ditugaskan membina bahasa dan kebudayaan adalah mereka yang sama sekali tidak punya sentuhan dalam kedua bidang berkenaan. Dampak dari cara berpikir seperti itu, di negeri ini, masa depan adalah kekuasaan, bukan kebudayaan, peradaban, apatah lagi akal budi.
Kita jangan sampai melakukan kejahatan intelektual dengan mengaburkan jalan sejarah yang sesungguhnya. Jika yang buruk itu belum juga ditinggalkan, tentu kerusakannya akan berlanjut terus sampai hari ini. Inilah yang dibidas oleh bidal Melayu ‘’lah bungkuk dek menganyam, dek salah dari mulai’’. Gambaran masa silam adalah bagian dari iktibar yang harus dibaca bagi yang rindu pada kebijaksanaan.***