- Allah Yang Maha Kuasa Pemegang Kuda Takdir
Apa yang Engkau kehendaki terjadi
Meskipun aku tidak menghendaki
Apa yang aku kehendaki tidak terjadi
Apabila Engkau tidak menghendaki
Yang ini Engkau karuniai
Sementara yang itu Engkau rendahkan
Yang ini Engkau beri pertolongan
Yang itu tidak Engkau tolong
Manusia ada yang celaka
Manusia ada juga yang beruntung
Manusia ada yang buruk rupa
Dan ada juga yang bagus rupawan
Inilah rangkaian sajak jawaban Imam Syafi’i ketika beliau ditanya tentang takdir. Rangkaian perkataan itu benar-benar menetapkan bagaimana Allah Yang Maha Kuasa menjadi episentrum pada jagad raya ini. Segala sesuatu kembali kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Segala sesuatu bergantung dan berharap kepada Allah Yang Maha Pengatur.
Allah Yang Maha Bijaksana benar-benar dapat berbuat sekehendaknya, sedangkan makhluk ciptaan-Nya benar-benar tidak berdaya. Bagaimanapun juga manusia berbuat, berusaha merancang dengan teliti tapi segala keputusan tetap kembali kepada Allah Ta’ala. Sebab, Dia-lah yang awal, Dia-lah yang akhir. Dia-lah yang dzahir, Dia-lah yang bathin.
Manusia yang tidak percaya kepada yang ghaib tidak akan bisa beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebab, Dia-lah Yang Maha Ghaib serta mengetahui segala yang ghaib. Jangan heran jika dikatakan nasib manusia berada di antara jari-jemari Allah Yang Maha Kuasa. Hanya dengan beriman kepada takdir, seorang insan dapat merasa tenang menyandarkan segala daya-upayanya kepada Allah. Dia akan dapat menerima takdirnya dengan sabar setelah bertawakkal kepada Allah Yang Maha Pemurah.
- UU Hamidy Anak Angkat Bupati Madura
Tahun 1967, dengan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala saya menyelesaikan sarjana muda (BA) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang. Dengan ijazah itu saya dapat mengajar kemampuan berbahasa Indonesia pada IKIP Malang sebagai asisten dosen luar biasa. Kemudian pada tahun 1968 saya mendapat peluang pula menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia pada SMA Islam di Batu yang baru berdiri berkat jasa Bang Raja Samad.
Saya harus ke Batu sekali seminggu mengajar pada SMA Islam tersebut. Jarak Batu sampai Malang lebih kurang 18 Km. Saya kesulitan pergi ke Batu karena asrama Wisma Bakti tempat tinggal saya cukup jauh dari lintasan oplet (mobil tambang) ke Batu. Tidak kurang dari 3 Km antara Wisma Bakti dengan Jalan Bogor tempat melintas mobil tambang ke Batu.
Dalam kesulitan ini, Allah Yang Maha Bijaksana telah mengatur nasib saya, sehingga mendapat kemudahan pergi mengajar ke Batu. Allah Ta’ala menakdirkan saya bertemu dengan Pak Mangunsiswo, pensiunan Bupati Madura, yang rumahnya berada di Jalan Bogor (depan Taman Makam Pahlawan), tempat melintas mobil tambang dari Malang ke Batu.
Saya bertemu dengan Pak Mangun (kalau tak silap) di jalan kereta api tebu yang melintas dekat Jalan Bogor, tempat berada rumah Pak Mangun. Pada peristiwa itu, saya mengatakan padanya akan pergi ke Batu untuk mengajar dan perlu tempat menitipkan sepeda selama berada di Batu. Perbincangan kami berlangsung hangat, penuh persaudaraan seiman. Kemudian dengan ramah Pak Mangun langsung mengajak singgah ke rumahnya dan mempersilahkan saya menitipkan sepeda di situ.
Takdir saya bertemu dengan Pak Mangun telah memudahkan saya mengajar ke Batu sekali seminggu. Saya dengan mudah menanti mobil tambang di depan rumah Pak Mangun. Sebentar kemudian, saya sudah dapat berangkat ke Batu. Hubungan dengan Pak Mangun dan keluarganya makin erat lagi setelah anaknya, Permadi Restiko (dipanggil Didik) pulang dari Bogor setelah selesai Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Rupanya Didik lantai mendirikan shalat. Pak Mangun mendapat akal. Dia menyuruh saya ketika pulang dari Batu supaya shalat Dzuhur di anjungan paviliun yang dijadikan Didik tempat kerja dan istirahat. Saya dengan Didik segera jadi akrab dan juga Allah memberi hidayah Didik tidak lalai lagi mendirikan shalat.
Pergaulan saya dengan Pak Mangun serta keluarganya, lebih lagi dengan Didik, dapat memberikan suasana kehidupan yang menyenangkan. Saya malah sampai menggorengkan ikan mujair yang dipelihara di kolam halaman rumah untuk Pak Mangun sekeluarga. Dia heran bercampur kagum, bagaimana saya bisa memasak seperti itu.
Lalu saya katakan, saya sudah pandai memasak nasi sejak umur enam tahun semasa saya berkebun dengan bapak saya di tepi rimba belantara. Bapak saya, Haji Harun, memberi petunjuk cara memasak nasi yaitu mengukur tinggi air dua inchi di atas beras dalam periuk. Bila air mulai mendidih, beras dikacau. Jika air sudah hampir habis, bara api disingkirkan. Karena itu, menggoreng apalagi memanggang ikan, adalah pekerjaan biasa bagi saya sejak kecil.
Hubungan yang dipertalikan oleh iman dalam aqidah Islam ini bagi Pak Mangun berpunca pada memandang saya sebagai anaknya. Bagi saya, peristiwa ini merupakan pertolongan tak terduga, yang merupakan janji Allah kepada hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa.
Hal ini pernah jadi dasar saya minta izin pada ibu saya agar dia rela melepas saya merantau ke Malang. Jika ada tamu datang ke rumah Pak Mangun –kerabat maupun orang kampungnya—maka dia akan berkata, ‘’Kenalkan, anak saya UU Hamidy dari Riau’’, dengan senyum bangga.
- Menerbitkan Buletin Unggas di Malang
Permadi Restiko pulang dari Bogor ke Malang kalau tidak silap tahun 1968. Setelah saya diperkenalkan oleh Pak Mangun dengan dia, saya selalu menumpang shalat dzuhur di tempatnya bekerja. Setelah itu, kami bertukar pikiran sehingga semakin lama semakin akrab. Sewaktu pesta pernikahan Didik dilangsungkan di Sumenep, saya ikut ke sana sebagai teman akrab yang juga bahagia atas pernikahannya.
Setelah menikah, Didik membuka usaha peternakan unggas, yakni ayam petelur. Dia mendapat tempat di pinggir kota daerah persawahan. Di situ dia menyewa paviliun dan tanah di belakangnya untuk kandang ayam. Didik dengan mudah membuka usahanya, sebab di samping punya keahlian juga didukung oleh modal yang memadai. Saya dan Didik menyewa lagi sawah yang kosong kemudian kami berladang padi di situ, dekat kandang ayam tersebut.
Pada masa itu, peluang beternak ayam petelur sedang mendapat pasaran yang cukup menggembirakan. Banyak orang menggunakan tanah pekarangannya untuk beternak unggas atau ayam. Karena Didik seorang sarjana ahli peternakan, maka banyak peternak minta bantuan bagaimana supaya peternakannya berhasil. Keadaan ini, membuat Didik membentuk persatuan peternak unggas di Malang agar dapat bekerja sama yang saling menguntungkan.
Kerja sama peternak unggas ini, dibingkai dengan menerbitkan buletin Unggas yang terbit tidak berkala. Didik minta saya menjadi ketua redaksi sedangkan dia sebagai tenaga ahli yang dapat menjelaskan berbagai masalah tentang peternakan ayam. Dalam buletin itu, akan diberitakan anggota yang baru, pasaran harga telur ayam, harga makanan ternak, masalah penyakit ayam serta artikel peternakan.
Begitu banyak anggota yang minta bantuan untuk mengobati ternaknya, maka Didik melatih saya bagaimana menyuntik ayam yang sakit agar dapat membantunya mengobati ternak yang sakit. Demikianlah nasib saya ditakdirkan berkenalan dengan Pak Mangunsiswo, pensiunan Bupati Madura. Saya tidak lagi hanya bekerja sebagai asisten dosen dan guru SMA Islam saja, tapi juga sudah punya ilmu tentang unggas sehingga dapat membuka peluang menambah amal shaleh bagi saya in syaa Allah.
Saya bersyukur kepada Allah Yang Maha Bijaksana yang telah memberi takdir begitu unik kepada saya sehingga saya minta ilham agar selalu berdzikir memuji kebesaran-Nya, memohon keridhaan-Nya serta terpelihara oleh aqidah yang benar dalam perjalanan panjang yang akan berhadapan dengan Allah mempertanggung-jawabkan segala perbuatan kita. Semoga Allah menerima segala amal saya dengan segala kekurangannya, sebab hanya Dia-lah Rabb yang berhak diibadahi dan disembah dengan benar. Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.***
(Kisah UU Hamidy di Malang dapat lagi dibaca dalam tulisan ‘’Jejak Langkah Menghindari Jerat Demokrasi’’ pada lama bilikkreatif.com juga dalam buku Gelanggang Budaya Melayu; 70 Tahun UU Hamidy, Bilik Kreatif 2013)