- Bertawakkal kepada Allah Ta’ala
Allah Yang Maha Kuasa telah menciptakan alam serta segala isinya agar Dia dikenal oleh makhluk-Nya, sehingga segala ciptaan-Nya baik yang di langit maupun di bumi selalu bertasbih memuji-Nya. Karena itu, hanyalah Dia Rabb yang berhak diibadahi dan disembah dengan benar. Tak ada sekutu bagi-Nya dalam segala dimensi kehidupan.
Maka Allah Maharaja umat manusia membentangkan dunia dan akhirat sebagai tempat kehidupan. Dunia untuk kehidupan yang fana, sedangkan akhirat untuk kehidupan yang kekal. Kehidupan yang fana hanyalah bagaikan berhenti sejenak di bawah pohon, menuju kehidupan kampung akhirat yang kekal, yang tidak lagi mengenal bilangan hari, bulan dan tahun.
Sungguhpun kehidupan dunia bagaikan hanya berteduh sejenak di bawah pohon dalam perjalanan yang panjang ke akhirat –sebagaimana digambarkan oleh Junjungan Alam Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam—namun hidup dunia adalah pangkal jalan (modal) yang akan menentukan hidup di akhirat. Hidup di dunia akan menentukan nasib kehidupan di akhirat. Inilah rahasia hidup dan mati yang diciptakan oleh Allah Yang Maha Bijaksana untuk menguji siapakah yang terbaik amalnya. Maka barang siapa yang tidak menyandarkan amalnya atau hidup dan matinya kepada Allah Ta’ala niscaya akan merugi di akhirat.
Saya bersyukur kepada Allah Yang Maha Pemurah, lahir sebagai penganut Islam. Saya menyaksikan bapak saya Haji Harun dan ibu saya Ora Mi’ah melaksanakan rukun Islam : shalat, puasa, zakat (sedekah) sepanjang hidupnya. Mereka berdua selalu memanggil saya M a r s u m a n, dengan budi bahasa yang lembut serta penampilan akhlak yang mulia.
Mereka tak pernah membentak dan menghardik saya. Mereka mengajari saya sejak umur enam tahun cara menanak nasi, memanggang dan menggoreng ikan serta menggiling cabai. Saya juga diajar membuat sayur yang paling sederhana, yaitu dengan teknik uap. Ambil pucuk ubi, letakkan di atas nasi dalam periuk yang akan dipadamkan bara apinya. Ini namanya pucuk ubi diuapkan. Duh, alangkah enaknya dimakan dengan nasi yang pakai sambal belacan.
Belum lagi tamat Sekolah Dasar, bapak saya sudah meninggal dunia. Dia meninggal semasa saya kelas lima sekolah dasar. Hiduplah saya dengan ibu serta dua orang kakak perempuan dan satu adik perempuan. Peristiwa itu membuat saya segera membaca tanda-tanda kehidupan yang disampaikan oleh Allah Yang Maha Kuasa. Saya harus belajar hidup bertawakkal kepada Allah yang menentukan segala urusan.
Untuk menyambung ke tingkat sekolah menengah yakni Sekolah Guru B (SGB) selama tiga tahun, saya menyadap atau menakik getah tiap hari Ahad dan hari libur, agar bisa beli pakaian dan keperluan lainnya. Saya dapat kelapangan numpang makan di rumah kakak saya Siti Saidah yang tinggal di Teluk Kuantan dengan suaminya Djo Sahan.
Tapi sebelum saya sekolah ke Jambi, kakak Siti Saidah sudah meninggal. Padahal suaminya sudah berjanji akan membantu biaya sekolah saya. Setelah menyambung pada sekolah menengah atas yakni Sekolah Guru A (SGA) tiga tahun di Jambi, saya menggunakan kepandaian dari ibu dan bapak saya tadi. Karena pandai memasak sendiri, saya dapat bersekolah dengan hidup sederhana setelah mendapat beras 10 Kg sebulan dari sekolah.
Kepandaian saya memasak sendiri langsung memberikan keuntungan pada saya. Guru saya tiga orang masih bujangan—Ahmad Sunarya, Hargijono dan Muhammad Yusuf—minta saya belanja tiap hari Ahad. Saya membelikan di pasar apa yang mereka pesan. Setelah belanja di pasar, saya memasak untuk mereka. Tengah hari setelah makan siang, baru saya pulang.
- Perahu Kecap Cap Benteng
Kisah hidup saya dari SGB Teluk Kuantan sampai SGA Jambi barulah bagaikan berlayar dengan perahu di pesisir pantai. Belum lagi mengharungi lautan dengan ombak bersabung. Ombak bersabung dengan laut yang tak bertepi ditakdirkan Allah Yang Maha Kuasa sebagai cobaan hidup bagi saya setelah saya berada di Malang, selama enam tahun (1964-1970).
Setelah saya beritahukan kepada ibu saya bahwa saya akan pergi ke Malang menyambung sekolah, ibu saya geleng-geleng kepala tanda dia tidak mengerti bagaimana jalan pikiran saya. Dia berkata, ‘’Lihat Marsuman, bagaimana kemiskinan bersarang di rumah kita.’’
Saya menerangkan kepadanya dengan lembut, bagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an terhadap orang beriman. Akhirnya, ibu saya melepas saya berangkat dengan pesan, ‘’Marsuman, jangan sampai tinggal shalat,’’ dengan suara parau serta mata yang sembab menahan airmata yang mengandung sedih dan kasih sayang.
Maka saya segera memperbaiki dan menetapkan niat saya. Saya bersekolah dengan tujuan mencari ridha Allah, beribadah dan memuji Allah semata, melalui jalan shirotol mustaqim serta dengan pedoman syariah Islam. Saya mengucapkan kata bersayap kepada diri saya, ‘’Tidak ada lagi ayah dan ibumu’’ agar saya hanya benar-benar bersandar dan bertawakkal kepada Allah Yang Maha Pemurah. Menyerahkan shalat, ibadah, hidup dan mati hanya kepada Allah semata.
Menempuh lautan hidup yang tiada bertepi dengan ombak bersabung saya mulai di Kota Malang. Begitu saya sampai tahun 1964, saya langsung hidup dengan makan nasi jagung sebab beras mahal. Kesulitan ekonomi disebabkan oleh Indonesia konfrontasi dengan saudara sendiri Malaysia serta oleh rongrongan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang hendak merebut kekuasaan tahun 1965.
Allah Yang Maha Penyayang mula-mula menolong saya dengan beasiswa Pendidikan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP) yang cukup untuk beli beras setiap bulan. Kemudian dapat lagi beasiswa dari Yayasan Beasiswa Bakti di Malang. Semula, beasiswa Bakti dapat menutup belanja dapur tiap bulan. Kemudian beasiswa ini dijadikan biaya makan di asrama Wisma Bakti. Meskipun dapat dua besiswa tapi tetap tidak mencukupi karena nilai uang waktu itu amat rendah.
Dalam keadaan serupa itu, Ketua Yayasan Pak Djarot Setyabudhi (Liem Tiang Hok) menawarkan, siapa yang ingin dapat tambahan belanja kuliah dapat menjual barang-barang keperluan dapur (bahan makanan) dari toko kepunyaan adiknya. Barang-barang disediakan dengan harga murah agar penjual dapat keuntungan yang memadai.
Ada beberapa orang anak asrama yang tertarik, tapi setelah mencoba, mundur lagi. Mungkin karena tak tahan susah payah atau sebab lain karena sulit cari pembeli. Saya langsung mencoba dan pergi ke toko tersebut melihat barang-barang yang diperkirakan akan laku dijual. Saya pilih empat macam barang yang unggul : kecap cap Benteng, sabun cuci cap Kepiting, dendeng dan minyak goreng. Masing-masing saya ambil satu sebagai contoh, lalu dimasukkan ke dalam ransel. Besok saya bawa sambil pergi kuliah ke kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jalan Semarang 1 Malang.
Selepas kuliah, saya mendatangi rumah para dosen dengan membawa contoh barang yang disangkutkan pada sepeda saya. Saya pilih lebih dulu dosen yang saya kenal atau dia kenal pada saya. Kepada ibu dosen saya tawarkan, ‘’Ini Bu, saya punya barang-barang : kecap, sabun cuci, dendeng dan minyak goreng. Ibu dapat beli dari saya dengan harga sama dengan harga toko besar (penyalur dan pengecer). Barang saya antarkan tanpa biaya kepada Ibu.’’
Setelah dia melihat barang-barang itu, saya tanya, ‘’Berapa Ibu beli sabun cuci cap Kepiting?’’ Dia jawab sekian. Lalu saya sambung, ‘’Dari saya Ibu dapat potongan harga 20 persen dari harga yang Ibu beli.’’
Ibu dosen itu mulai tertarik. Lalu saya tanya lagi, dia pakai kecap cap apa? Dia jawab cap Bango. Saya timpali, ‘’Ini kecap saya cap Benteng, yang in syaa Allah lebih enak dari Bango dengan harga sepuluh persen di bawah harga cap Bango yang Ibu beli.’’
Alhamdulillah, beberapa ibu dosen mencoba pesan jadi pelanggan. Sementara itu, dosen yang kenal saya sebagai sekretaris Badan Dakwah Islam (BDI) IKIP Malang, langsung menyambut saya tanpa ragu memesan barang-barang yang diperlukannya. Setelah mereka bandingkan barang saya dengan harga toko, akhirnya mereka simpulkan barang-barang saya memang lebih murah dari harga toko. Akibatnya, makin banyaklah ibu para dosen itu menjadi langganan saya. (bersambung)