Masuknya agama Islam ke daerah Riau sebagai suatu daerah Melayu serat hubungannya dengan keadaan dan letak geografis rantau ini. Keadaan geografis yang banyak terdiri dari pantai dan sungai telah menyebabkan mudahnya pedagang-pedagang Islam mencapai daerah itu. Seperti kita ketahui, juru dakwah atau penyiar agama Islam telah berkelana ke berbagai penjuru dunia dengan cara berdagang. Dagang merupakan cara yang efektif masa itu untuk menyampaikan ajaran Islam, bukan untuk tujuan ekonomi semata. Itulah sebabnya penyiar Islam yang datang sebagai pedagang itu segera menyinggahi ceruk dan rantau Riau untuk menyampaikan panggilan Islam terhadap anak negeri di kawasan tersebut.
Berdasarkan perjalanan para penyiar agama Islam yang datang sebagai pedagang itu maka besar kemungkinan pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi agama Islam itu mungkin telah sampai di Riau, sebagaimana juga disimpulkan oleh ‘’Seminar Masuknya Islam ke Nusantara’’ di Aceh tahun 1980. Tetapi karena masyarakat Melayu dewasa itu terkendali oleh kerajaan, maka peranan kerajaan juga cukup besar dalam penyebaran Islam.
Menurut DGE Hall dalam bukunya A History of South East Asia, tahun 1960 halaman 178, Melaka sebagai sebuah kerajaan Melayu yang strategis telah memeluk Islam sejak tahun 1925 sehingga telah memainkan peranan pula sebagai pusat agama Islam di Asia Tenggara di samping Aceh. Tetapi, raja Melaka Prameswara baru resmi menyatakan dirinya sebagai pemeluk Islam tahun 1414, dengan mengubah namanya menjadi Sultan Muhammad Iskandarsyah. Ini menjadi bukti bahwa agama Islam itu lebih dahulu telah dianut oleh anak negeri melalui pergaulan mereka dengan para pedagang Islam yang datang dari tanah Arab, Parsi dan Gujarat.
Meskipun awal penyebaran Islam di kepualauan Melayu telah dimulai oleh penyiar Islam yang datang sebagai pedagang tapi dalam perkembangan selanjutnya peranan kerajaan Melayu dalam mata rantai penyambung kerajaan Melayu raya Sriwijaya telah memainkan peranan cukup menentukan dalam penyebaran agama Islam di rantau Asia Tenggara. Ini terjadi pertama karena Melaka merupakan pusat kekuasaan dan pusat dagang yang amat dominan selama hampir 200 tahun, dari abad 14 sampai abad 15.
Posisi Melaka yang serupa itulah yang kemudian membuka peluang terhadap islamisasi di daerah Riau. Raja-raja Melaka itu juga mempunyai hubungan keturunan dengan raja-raja Melayu di belahan Riau yaitu dengan raja-raja Kerajaan Riau Lingga, Siak, dan Indragiri. Melalui hubungan ini maka agama Islam juga dengan mudah dianut oleh kerajaan dan anak negeri Melayu yang berada di belahan Riau.
Dari sejumlah kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Riau, maka Kerajaan Siak Sri Indrapura yang berpangkal dari Kerajaan Gasib mungkin kerajaan Melayu yang lebih dulu mempunyai perhatian besar terhadap Islam. Ini mungkin ada hubungannya dengan raja-raja Siak enam orang yang terakhir adalah keturunan Arab. Besarnya peranan kerajaan Siak sebagai pusat agama Islam di Riau telah membekas kepada julukan orang-orang yang tahu tentang Islam (berilmu tentang islam) disebut dengan ungkapan ‘’orang siak’’. Dengan ungkapan itu, bukan lagi diartikan sebagai orang yang berasal dari Siak, yang lebih penting ialah orang itu dipandang sebagai orang alim, mempunyai ilmu mengenai agama Islam. Ungkapan ini masih terpelihara sampai sekarang dalam berbagai dialek Melayu di Riau.
Setelah raja-raja Melayu di Riau menerima agama Islam maka nilai-nilai Islam telah dipakai untuk memandu kerajaan. Mahkamah kerajaan telah dipimpin oleh para ulama dengan gelar mufti. Mereka membuat kanun (undang-undang dasar) dan berbagai kitab hukum, sehingga mahkamah kerajaan dapat memutuskan berbagai perkara dengan dasar-dasar Islam. Kerajaan Riau Lingga (1824-1913) telah membuat Kanun Kerajaan Riau Lingga, Undang-undang Lima Pasal, dan Undang-undang Polisi Kerajaan Riau Lingga. Sementara itu, kerajaan Siak telah membuat kitab bab Al Kawaid sebagai pegangan pokok oleh ahli mahkamah kerajaan itu.
Perjalanan sejarah beberapa kerajaan Melayu di belahan Riau memberi petunjuk kepada kita betapa agama Islam merupakan sistem nilai yang diindahkan oleh pemegang teraju kerajaan. Dalam kerajaan Riau Lingga, pada penghujung abad ke-19 malah berkembang dengan subur tarekat Naqsyabandiyah. Raja-raja Riau Lingga menjadi pengikut setia bahkan ada di antara mereka yang bergelar mursyid. Inilah yang menyebabkan kadar Islam cukup dominan dalam kepemimpinan masyarakat Melayu.
Keberhasilan agama Islam menjadi sistem nilai yang dominan dalam pandangan hidup puak Melayu di rantau itu telah mengubah pula pola kepemimpinan puak Melayu. Pada mulanya, tokoh-tokoh pemimpin Melayu ialah para raja (bangsawan kerajaan), datuk-datuk (pembesar adat dalam suku atau anak puak) dan para dukun yang juga meliputi pawang, bomo dan kemantan. Dalam jajaran ini, para raja memegang teraju kehidupan kerajaan, para datuk mengemudikan kehidupan suku dengan asas adat, sedangkan para dukun memegang kendali tradisi.
Setelah Islam kokoh, muncullah tokoh agama yang pengaruh kepemimpinannya yang dapat melebihi semua tokoh tersebut. Dalam pandangan ruhaniah puak Melayu di Riau, ulama itu lebih tinggi martabatnya daripada para pemimpin-pemimpin lainnya, sebab ilmu ulama itu meliputi tentang dunia dan akhirat. Sedangkan tiga tokoh sebelumnya hanya sebatas mengurus kepentingan dunia saja.***
(Potensi Lembaga Pendidikan Islam di Riau, UU Hamidy)