Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Agama dalam Kebudayaan Melayu di Riau, Oleh : UU Hamidy
Foto : airasia.com

Agama dalam Kebudayaan Melayu di Riau, Oleh : UU Hamidy

Kehadiran agama Islam ke dalam kehidupan masyarakat Melayu di Riau telah menyebabkan mereka pindah dahan dari kepercayaan Animisme-Dinamisme (yang kemudian dipandang karut) kepada kepercayaan tauhid yang terang-benderang mengesakan Tuhan. Perpindahan kepercayaan ini memberi konsekuensi logis terhadap budaya mereka. Ini tidak mengherankan sebab tiap kebudayaan memang harus berpijak kepada kepercayaan yang dianut oleh masyarakat.

Setelah puak Melayu di Riau merasa lebih tentram dengan agama Islam, maka mereka akhirnya mengisar pandangan hidupnya. Pandangan hidup yang semula Animisme-Dinamisme yang berisi mitos tradisional dalam kegelapan yang sesat berpindah kepada pandangan hidup Islam yang terang-benderang, rasional dan penuh hikmah.

Agama Islam dipandang oleh orang Melayu di Riau tidak hanya sebatas untuk kepentingan hidup atau untuk kematian saja. Tetapi dapat menjawab kedua kepentingan itu. Agama ini dipandang dapat membimbing kepada kebahagiaan hidup di samping mempersiapkan diri untuk menemui ajal. Sebab itu, orang Melayu mengatakan agama Islam dapat dipakai untuk hidup serta ditumpangi untuk kematian

Oleh posisi yang demikian, maka adat dan resam (tradisi Melayu) kemudian diselaraskan begitu rupa agar tidak bercanggah dengan ajaran Islam. Untuk kepentingan ini, adat dan resam yang semua berpijak kepada mitos leluhur kemudian diberi landasan Islam sehingga terkenallah ‘’adat bersendi syarak, syarak bersendi kitab Allah’’.

Posisi agama Islam yang berada sebagai sentral kehidupan orang Melayu mau tidak mau telah menapis adat resam Melayu sebagai unsur-unsur yang tidak dapat diterima oleh ajaran Islam. Proses penyaringan ini tentu saja tidak dapat berjalan dengan cepat dan lancar. Sebab betapapun juga adat dan resam itu telah lama mengalir dalam kehidupan puak Melayu. Proses ini masih berlangsung sampai sekarang, kadang kala berjalan deras, tapi sering pula lamban. Sesuai dengan irama ruang dan waktu serta tingkat persepsi ajaran Islam dalam berbagai lapis masyarakat Melayu di Riau.

Bagaimanapun juga, proses penyaringan adat dan resam Melayu oleh agama Islam sesuai dengan pasang naik dan pasang surutnya hasilnya telah dapat kita lihat. Perhatikanlah beberapa contoh. Kepemimpinan Melayu yang semula ditentukan oleh faktor keturunan setelah berpijak kepada norma adat (undang-undang buatan manusia) dan resam dari warisan masa silam masih dihargai, tapi semua norma warisan tersebut mendapat timbangan dari norma-norma ajaran Islam.

Dengan cara ini maka orang Melayu membuat asas ‘’raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah’’. Asas kepemimpinan ini merupakan lanjutan daripada kepemimpinan Melayu, ‘’raja tidak boleh menghina rakyat, dan rakyat tidak boleh durhaka kepada raja’’ yang telah ditaja oleh leluhur Melayu Datuk Demang Lebar Daun dengan Raja Sang Sapurba.

Dalam pergaulan antar jenis, seperti bujang dan gadis, adat Melayu telah memberi sekat sehingga perbuatan zina dapat dihindari. Pertama, mereka dapat bertemu dengan adanya tabir sebagai penyekat. Lelaki berada di bawah rumah sedangkan perempuan di atas rumah. Mereka bercakap-cakap dengan bahasa cinta serupa pantun, tidak bahasa yang vulgar. Jika mereka amat berhasrat bertemu muka, maka pihak perempuan didampingi oleh salah seorang kaum kerabatnya. Jika sampai terjadi perbuatan melampaui batas yang disebut ‘’salah bujang gadis’’, maka mereka segera dinikahkan.

Dalam bidang pertanian, bisa dilihat bagaimana adat Melayu membuat suatu sistem sehingga ladang atau tanah pertanian dapat bertahan kesuburannya. Orang Melayu di rantau itu membuat ketentuan enam bulan menggembalakan ternak dan enam bulan lagi melepaskan. Selama enam bulan yang pertama (menggembalakan) digunakan oleh petani untuk mengolah ladangnya sampai menuai. Pada enam bulan berikutnya, maka ternak dilepaskan sehingga dapat memakan sisa ladang dan rumput yang ada di situ. Akibatnya, tanah peladangan kembali subur sebab ternak yang makan dan berkembang biak di situ dengan sendirinya membuang kotorannya yang akan menjadi pupuk bagi ladang.

Dalam upaya untuk melestarikan alam, puak Melayu dengan adatnya yang bercitra Islam membuat sistem tanah ulayat membagi hutan tanah menjadi tiga bagian penting yakni : tanah peladangan, rimba kepungan sialang, dan rimba simpanan. Tanah peladangan dipakai untuk kepentingan hajat hidup sebagai sumber bahan makanan. Rimba kepungan sialang untuk tempat lebah hutan bersarang yang madunya sangat tinggi khasiatnya.

Rimba kepungan sialang itu biasanya memisahkan ladang yang satu dengan ladang yang lain sehingga juga berfungsi sebagai penyimpan air dan menangkap erosi serta untuk penghutanan kembali. Rimba simpanan (rimba larangan) berguna untuk cadangan kepentingan umum. Hasil-hasilnya berupa kayu, rotan, damar, buah-buahan, dan binatang buruan dapat diambil dengan izin pemangku adat sehingga pengambilan hasil hutan ini tetap terkendali. Rimba simpanan ini juga amat berguna untuk binatang dan margasatwa agar dapat berkembang biak dengan bebas. Walhasil, sistem hutan tanah Melayu dapat menjamin ekologi yang lestari.

Resam atau tradisi Melayu yang lebih banyak berhubungan dengan tata cara memperlakukan alam memberi peluang kepada para dukun, bomo, pawang, dan kemantan mengambil peranan. Upacara seperti membuka ladang, mengepung ikan, mengambil madu lebah, menggetah kuaran, menangkap harimau, dan berbagai pengobatan telah dilakukan oleh tokoh tradisi ini. Tampaknya, dalam resam inilah unsur-unsur warisan leluhur yang bermuatan Animisme-Hinduisme masih terkesan. Tapi setelah Islam masuk ke masyarakat Melayu, yang berjalan bagaikan akar kayu menembus tanah, unsur-unsur yang tak selaras dengan Islam, semakin lama semakin menyusut. Ini terjadi karena pandangan dukun yang semula berpijak kepada mitos makhluk halus, segera digeser kepada kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa.

Pada mulanya, makhluk halus menjadi andalan untuk mendapatkan ketenteraman dan kesembuhan. Sebab, makhluk ghaib itu dipandang cukup menentukan dalam hal bencana dan ketenteraman. Setelah Islam dianut oleh orang Melayu, pandangan dukun berubah menjadi ‘’penyakit tidak membunuh, obat tidak menyembuhkan’’. Ini berarti, penyakit dan obat semuanya bergantung kepada kekuasaan Allah, tidak kepada mahkluk halus.

Obat hanyalah sebab untuk kesembuhan, untuk berlakunya kekuasaan Allah dalam rangka memenuhi ikhtiar manusia. Begitu pula penyakit, hanyalah sebab terhadap kematian. Tanpa penyakit pun, Allah Yang Maha Kuasa tetap mengakhiri hidup tiap mahkluk dengan ajalnya masing-masing. Dengan demikian, meskipun alam tradisi Melayu belum sepenuhnya dapat diislamkan, tetapi pada dasarnya telah berpijak kepada landasan agama Islam. Kemajuan kuatnya agama Islam untuk mendesak Anismisme-Hinduisme yang karut dalam tradisi Melayu in syaa Allah juga akan dapat berjalan semakin cepat melalui lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren.

Unsur Anismisme-Hinduisme masih sulit menyusut dalam budaya Melayu karena sebagian di antaranya telah larut dalam berbagai cerita yang berisi mitos atau takhayul. Berbagai cerita rakyat meskipun di antaranya memiliki nilai-nilai pendidikan, tetapi sayang juga tetap tersisip di dalamnya alam pikiran jahiliyah itu. Cerita-cerita seperti ini tidak dapat begitu saja ditinggalkan sebab sering digunakan sebagai pelipur lara. 

Menghadapi keadaan yang demikian, maka budaya Melayu yang makin kuat dengan aqidah Islam, telah menandingi cerita-cerita tersebut dengan sastra Islam seperti hikayat, syair, dan gurindam. Cerita keislaman seperti Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Hasan dan Husin, dan Hikayat Tengkurak Kering, menjadi tradisi yang amat disukai dalam kehidupan puak Melayu di Riau. Pengarang atau ulama kemudian membuat lagi berbagai hikayat dan syair seperti Hikayat Abdul Muluk, Syair Hukum Nikah, Syair Hari Kiamat, dan sebagainya. Ini semuanya dibacakan dengan lagu yang merdu sehingga dapat menampilkan suasana yang menyenangkan bagi pendengar. Di samping itu, karena sastra Islam ini memakai huruf Arab Melayu maka sebenarnya juga sangat berguna untuk mempertahankan tradisi pemakaian huruf Arab dalam budaya Melayu. Kenyataan ini semestinya menjadi bagian penting untuk muatan lokal pada budaya Melayu di Riau.***

(Potensi Lembaga Pendidikan Islam di Riau, UU Hamidy)

Check Also

Rendah Hati Melayu Petalangan, Oleh : UU Hamidy

Kata Melayu yang sudah bersebati dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah dari agama Islam dapat memberikan bayangan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *