Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Estetika Melayu, Oleh : UU Hamidy
Foto : shootthehooker.blogspot.com

Estetika Melayu, Oleh : UU Hamidy

Setelah kita memperhatikan karya-karya orang Melayu di Riau yang mengandung unsur kesenian mulai dari bidang bangunan sampai bidang sastra misalnya Masjid Pulau Penyengat, Istana Sultan Siak, kesenian jalur, cerita rakyat Riau, menumbai orang Petalangan dan terakhir misalnya Gurindam Dua Belas serta sejumlah pantun Melayu mulai dari pantun kanak-kanak, bujang gadis, sampai pada pantun orang tua atau pantun tarikat. Maka dapatlah kita buat paling kurang ada tujuh unsur yang dipandang orang Melayu memiliki nilai estetik (keindahan).

Ketujuh unsur estetik itu ialah :

Pertama, pesan, pedoman, dan teladan tentang jalan yang benar.

Kedua, sindiran halus untuk pergaulan sosial.

Ketiga, jalan nasib manusia sebagai hamba atau faqir dalam lekuk-liku suka-dukanya.

Keempat, cinta sebagai sentuhan batin, bukan sentuhan jasmani yang kasar.

Kelima, alam sebagai lambang dan kiasan hidup.

Keenam, keseimbangan dunia akhirat, lahir batin atau bentuk dengan isi.

Ketujuh, perulangan pola atau bingkai.

Pertama, pesan, pedoman, dan teladan tentang jalan yang benar. Karya seni dalam pandangan orang Melayu hendaklah mempunyai pesan, pedoman, dan teladan terhadap siapapun juga yang akan menghayati dan menikmati karya itu. Unsur ini hendaklah menjadi dasar tiap ujud seni. Seni yang mampu memberikan pesan dan pedoman yang benar, akan memberi kesan keindahan, karena teladan yang benar tentang kehidupan adalah sesuatu yang baik. Segala kebaikan adalah dambaan harapan manusia, sebab kebaikan berdampingan dengan keindahan.

Boleh dikatakan, hampir semua ujud seni karya orang Melayu mengandung unsur pedoman yang benar ini. Kebenaran dipandang sebagai suatu kewajiban yang harus ditegakkan oleh setiap insan sebab dengan kebenaran itulah orang dapat memperoleh kehidupan yang bahagia. Kehidupan tanpa kebenaran merupakan jalan yang sesat, sehingga kelak akan menimbulkan sesal berkepanjangan. Sedangkan sesal atau kesesatan tidak lain daripada keburukan, lawan daripada kebaikan dan keindahan.

Kedua, sindiran halus untuk pergaulan sosial. Sindiran yang halus untuk pergaulan sosial juga dapat menjadi unsur estetik oleh para seniman Melayu. Sindiran yang halus itu mampu menampilkan keindahan karena sindiran yang demikian telah hadir begitu rupa sehingga menimbulkan kesan humor, jenaka, yang membuat orang jadi tertawa. Dengan sindiran yang halus, orang dirangsang untuk berimajinasi sehingga untuk meminjam teori Collongwood, niscaya akan terbuka jalan untuk mendapatkan keindahan, karena setiap obyek yang dapat diimajinasikan bisa memancarkan keindahan.

Sindiran yang halus dipandang sesuai dengan martabat manusia. Sebab manusia adalah makhluk yang mempunyai potensi budaya yang tinggi yang bebas memilih membedakan yang baik dengan yang tidak baik. Dengan kehalusannya, manusia menjadi makhluk yang tahan kias. Kepada manusia tak layak diberikan tindakan yang kasar. Sebab yang kasar itu cukuplah untuk binatang. Dengan sindiran halus dapat diharapkan suatu gerak batin akan timbul memperbaiki martabat diri. Jika sindiran itu dapat menyentuh maka ekspresi seniman tersebut boleh dikatakan telah berhasil. Sedangkan ekspresi yang berhasil baik –kata Benedetto Crose—dapat memberikan keindahan.

Ketiga, jalan nasib manusia sebagai hamba atau faqir dalam lekuk-liku suka-dukanya. Jalan nasib manusia sebagai hamba atau faqir dalam lekuk-liku suka-dukanya dipandang oleh orang Melayu memancarkan keindahan karena dalam jalan hidup orang bisa mendapatkan dua belahan perasaan. Yang pertama, orang bisa mendapatkan rasa keindahan atau kepuasan. Sedangkan dalam kebahagiaan dan kepuasan memang terkandung keindahan. Karena kebahagiaan dan kepuasan adalah hasil menikmati setiap yang menyenangkan. Dan satu di antara yang dapat memberikan rasa senang itu ialah karya seni.

Pada sebelahnya orang mendapatkan kesedihan atau penderitaan dalam perjalanan hidupnya. Dalam kesedihan atau penderitaan orang bisa sampai kepada tingkat perasaan yang halus yang dapat mendorong untuk berimajinasi, agar kesedihan dan penderitaan dalam realitas mendapat perimbangan dalam batinnya. Dalam keadaan demikian, maka sisi bahagia dan menderita menjadi dua sisi yang bersebelahan bagaikan dua sisi mata uang.

Untuk mengatasi penderitaan dan kesedihan orang melakukan antara lain membuat karya sastra, lagu-lagu pelipur lara serta ujud seni lainnya yang bisa memberikan jalan baginya untuk mengatasi penderitaan itu. Dalam hal ini, kita bisa menerima teori dari Liviu Rusu, Synman dan Schopenhauer yang telah memandang seni ujud oleh upaya mencari jalan keluar daripada penderitaan, sehingga bisa memperoleh kepuasan dan kebahagiaan.

Keempat, cinta sebagai sentuhan batin, bukan sentuhan jasmani yang kasar. Seni mempunyai hubungan dengan cinta. Hal itu tak dapat dinafikan. Mengenai hubungan itu sampai ada ungkapan ‘’seni adalah cinta tanpa keturunan’’. Dunia seni Melayu juga menjadikan cinta sebagai salah satu unsur yang menimbulkan keindahan dalam jalinan karya seni. Tapi perlu ditegaskan, orang Melayu memandang cinta sebagai unsur keindahan, dalam konsep sentuhan batin, bukan sentuhan jasmaniah seperti yang sering dipandang kebanyakan orang sekarang ini.

Jika cinta adalah suatu sentuhan batin, maka cinta itu dapat pembayangan yang indah dan semangat yang bergelora untuk menumpahkan kesan yang terdampar dalam lubuk hati. Jika kesan dalam pembayangan yang indah ini diekspresikan dengan baik, maka dapat melahirkan karya seni. Karena itu cinta dapat dilarutkan dalam karya seni karena akan menjadi satu sisi yang dapat memancarkan keindahan dalam karya itu.

Kelima, alam sebagai lambang dan kiasan hidup. Alam memang amat menggoda, bukan saja bagi dunia Melayu tapi juga bagi seluruh manusia yang singgah buat sementara di muka bumi ini. Bagi orang Melayu, alam menjadi satu jalinan untuk kepentingan karya seni sebab pada alam dapat dijumpai sejumlah lambang dan kiasan yang mempunyai makna bagi keindahan.

Perlambangan mengubah ujud sesuatu dengan yang lain, misalnya laki-laki dilambangkan dengan kumbang, sedangkan perempuan dilambangkan dengan bunga. Kecantikan dilambangkan dengan rambut yang panjang, kulit hitam manis atau putih kuning. Gelora hati dilambangkan dengan ombak laut. Dalam kiasan orang Melayu menyatakan sesuatu dengan menyebutkan yang lain. Keadaan di antara penjara atau menderita dikiaskan dengan burung dalam sangkar. Mudah masuk, tapi sulit keluar dikiaskan dengan masuk lukah. Kehalusan budi bahasa dapat membuat orang tidak berdaya dikiaskan dengan ‘’mati semut karena manisan’’. Sedangkan orang yang hanya pandai berkata manis tapi tidak ada kenyataannya dikiaskan dengan menanam tebu di bibir.

Keenam, keseimbangan dunia akhirat, lahir batin atau bentuk dengan isi. Keseimbangan antara kebutuhan dunia dengan kepentingan untuk akhirat yang kekal mendesak orang untuk membuat pula keseimbangan antara lahir dengan yang batin, atau bentuk dengan isi. Upaya untuk memancarkan keindahan tidak dapat dilepaskan dari faktor adanya keseimbangan bagian-bagian yang akan membentuk karya seni tersebut. Dalam hal ini konsep estetika Melayu bisa menerima teori yang dikemukakan Thomas Aquino yang menekankan segi susunan yang disebutnya dengan ordo atau bentuk yang teratur dapat memberikan keindahan.

Ketujuh, perulangan pola atau bingkai. Boleh dikatakan tiap ujud seni mempunyai pola atau bingkai. Pola atau bingkai itu dijalin dengan unsur lainnya sehingga melahirkan karya seni. Bagi orang Melayu, keindahan pola atau bingkai disamping bisa terlihat dalam susunannya yang seimbang juga lebih-lebih dalam aspek perulangannya. Dalam hal ini kita bisa melihat estetika Melayu bagaimana perulangan-perulangan itu telah dibuat begitu rupa untuk menampilkan kesan keindahan.

Pada bangungan-bangunan fisik atau seni arsitektur Melayu seperti Masjid Pulau Penyengat dan Istana Siak kita melihat sejumlah pola yang diulang. Burung elang sebagai patung yang menghiasi gapura atap istana Sultan Siak memperlihatkan perulangan itu. begitu pula puncak-puncak Masjid Pulau Penyengat. Sedangkan yang paling kentara dalam bahasa ialah perulangan sajak dan pola baris dalam pantun Melayu seperti misalnya contoh di bawah ini :

Asal kapas / menjadi benang

Asal benang / menjadi kain

Sudah lepas / jangan dikenang

Sudah jadi / orang lain

(Estetika Melayu di Tengah Estetika Islam, UU Hamidy)

Check Also

Foto : Dokumentasi Bilik Kreatif

Jejak Langkah Pemangku Adat Bersendi Syarak Memegang Teraju Adat di Rantau Kuantan Tempo Dulu, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Bijaksana telah memberi kurnia pada manusia berupa mata, telinga, dan hati nurani …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *