Tidak perlu menjadi orang baik-baik, tapi perlu berpenampilan baik.
Itulah salah satu di antara sari pati buku Il Principe (Sang Penguasa) yang ditulis oleh Niccolo Machiavelli. Buku yang ditulis pada 1513 ini banyak dijadikan panutan oleh para pemimpin dunia sehingga agaknya sampai disimpan di bawah bantal tidur mereka. Buku ini secara luas dianggap sebagai salah satu buku yang paling berpengaruh dalam politik yang menyebabkan lahirnya istilah ‘’Machiavellis’’.
Machiavelli sangat menganjurkan bahwa terutama sekali, seorang penguasa tidak boleh dibenci. Sebab itulah penguasa perlu berpenampilan baik meski belum tentu mereka sejatinya benar-benar baik. Inilah kredo yang mengajarkan manusia untuk munafik. Karena, yang perlu itu hanya simbol. Sebab itu sampai ada ilmu simbol dalam dunia sekuler. Dunia demokrasi adalah ajang simbol. Kampanye adalah mesin yang mereka gunakan untuk memamerkan simbol-simbol itu.
Orang dianggap hanya memandang kenyataan. Dengan berpenampilan yang kerap diasosiasikan sebagai orang baik-baik seperti mengenakan kopiah, sorban, sarung, dengan mudah orang bisa ditipu. Berapa banyak koruptor yang justru oleh sebagian orang malah dipandang sebagai dermawan? Sebab mereka menampilkan diri sebagai orang yang murah hati meski semua harta bendanya diperoleh dari lembah hitam.
Dalam dunia Melayu, perilaku semacam ini telah lama disindir dengan ungkapan seperti ‘’bertanam tebu di bibir’’, ‘’pandai berminyak air’’ dan ‘’mengambil air ke haluan’’. Semula, tebu memang terasa manis. Tapi ketika semua ucapan ternyata cuma bohong belaka, maka tebu akan terasa kelat. Pada orang yang ‘’pandai berminyak air’’, ketika ada air, rambut memang bisa rapi mengkilat. Tapi setelah air kering, rambut kembali ke bentuk asalnya, kusut tak dapat diatur. Dalam orang yang ‘’mengambil air ke haluan’’, air cuma ada pada bagian haluan, sementara di belakang air tidak ada.
Dalam dunia demokrasi, kekuasaan diatur oleh duit sehingga berada di bawah ketiak cukong. Uang lebih kuat dari kekuasaan. Alam inilah yang membesarkan para manusia simbol. Manusia simbol sejatinya bukanlah manusia, melainkan hanya robot atau bahkan boneka. Mereka merasa wajahnya bukan main bagus karena telah berperilaku seperti orang baik-baik. Padahal kenyataannya bopeng di mana-mana.
Para ilmuwan sekuler pun telah pula menjadi Pak Turut, yang hanya bisa mengiyakan semua perbuatan manusia simbol. Para cerdik cendekia tak lagi bisa bicara karena mulutnya telah penuh berisi air. Padahal yang dilakukan dunia sudah seperti serindit di sangkar paling. Kata si serindit, dia sudah jauh berkelana, padahal dia cuma di situ-situ saja.***