3. Rembang Petang
“Rembang Petang” adalah sajak Rida K Liamsi yang benar-benar teduh, tenang, sunyi dan transendensi. Sebelumnya Rida menyentak kehidupan dengan semangat kilatan tajam tempuling. Rida menggesa agar bertindak kreatif, bahkan hampir menganjurkan bertarung habis-habisan memenangkan tekad yang telah diambil. Jangan lalai, cuai dan lengah. Tapi tikam! Dan sentak!
Namun, ketika tiba pada sajak ‘’Rembang Petang”, Rida seakan-akan menyadarkan kita, betapapun pertarungan kehidupan ini, bagaimanapun luasnya lautan kehidupan yang direnangi, tapi niscaya akan berakhir pada suatu senja, dengan datangnya ajal.
Ungkapan ”rembang petang” sungguh suatu ungkapan Melayu yang mampu memberi apresiasi dan titian makna yang jernih, betapa hidup ini berlalu begitu pendek. Hanya bagaikan perjalanan matahari dari pagi sampai petang. Rembang petang adalah saat-saat akan berakhirnya petang, akan disusul oleh tibanya malam. Ini sebanding dengan hidup manusia menjalani umurnya, berakhir dengan kematian. Rembang petang adalah ujung, hayat, saat menanti panggilan Malaikat Maut.
Rida dengan sajak ini telah menyentuh batin kita yang terdalam, sambil menyapa dengan suara lembut “Adakah kita memang telah siap ketika sebuah rembang petang datang”. Adakah kita agaknya dapat menerima dengan sukma yang tenang?
Kenyataannya tidak selalu demikian. Kita sering terkesiap, lalai dan alpa. Perhatian kita yang berlebihan kepada dunia, telah melalaikan hati mengingat maut. Kita terusik oleh berbagai peristiwa seperti bunyi tokek, iring-iringan lewat, arakan pengantin dan unjuk rasa tuna wisma. Ini semuanya sebenarnya hal-hal yang sepele.
Kita masih sering renyah, tertarik pada persoalan kecil. Lalai memperhitungkan hidup sesudah mati. Kita lebih suka memperhatikan remah-remah, nasi yang terserak dua tiga butir di lantai daripada memikirkan ladang apakah akan bisa menuai tahun depan.
Kita tenggelam oleh dunia kita sendiri. Sibuk pada halaman, menyisihkan daun-daun, lalu menggali lubang dan membakamya. Kita lupa pada rumah kita yang sebenarnya, tempat kita mengharapkan ketenangan dan kebahagiaan. Kita bahkan bermain-main dengan hidup, melupakan rembang petang, saat ajal tiba yang tidak bisa bertangguh.
Kematian hanya dipandang sekedar luruhnya sehelai daun, terpuruk di sudut jalan, lalu dikubur bayang-bayang. Suatu peristiwa alam yang biasa. Padahal rembang petang adalah peristiwa besar. Betapa tidak, siang yang terang-benderang, dengan tibanya rembang petang akan segera ditutup menjadi malam gelap gulita.
Kematian bukan lagi peristiwa jasad, tetapi adalah peristiwa ruh. Pada alam dunia, hanya sebagian atau beberapa bagian jasad merasa sakit; pada alam kematian seluruh penjuru tubuh merasakan betapa dahsyatnya sakit; ketika ruh dicabut meninggalkan jasad. Sebab itu, kematian harus dinanti, bukan dengan kondisi fisik biologis, tapi dengan kesucian sukma.
Inilah awal perjalanan panjang dari ruh, menuju suatu pertemuan agung di hadapan mahkamah Yaumil Mahsyar dengan hakim Raja Hari Kemudian Yang Maha Adil. Maka tanyalah diri sendiri, adakah sukma kita menantinya dengan tenang. Dan lebih dari itu, adakah kita akan diterima dengan ridha dan diridhai oleh Allah Rabbul Alamiin.
Adakah kita memang telah siap
ketika sebuah rembang petang
rembang petang
dan kita harus menyapanya
dengan sukma yang tenang?
Kita ternyata masih sering terkesiap
ketika menangkap gemerisik dedaunan
ketika bunyi tokek mengusik
ketika sebuah iring-iringan lewat
meski hanya sebuah arakan pengantin
sebuah sunatan kanak-kanak
sebuah unjuk rasa para tunawisma
Kita memang masih sering renyah
ketika sukma bersentuh dengan remah-remah
ketika harus berkemas di pekarangan
menyisihkan sisa dedaunan yang luruh
sesudah hujan
sesudah panas
menggali lubang
membakar
dan menatap asap
layap
menuju lanskap
Kita memang masih sering resah
ketika melewatkan saat rehat
saat menyeguk kopi
menyetel kaset
atau membelai pundak Blacky
saat tiba-tiba merasa
: hidup seperti
sebatang akasia
di sudut jalan
membangun bayang-bayang
panjang dan lengang
ketika tiba rembang
rembang petang
Kita memang masih sering terkesiap
ketika menatap kalender
mengingat hari
menyetel televisi
dan bergumam
kematian seperti
sehelai daun
luruh ketika rembang
terpuruk di sudut jalan
dikubur bayang-bayang
Apakah kita memang telah siap
ketika sebuah rembang
rembang petang
Dan menyapanya dengan sukma
yang tenang?
***
(Jagad Melayu, UU Hamidy)