Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Kritik Rida K Liamsi terhadap Melayu dalam Kumpulan Puisi ’’Tempuling’’ (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy
Foto : hiveminer.com

Kritik Rida K Liamsi terhadap Melayu dalam Kumpulan Puisi ’’Tempuling’’ (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy

2. Kritik terhadap Melayu

Dari penjelasan Rida K Liamsi mengenai puisinya, kita harus menyadari bahwa tak mungkin kita dapat memahami dan menghayati bermacam sikap dan pandangan, bahkan angan hati, yang telah mewarnai sajak-sajaknya. Ketidakmampuan itu pertama, karena begitu banyaknya warna kehidupan yang telah dilarutkan dalam kumpulan puisi tersebut, sehingga niscaya sulit mengenal dan mengetahui tanda-tanda serta sifat-sifatnya.

Yang kedua, karena watak puisi itu sendiri yang ambiguitas, yang tidak selalu dapat dipandang dan dinilai hanya dari satu atau beberapa arah saja. Sementara itu tentulah juga keterbatasan kita menangkap dan merenungkan berbagai metafor yang tersisip dalam baris sajak, oleh ruang dan waktu yang terbatas.

Untuk menikmati puisi secara utuh, kita sebenarnya tidak hanya sebatas menikmati keindahan lahir yang diperlihatkan oleh bentuk puisi, melalui sajak, susunan baris serta permainan kata. Kita seyogianya juga dapat menikmati keindahan batin puisi, yang telah dilarutkan dalam lambang dan kiasan untuk mendukung makna dan pesan yang hendak dipancarkan oleh puisi itu.

Walaupun kita mencari pesan sebagai sentuhan yang piawai dari jiwa penyair, namun hendaklah disadari, bahwa puisi tetaplah tidak hanya sebatas pesan. Puisi dengan ambiguitinya amat banyak ragamnya, Karena itu marilah kita perhatikan serba sedikit berbagai darah yang mengalir dalam sajak-sajak Rida K Liamsi itu.

Pertama dari sajak “Laut”, kita mendapat hamparan kehidupan yang amat menarik. Di situ tergambar bagaimana laut sebagai tamsil medan kehidupan yang harus dihadapi tiap insan. Laut begitu luas, dalamnya tak terduga. Laut punya ombak bersabung dan topan yang berbahaya. Tetapi di dalam laut juga tersimpan kekayaan tak terhingga. Begitu jugalah kehidupan dunia ini. Hampir tak bertepi. Meskipun kekayaan dunia ada di mana-mana, tapi mendapatkannya tidaklah mudah,

Menghadapi laut sebagai lambang kehidupan, manusia bagaikan seorang nelayan, dengan alat sebilah tempuling. Tempuling telah dipilih sebagai senjata menghadapi kehidupan kata Rida, karena pada kilatan tajamnya, tersimpan kekuatan makna kehidupan.

Sebatang tempuling adalah semangat di hati yang arif, adalah tekad pada sukma yang tawadhu, yang akan menentukan ke mana hidup ini akan pergi. Tempuling adalah pilihan sikap pada lengan dan pikiran yang jernih. Manusia harus memakai alat ini dengan potensi budaya yang tinggi, sehingga peluang hidupnya tidak jadi sia-sia.

Tidak boleh mengeluh serta kehilangan semangat, ketika tikaman tempulingnya tidak mengenai sasaran, Dia harus tahu kapan menikamkan dan bila akan menyentak tatkala tempuling sudah mengena, sebagaimana dibayangkan oleh sajak “Laut” tersebut :

Seperti mereka sediakala

akupun berdiri di tebingmu

dengan sebatang tempuling

Tikam!

Maka kutikam jejak riakmu

yang kutahu tak siapapun tahu

di mana tubirmu

Sentak!

Maka kusentak tancap harapku

yang kutahu tak siapapun tahu

di mana palungmu

Seperti mereka sedikala

akupun tak pernah menyerah

pada keluasan

pada kebiruan

pada untung nasib

yang hanyut dari teluk ke teluk

yang terumbang ambing di pundak

ombakmu

…………………..

Bila seseorang tidak lagi berbekal sebilah tempuling, dapat dibayangkan betapa dia agaknya tidak lagi punya semangat hidup. Dia bepergian tanpa senjata, bekerja tanpa alat. Hidupnya tentu tak punya arah. Dia bagaikan sudah menyerah pada nasib, sebagaimana tersisip dalam nada puitis sajak ”Tempuling” :

Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai

sehabis badai

Seorang bocah menemukannya

sehabis sekolah

Tuhan

Siapa lagi yang kini telah menyerah?

Tak kulihat tanda-tanda

Tak tercium anyir nasib

Tak tercatat luka musim

Kecuali tangis ombak

Pekik elang

yang jatuh dan ngilu

di antara cuaca

dan gemuruh karang

………………..

Bagaimana seseorang harus merintis jalan hidupnya, dalam pandangan puitis Rida K Liamsi, kira-kira sebanding dengan seorang nelayan yang berusaha habis-habisan untuk menangkap sejenis ikan hiu bernama kemejan, dengan sebatang tempuling. Ke manapun perginya kemejan itu akan selalu dicari oleh nelayan. Perburuan kemejan benar-benar sepadan dengan pertarungan hidup.

Tak ada alasan untuk tidak memenangkan pertarungan ini, karena manusia telah mendapat rahmat dari Tuhan dalam bentuk potensi budaya seperti pikiran, perasaan, kehendak, angan-angan dan tenaga, untuk medan hidupnya. Sebab itu, tak ada alasan pada manusia untuk menyesali nasibnya, seperti yang dibidas oleh sajak ‘’Kemejan” :

Ke lubuk paling ceruk manakah kau

akan menyuruk

ke palung paling ujung manakah kau

akan berselindung

Akan sampai juga jejak tempuling

menghentak punggung

membiarkan engkau

melepas dendam zaman

ke pucuk laut

Apa lagi rahasiamu memenangkan pertarungan ini?

Ada padamu ombak

tapi tak berbadai

Ada padamu arus

tapi tak berangin

Ada padamu taring

tapi tak bergeming

……………………

Kecuali pekik pedihmu

: Tuhan

Inikah nasibku

Inikah cintaMu

Harus diakui, memang tidak mudah menghadapi pertarungan hidup. Berbagai pikiran, gagasan dan ikhtiar belum tentu dapat membuka jalan. Keadaan ini dapat dilukiskan oleh kumpulan puisi Tempuling dengan sajak “Pancang Nibung”.

Pada pancang nibung beribu nelayan dapat mengadu nasib di sana. Di sana bisa lesap beribu umpan, bisa lepas beribu harap dan berlalu beribu tunggu. Namun tak ada hasilnya. Kecuali arus yang mencabar menggempur perahu dan perahu menggoyang pancang…

Pancang nibung

di sudut berdengung

teritip ngelembung

di musim bersabung

sudah beribu perahu

tambat

beribu kail

redam

beribu umpan

lesap

beribu pagut

luput

beribu harap

lepas

beribu tunggu

lalu

tapi cuma ombak

cabar arus

cuma arus

gempur perahu

cuma perahu

goyang pancang

………………

Begitu tragisnya medan hidup ini. Bukan manusia yang mempermainkan dunia, tapi dunialah yang mempermainkan manusia, sebagaimana dibendangkan oleh sajak ‘’Ombak Sekanak”. Kehidupan kita bisa menjadi bagaikan sepotong sabut, terombang-ambing, terkapung-kapung. Tidak tahu di mana kan sampai.

Kita seperti sebuah perahu seperti pernah disyairkan oleh Hamzah Fansuri. Berlayar pada lautan kehidupan. Namun dengan tenaga dan semangat kita harus sampai ke pantai. Ke tempat tujuan untuk melepaskan sansai.

O, ombak sekanak

Angin barat

gelombang barat

Laut sekanak

ombak Sekanak

Ke mana kita akan pergi

Pergi

Seperti sepotong sabut

terombang ambing

terkapung kapung

di pucuk ombak

di pucuk buih

di pucuk angin

…………..

Kita seperti sebuah perahu

Berlayar

berlayar kertas

berlayar kain

berlayar mimpi

berlayar

di angin barat

di gelombang barat

di laut sekanak

di ombak sekanak

……………..

Kita seperti sebuah gapai

yang harus sampai

sampai ke pantai

melepas sansai

melabuh sauh

menambat sungguh

O, ombak sekanak

Dalam menghadapi lautan kehidupan yang tidak terduga inilah Rida K Liamsi melihat banyak orang Melayu yang telah menjadi sepotong sabut terombang-ambing terkapung-kapung. Menghadapi cabaran ini, Rida dengan sajak ‘’Tangan” memberikan kritik yang amat beharga.

Rida memberikan tamsil yang amat mudah dipahami oleh siapapun juga, sehingga setelah membaca sajak ini, seorang Melayu bisa menyadari dan menilai dirinya sendiri, Untuk masa kini sajak tersebut merupakan tanggung jawab intelektual Rida terhadap budak-budak Melayu. Jika nanti rentangan waktu telah mencapai abad, maka sajak ini akan menjadi ajaran hidup dari seorang leluhur Melayu.

Mengapa banyak orang Melayu tidak dapat menggapai tujuan hidup dunia, jarang diterangkan secara memadai. Sebenarnya ada beberapa perkara yang dapat menyingkapkan ironi ini. Pertama, puak Melayu telah mewarisi kekayaan yang melimpah, sebagai hasil kearifan nenek moyangnya memelihara alam semula jadi. Tiap masyarakat adat Melayu, dapat memelihara dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil hutan tanah dan kekayaan perairan yang dipelihara dengan panduan adat yang berpijak pada agama Islam.

Kedua, sistem pemerintahan di Indonesia yang terpusat di Jakarta dengan gaya egois, bahkan otoriter, telah membuat daerah Melayu di Riau menjadi padang perburuan. Riau yang kaya menjadi rebut rampas oleh pihak yang berkuasa, yang punya modal, yang punya senjata dan yang punya otot kuat yakni orang bagak.

Sistem adat dan resam Melayu yang memelihara kekayaan alam serta memandu hidup dengan budi bahasa yang tinggi, dilangkahi dan dilanyau. Pemangku adat mereka yang tidak mau bekerjasama berbuat curang disingkirkan, sehingga masyarakat adat Melayu lumpuh. Mereka jatuh miskin dan hina oleh suatu sistem pemerintahan yang tidak sesuai dengan kepemimpinan Melayu.

Sementara itu (yang ketiga) orang Melayu memang diasah oleh leluhurnya memelihara budi pekerti, sehingga malu melakukan pekerjaan aib dan merasa hina melangkahi ajaran Islam. Inilah yang melahirkan sisi kesederhanaan pada orang Melayu. Mereka mencari harta hanya sebatas yang akan dipakai (diperlukan). Sebab kalau harta sudah berlebihan mereka khawatir akan mendatangkan siksa dan malapetaka. Bagi mereka harta itu yang penting berkahnya, bukan jumlahnya.

Maka, setelah datang para perantau yang tidak mengindahkan adat dan resam Melayu dan agama Islam yang menjadi panduan hidup dan mati, terkesanlah orang Melayu tradisional itu kurang bersemangat memperbaiki taraf hidupnya. Mereka disudutkan dengan kata pemalas.

Padahal malas itu ada di mana-mana sebagai sifat manusia semula jadi. Sebenarnya sudah jadi resam dunia yang merantau itu tentu lebih ulet dari penduduk tempatan. Sebab, jika tidak demikian, dia bisa mati konyol. Karena tak ada sanak famili dan harta benda yang bisa menolong.

Sebab itu, kalau perlu segala cara akan mereka pakai, agar mereka dapat bertahan hidup. Keadaan ini tak mungkin berlaku pada orang Melayu yang beradat dan beragama Islam. Dalam pandangan tradisional Melayu, orang yang mulia itu bukan orang yang berpangkat tinggi, punya kekuasaan yang kuat atau punya kekayaan bagai Karun. Orang besar itu ialah orang yang memelihara budi pekertinya–seperti ternukil dalam Gurindam Duabelas, karya ulama dan pengarang Melayu yang piawai Raja Ali Haji.

Meskipun demikian orang Melayu di Riau khasnya–yang berangkali jadi bayangan puisi Rida K Liamsi–memang harus membaca kenyataan hidup yang berlaku, yang telah menimpa mereka. Suka atau tidak. Orang Melayu di Riau, juga harus mempertimbangkan bagaimana anak cucu mereka belakang hari, jangan menjadi suatu zuriat (generasi) yang lemah, seperti tadi sudah disinggung. Orang Melayu harus mempergunakan kemampuan dan semangatnya untuk menarah hidup masa depan, meskipun peluang itu semakin sulit digapai.

Maka, marilah perhatikan bagaimana kritik dan sekaligus pesan yang benar yang sudah dirangkai dalam sajak yang indah oleh Rida K Liamsi bertajuk “Tangan”. Janganlah tangan itu cuma bisa tadah, bisa garuk, bisa raba dan bisa kocok. Kalau tangan hanya sebatas itu, belum tangan namanya. Itu barulah deretan bunyi t-a-n-g-a-n.

Tangan barulah TANGAN kalau bisa jadi tangkap, tepis, sepak, tumbuk dan tampar. Jadi tangan bukanlah alat yang pasif, tetapi alat tindakan yang kreatif. Yang bisa mengubah keadaan. Yang bisa menentukan jalan nasib. Tangan sebagai anugerah membuka peluang untuk melakukan apa saja, sebagaimana Tuhan memberikan kebebasan memilih pada umat manusia.

Sungguhpun begitu, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, seyogianya tidak menyalahgunakan tangan itu, sehingga sampai terjadi sembarang tetak dan sembarang tikam. Orang Melayu yang dikawal oleh adat resam yang halus serta agama Islam dengan panduan yang lurus, hendaknya memakai tangan dengan rasa malu pada Tuhan. Sebab tangan adalah anugerah Tuhan. Tindakan budaya dari tangan harus bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Simaklah dengan seksama, betapa jujur dan ikhlasnya pesan Rida dalam rangkai sajak yang piawai dengan tajuk ”Tangan” :

Jangan bilang punya Tangan

kalau cuma bisa tadah

cuma bisa garuk

cuma bisa raba

cuma bisa kocok

Sebab tangan barulah Tangan

kalau bisa jadi TANGAN

bisa tangkap

bisa tepis

bisa sepak

bisa tumbuk

bisa tampar

Sebab Tangan barulah Tangan

kalau tidak jadi ta-n-g-a-n

Sebab tangan barulah tangan

kalau malu pada Tuhan

Sebab Tuhan tak tegah

Tangan jadi parang

asal tak sembarang tetak

jadi pedang

asal tak sembarang tikam

jadi besi

asal tak sembarang keras

Sebab Tuhan sudah bilang Phuah!

Sebab Tuhan sudah bilang Nah!

Sebab Tangan adalah Anugerah

maka jangan sembarang Ah!

(bersambung)

(Jagad Melayu, UU Hamidy)

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *