2. Kritik terhadap Melayu
Dari penjelasan Rida K Liamsi mengenai puisinya, kita harus menyadari bahwa tak mungkin kita dapat memahami dan menghayati bermacam sikap dan pandangan, bahkan angan hati, yang telah mewarnai sajak-sajaknya. Ketidakmampuan itu pertama, karena begitu banyaknya warna kehidupan yang telah dilarutkan dalam kumpulan puisi tersebut, sehingga niscaya sulit mengenal dan mengetahui tanda-tanda serta sifat-sifatnya.
Yang kedua, karena watak puisi itu sendiri yang ambiguitas, yang tidak selalu dapat dipandang dan dinilai hanya dari satu atau beberapa arah saja. Sementara itu tentulah juga keterbatasan kita menangkap dan merenungkan berbagai metafor yang tersisip dalam baris sajak, oleh ruang dan waktu yang terbatas.
Untuk menikmati puisi secara utuh, kita sebenarnya tidak hanya sebatas menikmati keindahan lahir yang diperlihatkan oleh bentuk puisi, melalui sajak, susunan baris serta permainan kata. Kita seyogianya juga dapat menikmati keindahan batin puisi, yang telah dilarutkan dalam lambang dan kiasan untuk mendukung makna dan pesan yang hendak dipancarkan oleh puisi itu.
Walaupun kita mencari pesan sebagai sentuhan yang piawai dari jiwa penyair, namun hendaklah disadari, bahwa puisi tetaplah tidak hanya sebatas pesan. Puisi dengan ambiguitinya amat banyak ragamnya, Karena itu marilah kita perhatikan serba sedikit berbagai darah yang mengalir dalam sajak-sajak Rida K Liamsi itu.
Pertama dari sajak “Laut”, kita mendapat hamparan kehidupan yang amat menarik. Di situ tergambar bagaimana laut sebagai tamsil medan kehidupan yang harus dihadapi tiap insan. Laut begitu luas, dalamnya tak terduga. Laut punya ombak bersabung dan topan yang berbahaya. Tetapi di dalam laut juga tersimpan kekayaan tak terhingga. Begitu jugalah kehidupan dunia ini. Hampir tak bertepi. Meskipun kekayaan dunia ada di mana-mana, tapi mendapatkannya tidaklah mudah,
Menghadapi laut sebagai lambang kehidupan, manusia bagaikan seorang nelayan, dengan alat sebilah tempuling. Tempuling telah dipilih sebagai senjata menghadapi kehidupan kata Rida, karena pada kilatan tajamnya, tersimpan kekuatan makna kehidupan.
Sebatang tempuling adalah semangat di hati yang arif, adalah tekad pada sukma yang tawadhu, yang akan menentukan ke mana hidup ini akan pergi. Tempuling adalah pilihan sikap pada lengan dan pikiran yang jernih. Manusia harus memakai alat ini dengan potensi budaya yang tinggi, sehingga peluang hidupnya tidak jadi sia-sia.
Tidak boleh mengeluh serta kehilangan semangat, ketika tikaman tempulingnya tidak mengenai sasaran, Dia harus tahu kapan menikamkan dan bila akan menyentak tatkala tempuling sudah mengena, sebagaimana dibayangkan oleh sajak “Laut” tersebut :
Seperti mereka sediakala
akupun berdiri di tebingmu
dengan sebatang tempuling
Tikam!
Maka kutikam jejak riakmu
yang kutahu tak siapapun tahu
di mana tubirmu
Sentak!
Maka kusentak tancap harapku
yang kutahu tak siapapun tahu
di mana palungmu
Seperti mereka sedikala
akupun tak pernah menyerah
pada keluasan
pada kebiruan
pada untung nasib
yang hanyut dari teluk ke teluk
yang terumbang ambing di pundak
ombakmu
…………………..
Bila seseorang tidak lagi berbekal sebilah tempuling, dapat dibayangkan betapa dia agaknya tidak lagi punya semangat hidup. Dia bepergian tanpa senjata, bekerja tanpa alat. Hidupnya tentu tak punya arah. Dia bagaikan sudah menyerah pada nasib, sebagaimana tersisip dalam nada puitis sajak ”Tempuling” :
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menemukannya
sehabis sekolah
Tuhan
Siapa lagi yang kini telah menyerah?
Tak kulihat tanda-tanda
Tak tercium anyir nasib
Tak tercatat luka musim
Kecuali tangis ombak
Pekik elang
yang jatuh dan ngilu
di antara cuaca
dan gemuruh karang
………………..
Bagaimana seseorang harus merintis jalan hidupnya, dalam pandangan puitis Rida K Liamsi, kira-kira sebanding dengan seorang nelayan yang berusaha habis-habisan untuk menangkap sejenis ikan hiu bernama kemejan, dengan sebatang tempuling. Ke manapun perginya kemejan itu akan selalu dicari oleh nelayan. Perburuan kemejan benar-benar sepadan dengan pertarungan hidup.
Tak ada alasan untuk tidak memenangkan pertarungan ini, karena manusia telah mendapat rahmat dari Tuhan dalam bentuk potensi budaya seperti pikiran, perasaan, kehendak, angan-angan dan tenaga, untuk medan hidupnya. Sebab itu, tak ada alasan pada manusia untuk menyesali nasibnya, seperti yang dibidas oleh sajak ‘’Kemejan” :
Ke lubuk paling ceruk manakah kau
akan menyuruk
ke palung paling ujung manakah kau
akan berselindung
Akan sampai juga jejak tempuling
menghentak punggung
membiarkan engkau
melepas dendam zaman
ke pucuk laut
Apa lagi rahasiamu memenangkan pertarungan ini?
Ada padamu ombak
tapi tak berbadai
Ada padamu arus
tapi tak berangin
Ada padamu taring
tapi tak bergeming
……………………
Kecuali pekik pedihmu
: Tuhan
Inikah nasibku
Inikah cinta–Mu
Harus diakui, memang tidak mudah menghadapi pertarungan hidup. Berbagai pikiran, gagasan dan ikhtiar belum tentu dapat membuka jalan. Keadaan ini dapat dilukiskan oleh kumpulan puisi Tempuling dengan sajak “Pancang Nibung”.
Pada pancang nibung beribu nelayan dapat mengadu nasib di sana. Di sana bisa lesap beribu umpan, bisa lepas beribu harap dan berlalu beribu tunggu. Namun tak ada hasilnya. Kecuali arus yang mencabar menggempur perahu dan perahu menggoyang pancang…
Pancang nibung
di sudut berdengung
teritip ngelembung
di musim bersabung
sudah beribu perahu
tambat
beribu kail
redam
beribu umpan
lesap
beribu pagut
luput
beribu harap
lepas
beribu tunggu
lalu
tapi cuma ombak
cabar arus
cuma arus
gempur perahu
cuma perahu
goyang pancang
………………
Begitu tragisnya medan hidup ini. Bukan manusia yang mempermainkan dunia, tapi dunialah yang mempermainkan manusia, sebagaimana dibendangkan oleh sajak ‘’Ombak Sekanak”. Kehidupan kita bisa menjadi bagaikan sepotong sabut, terombang-ambing, terkapung-kapung. Tidak tahu di mana kan sampai.
Kita seperti sebuah perahu seperti pernah disyairkan oleh Hamzah Fansuri. Berlayar pada lautan kehidupan. Namun dengan tenaga dan semangat kita harus sampai ke pantai. Ke tempat tujuan untuk melepaskan sansai.
O, ombak sekanak
Angin barat
gelombang barat
Laut sekanak
ombak Sekanak
Ke mana kita akan pergi
Pergi
Seperti sepotong sabut
terombang ambing
terkapung kapung
di pucuk ombak
di pucuk buih
di pucuk angin
…………..
Kita seperti sebuah perahu
Berlayar
berlayar kertas
berlayar kain
berlayar mimpi
berlayar
di angin barat
di gelombang barat
di laut sekanak
di ombak sekanak
……………..
Kita seperti sebuah gapai
yang harus sampai
sampai ke pantai
melepas sansai
melabuh sauh
menambat sungguh
O, ombak sekanak
Dalam menghadapi lautan kehidupan yang tidak terduga inilah Rida K Liamsi melihat banyak orang Melayu yang telah menjadi sepotong sabut terombang-ambing terkapung-kapung. Menghadapi cabaran ini, Rida dengan sajak ‘’Tangan” memberikan kritik yang amat beharga.
Rida memberikan tamsil yang amat mudah dipahami oleh siapapun juga, sehingga setelah membaca sajak ini, seorang Melayu bisa menyadari dan menilai dirinya sendiri, Untuk masa kini sajak tersebut merupakan tanggung jawab intelektual Rida terhadap budak-budak Melayu. Jika nanti rentangan waktu telah mencapai abad, maka sajak ini akan menjadi ajaran hidup dari seorang leluhur Melayu.
Mengapa banyak orang Melayu tidak dapat menggapai tujuan hidup dunia, jarang diterangkan secara memadai. Sebenarnya ada beberapa perkara yang dapat menyingkapkan ironi ini. Pertama, puak Melayu telah mewarisi kekayaan yang melimpah, sebagai hasil kearifan nenek moyangnya memelihara alam semula jadi. Tiap masyarakat adat Melayu, dapat memelihara dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil hutan tanah dan kekayaan perairan yang dipelihara dengan panduan adat yang berpijak pada agama Islam.
Kedua, sistem pemerintahan di Indonesia yang terpusat di Jakarta dengan gaya egois, bahkan otoriter, telah membuat daerah Melayu di Riau menjadi padang perburuan. Riau yang kaya menjadi rebut rampas oleh pihak yang berkuasa, yang punya modal, yang punya senjata dan yang punya otot kuat yakni orang bagak.
Sistem adat dan resam Melayu yang memelihara kekayaan alam serta memandu hidup dengan budi bahasa yang tinggi, dilangkahi dan dilanyau. Pemangku adat mereka yang tidak mau bekerjasama berbuat curang disingkirkan, sehingga masyarakat adat Melayu lumpuh. Mereka jatuh miskin dan hina oleh suatu sistem pemerintahan yang tidak sesuai dengan kepemimpinan Melayu.
Sementara itu (yang ketiga) orang Melayu memang diasah oleh leluhurnya memelihara budi pekerti, sehingga malu melakukan pekerjaan aib dan merasa hina melangkahi ajaran Islam. Inilah yang melahirkan sisi kesederhanaan pada orang Melayu. Mereka mencari harta hanya sebatas yang akan dipakai (diperlukan). Sebab kalau harta sudah berlebihan mereka khawatir akan mendatangkan siksa dan malapetaka. Bagi mereka harta itu yang penting berkahnya, bukan jumlahnya.
Maka, setelah datang para perantau yang tidak mengindahkan adat dan resam Melayu dan agama Islam yang menjadi panduan hidup dan mati, terkesanlah orang Melayu tradisional itu kurang bersemangat memperbaiki taraf hidupnya. Mereka disudutkan dengan kata pemalas.
Padahal malas itu ada di mana-mana sebagai sifat manusia semula jadi. Sebenarnya sudah jadi resam dunia yang merantau itu tentu lebih ulet dari penduduk tempatan. Sebab, jika tidak demikian, dia bisa mati konyol. Karena tak ada sanak famili dan harta benda yang bisa menolong.
Sebab itu, kalau perlu segala cara akan mereka pakai, agar mereka dapat bertahan hidup. Keadaan ini tak mungkin berlaku pada orang Melayu yang beradat dan beragama Islam. Dalam pandangan tradisional Melayu, orang yang mulia itu bukan orang yang berpangkat tinggi, punya kekuasaan yang kuat atau punya kekayaan bagai Karun. Orang besar itu ialah orang yang memelihara budi pekertinya–seperti ternukil dalam Gurindam Duabelas, karya ulama dan pengarang Melayu yang piawai Raja Ali Haji.
Meskipun demikian orang Melayu di Riau khasnya–yang berangkali jadi bayangan puisi Rida K Liamsi–memang harus membaca kenyataan hidup yang berlaku, yang telah menimpa mereka. Suka atau tidak. Orang Melayu di Riau, juga harus mempertimbangkan bagaimana anak cucu mereka belakang hari, jangan menjadi suatu zuriat (generasi) yang lemah, seperti tadi sudah disinggung. Orang Melayu harus mempergunakan kemampuan dan semangatnya untuk menarah hidup masa depan, meskipun peluang itu semakin sulit digapai.
Maka, marilah perhatikan bagaimana kritik dan sekaligus pesan yang benar yang sudah dirangkai dalam sajak yang indah oleh Rida K Liamsi bertajuk “Tangan”. Janganlah tangan itu cuma bisa tadah, bisa garuk, bisa raba dan bisa kocok. Kalau tangan hanya sebatas itu, belum tangan namanya. Itu barulah deretan bunyi t-a-n-g-a-n.
Tangan barulah TANGAN kalau bisa jadi tangkap, tepis, sepak, tumbuk dan tampar. Jadi tangan bukanlah alat yang pasif, tetapi alat tindakan yang kreatif. Yang bisa mengubah keadaan. Yang bisa menentukan jalan nasib. Tangan sebagai anugerah membuka peluang untuk melakukan apa saja, sebagaimana Tuhan memberikan kebebasan memilih pada umat manusia.
Sungguhpun begitu, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, seyogianya tidak menyalahgunakan tangan itu, sehingga sampai terjadi sembarang tetak dan sembarang tikam. Orang Melayu yang dikawal oleh adat resam yang halus serta agama Islam dengan panduan yang lurus, hendaknya memakai tangan dengan rasa malu pada Tuhan. Sebab tangan adalah anugerah Tuhan. Tindakan budaya dari tangan harus bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Simaklah dengan seksama, betapa jujur dan ikhlasnya pesan Rida dalam rangkai sajak yang piawai dengan tajuk ”Tangan” :
Jangan bilang punya Tangan
kalau cuma bisa tadah
cuma bisa garuk
cuma bisa raba
cuma bisa kocok
Sebab tangan barulah Tangan
kalau bisa jadi TANGAN
bisa tangkap
bisa tepis
bisa sepak
bisa tumbuk
bisa tampar
Sebab Tangan barulah Tangan
kalau tidak jadi t–a-n-g-a-n
Sebab tangan barulah tangan
kalau malu pada Tuhan
Sebab Tuhan tak tegah
Tangan jadi parang
asal tak sembarang tetak
jadi pedang
asal tak sembarang tikam
jadi besi
asal tak sembarang keras
Sebab Tuhan sudah bilang Phuah!
Sebab Tuhan sudah bilang Nah!
Sebab Tangan adalah Anugerah
maka jangan sembarang Ah!
(bersambung)
(Jagad Melayu, UU Hamidy)