Semasa saya bersekolah di Sekolah Guru A (SGA) Jambi (1961-1963) meletuslah konfrontasi dengan Malaysia. Presiden Soekarno memusuhi saudaranya sendiri Tengku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia. Inilah taktik Partai Komunis Indonesia (PKI) yang makin berkuasa dengan sistem Nasakom yang dibuat Soekarno. Jadi kaum muslimin Indonesia dibuat bermusuhan dengan kaum muslimin Malaysia.
Bahkan, orang Melayu di Riau dipaksa juga bermusuhan dengan saudaranya sendiri di Malaysia. Inilah akibat nasionalisme buta yang memuja bangsa sehingga kecintaan terhadap tanah air mengalahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan permusuhan sesama umat Islam itu maka PKI makin lapang jalannya merebut kekuasaan di Indonesia. Sebagaimana nanti terbukti dengan pemberontakan PKI G30S 1965.
Akibat konfontasi itu bahan mentah yang ada Riau seperti getah dan kopra tidak dapat lagi dijual di Singapura sebagai pelabuhan antar-bangsa. Maka ekonomi orang Melayu di Riau jatuh bangkrut. Banyak mahasiswa Riau yang belajar di Jawa terpaksa gulung tikar.
Saya dengan teman saya Muhammad Nur hidup dengan masak sendiri dari jatah beras 10 Kg tiap bulan sebagai bantuan Pemda Jambi. Begitulah makan tak memadai, sebab belanja tak cukup. Saya dibantu oleh ibu saya yang sudah tua yang hanya mengolah kebun getah dengan harga yang murah pula.
Maka pada suatu ketika, setelah shalat Maghrib, saya duduk-duduk di depan rumah. Rupanya, keadaan saya itu dilihat oleh Pak Sersan Rasyid yang menyewa di rumah sebelah kami. Dia mungkin maklum bagaimana saya dan Muhammad Nur sering makan tidak memadai.
Dia memanggil saya dan juga Muhammad Nur, mengajak keluar. Dia suruh kami berdua membawa karung beras. Maka pergilah kami bertiga keluar mengikuti ke mana Pak Rasyid berjalan.
Rupanya, kami berjalan ke pinggir kota, daerah yang dipakai untuk berkebun dan memelihara babi oleh orang China. Tidak lama kemudian, kami melintas pada kebun ubi dan pepaya yang sangat bagus tanamannya. Dengan tidak terduga, keluarlah serombongan anjing menghadang kami sambil menggonggong bersahutan satu dengan lain.
Orang China yang punya kebun segera keluar pergi mendekati kami. Belum lagi orang China itu dekat, Pak Rasyid sudah marah-marah kepadanya. Menyalahkan anjingnya yang hampir menggigit. Sambil melihat kepada Pak Rasyid yang pakai jaket tentara, orang China itu terkesan semakin takut. Apalagi, Pak Rasyid masih menggerutu karena anjing belum juga berhenti menyalak.
Akhirnya orang China itu mengusir anjingnya supaya ke belakang. Dengan lidah Chinanya pemilik kebun itu berkata, ‘’Kita olang minta maaf pada Bapak la, kita tidak tau Bapak akan lewat di sini.’’ Pak Rasyid mulai tenang lalu berkata, ‘’Wah, bagus juga kebun ubi kamu ya, juga pepaya buahnya lebat.’’
China punya kebun segera menimpali, ‘’Kalau Bapak suka boleh ambil la.’’ Mendengar perkataan China itu Pak Rasyid langsung menyuruh kami mencabut ubi kayu dan memasukkan ke dalam karung. Saya dan Muhammad Nur bekerja dengan tangkas sehingga sebentar saja sudah dapat ubi setengah karung. Pak Rasyid sementara itu mengambil pepaya yang sudah kuning.
Akhirnya dia tanya, ‘’Sudah cukup?’’ ‘’Sudah Pak,’’ kata kami berdua. ‘’Ya, baiklah.’’ Pak Rasyid minta permisi pada China itu lalu kami pulang.
Kami pulang ke rumah sudah lewat pukul 9 malam. Saya dan M Nur membawa ubi setengah karung itu bergantian. Sedangkan Pak Rasyid membawa pepaya kepunyaannya sendiri. ‘’Wah, lumayan kan hasilnya, minta paksa pada orang China itu,’’ kata Pak Rasyid sambil tertawa.
Saya menyambung dalam hati, ‘’Semoga ubi ini tidak terhitung sebagai barang rampasan.’’ ***