Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Hidup Bagaikan Alam di Tepi Rimba Belantara (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy
UU Hamidy mengunjungi kebun ayahnya di Guloan pada tahun 2013. Foto : Dokumentasi Bilik Kreatif

Hidup Bagaikan Alam di Tepi Rimba Belantara (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy

3. Berkebun untuk Mengatasi Kelaparan

Selanjutnya marilah kita tinjau apa niat Haji Harun dan tetua Melayu lainnya membuat kebun di pematang Guloan itu. Pertama untuk kepentingan jangka pendek mendapatkan bahan makanan. Setelah penjajahan Jepang 1942-1943 disusul agresi Belanda 1947-1948, penduduk Siberakun dan juga negeri lainnya jatuh kelaparan. Banyak yang terpaksa makan gadung yakni semacam ubi beracun sehingga ada yang mati.

Maka dengan membuat kebun yang dimulai dengan menanam tanaman muda seperti ubi kayu, ubi jalar, pisang, pepaya, cempedak, tebu dan lainnya, keperluan makanan pokok dapat diatasi. Sebab dalam waktu yang cukup pendek, sekitar tiga bulan, ubi sudah berisi sehingga dapat dimakan. Disusul nanti oleh pepaya, pisang dan cempedak. Jadi, dengan hasil kebun muda ini, kelaparan dapat ditanggulangi. Pada masa agresi Belanda itu, kebun ubi pematang Guloan ini amat besar gunanya terhadap penduduk Siberakun dan sekitarnya untuk mengurangi kelaparan.

Pembukaan kebun untuk menghadapi kelaparan ini telah d i g e r a k k a n oleh empat orang tetua Melayu yakni Haji Harun, Haji Abdullah, dan Kindito (ketiganya masih punya hubungan kerabat) serta Pakih Raja (Pokiah Rajo) yakni datuk dari Marlius.

Panggilan berbuat kebajikan ini telah mendapat sambutan yang baik. Maka tampillah pembuka kebun yang relatif lebih muda dari empat pelopor tersebut. Mereka yang terpenting ialah Intan Kasa, Junit, Lingkuning Saidi (bapak Monti Mail), Ali Husin (bapak Yacob Ali), Ji Mudo Sihin, Pokiah Tasin (kemenakan Haji Harun, bapak dari Ghazali Tasin), Gindo Soman (menantu Haji Harun, bapak Ustadz Rusli Soman), Gindo Suman, Jonsa (kemenakan Haji Harun), Molai, Umar Doncak, Sulin, Mat Dasin (bapak Missiati adik beradik), Madin (menantu Haji Harun), Onua (Nuh) dan Akut (Yakub).

Gugus kebun di pematang Guloan sampai Ronge merupakan gugus kebun yang terbesar. Masih ada lagi beberapa gugus kecil lainnya. Petani atau pekebun di gugus lainnya itu antara lain yang terpenting ialah Aminuddin (suami Sori Fatimah, orangtua guru Nurfa’i, Mukhlis As dan Aswarni), Abdul Majid (kemenakan Haji Harun), Saleman/Sulaiman (bapak Diri/Idris), Muncak, Maddin (datuk Sumar yang istrinya Yasma Eliza/Eli), Raja Abdul Rahman (wali negeri Siberakun), Haji Nurdin dan beberapa lainnya.

4. Kasang dan Baruh

Bila kebun sudah ditanami dengan tanaman muda, yang hasilnya dapat dimakan kira-kira setelah tiga bulan, maka kebun itu ditanami lagi dengan bibit getah atau karet. Getah ditanam untuk kepentingan ekonomi jangka panjang serta untuk cadangan menolong anak-cucu mendapatkan mata pencaharian kemudian hari.

Kalau dekat kebun itu ada rawang (bagian yang terendam air), akan dipakai menjadi ladang padi. Maka yang punya kebun akan menjaga kebunnya serta ladang dengan membuat panggung tempat menjaga tanamannya itu. Bila kebun sudah ada bersama panggung tempat menjaga kebun itu, maka gugus kebun itu disebut k a s a n g. Sedangkan tanah di tepi Batang Kuantan yang menjadi tempat perumahan dan parolak disebut b a r u h. Petani atau pekebun paling kurang akan turun (pulang) ke baruh tempat rumahnya berada, sekali dalam seminggu untuk shalat Jumat serta mengambil bahan makanan yang tak tersedia di kebun seperti beras, garam, gula dan kelapa.

Kebun siang hari dijaga dari gangguan beruk, cigak (kera), dan koka yang suka makan daun ubi, pucuk getah, tebu dan tanaman muda lainnya. Sedangkan malam hari musuh kebun adalah manso (babi yang suka makan ubi), kijang dan rusa yang suka merusak kulit batang getah yang muda, beruang yang suka makan cempedak serta gajah yang dapat merusak semua tanaman. Kalau padi sudah menguning, petani kebun akan mengahalau serangan pipit dengan membuat orang-orangan sawah (dari pakaian dan topi bekas) serta mempergunakan humban yang anaknya terbuat dari batu.

5. Uzlah Hidup Bagaikan Alam

Apa yang dilakukan oleh Haji Harun dan tetua lainnya membuat kebun di tepi rimba belantara sebenarnya bermuara pada u z l a h, meninggalkan keramaian dunia yang banyak maksiat lalu mencari tempat beribadah yang tenang yang dapat membuat suasana hati khusyuk berdzikir kepada Allah Rabbul Alamiin.

Tiap hari dia melihat kebunnya dengan penuh harap akan rahmat Allah Ta’ala. Kemudian melayangkan pandangan kepada rimba belantara alam semula jadi ciptaan Allah Yang Maha Kuasa sehingga terbukalah kesadaran batin betapa tidak ada nilai dan harganya diri manusia itu di hadapan kebesaran dan keperkasaan Allah Yang Maha Gagah. Ini membuat ruhani jadi bergetar untuk beribadah merendahkan diri dengan mata yang basah, khusyuk memuji kebesaran dan kesucian Allah yang tiada tandingannya.

Pada malam hari yang sepi, sambil menjaga kebun di tepi rimba belantara, petani yang mencari ridho Tuhannya ini, dapat shalat dan berdzikir sepuas hatinya. Menyampaikan harap dan cemas akan nasibnya di akhirat di hadapan perhitungan amal oleh Allah Azza Wa Jalla, meskipun pada dzahirnya dia mungkin sudah berusaha memenuhi perintah dan meninggalkan segala larangan dalam bingkai mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas segala kecintaan akan dunia.

Dia benar-benar berusaha menjadi orang yang menghargai waktu untuk beramal sehingga waktu shalat baginya menjadi rangkaian waktu istirahat dari bekerja di kebun. Dia sadar, kalau perkataannya tidak mengandung dzikir, adalah sia-sia. Dia khawatir, kalau pandangannya tidak mengambil pelajaran, adalah dia lalai. Dan kalau dia diam tidak tafaqqur, adalah main-main.***

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *