Orang Melayu tradisional telah memperlakukan alam bagaikan manusia, sehingga ada sentuhan emosi dalam hubungan manusia dengan alam. Baik enau maupun padi telah diperlakukan sebagai perempuan. Enau telah ditetek (diolah tandannya) sehingga menghasilkan air enau yang disebut air niro. Air niro dapat dijadikan manisan dan gula enau. Karena itu enau telah menjadi sumber gula yang penting zaman dulu, sebelum orang mengenal gula pasir (dari tebu).
Enau telah diceritakan berasal dari seorang perempuan yang baru melahirkan anak. Karena tersinggung oleh suaminya, perempuan itu merajuk, lalu bersembunyi ke dalam lurah. Suaminya mencari ke mana-mana, dan akhirnya ketemu di situ. Tapi karena sudah begitu lama, perempuan itu ditemukan sudah menjadi pohon enau. Rambutnya jadi ijuk, badannya jadi batang, tangannya jadi pelepah, susunya jadi tandan enau, dan kakinya menjadi urat.
Cerita yang bisa bermuatan mitos ini, telah memandu petani (tukang niro) mengelola enau dengan hati-hati. Tandannya yang akan menghasilkan air niro telah dibuai dan dipukul dengan alunan pantun, bagaikan seorang bujang mengambil hati gadis kekasihnya. Ketika tandan akan dikerat untuk ditampung airnya, maka dibacalah bismillah, diiringi dengan bidal upak-upak anau-anau, air selupak menjadi danau. Maksudnya yang keluar meskipun hanya bagaikan selupak (sedikit) tapi akan terkumpul menjadi banyak bagaikan danau.
Buah padi semasa belum dituai untuk menjaga semangatnya, tidak disebut buah padi tetapi buah rumput. Ini mengandung saran makna kehati-hatian, sehingga petani tidak terlanjur merasa bahagia (apalagi sombong) sebelum hasil ladangnya sampai selamat ke rumah. Maka sebelum padi dituai, diadakanlah upacara menjemput padi. Sawah atau ladang dikelilingi dengan asap tunam oleh tukang jemput. Sambil berjalan mengelilingi ladang, dia memanggil padi dengan bahasa yang indah, bagaikan memanggil seorang perempuan, agar segera pulang ke rumahnya – karena perempuan adalah cahaya rumah tangga.
Keberhasilan petani dengan hasil ladang, adalah suatu rahmat yang tidak tepermanai nilainya. Betapa tidak, selama 6 bulan ladang itu telah terpelihara siang dan malam oleh petani. Karena itu ketika panen sudah selesai, maka petani mendo’a di rumahnya, sebagai tanda bersyukur kepada Tuhan. Ketika itu dihidangkanlah, beras baru yang harum baunya. (Sementara padi yang tidak dijemput dengan upacara dipercayai tidak akan harum bau nasinya).
Sewaktu akan makan, dipesankanlah kepada anak-anak, agar nasi jangan sampai jatuh ke lantai. Nasi yang jatuh dikatakan akan menangis, karena telah dibuang dengan sia-sia. Padahal untuk mendapatkan sebutir nasi, diperlukan masa berladang 6 bulan. Hal ini memberikan dorongan kepada anak-anak untuk hidup hemat memakai bahan makanan.
Perhatian puak Melayu di Riau akan hutan tanah sebagai sandaran kehidupan, masih tergambar lagi dalam permainan catur mereka. Dalam papan catur itu ada bagian yang disebut padang dan rimba. Inilah yang menimbulkan pepatah ‘’tersesak padang ke rimba’’. Padang bagaikan medan hidup manusia. Karena itulah perang dimulai dari padang. Di sini ada 11 anak catur yang dapat dipandang sebagi prajurit.
Rimba adalah kawasan belantara, bukan tempat hunian manusia. Karena itu dapat dipakai tempat bergerilya dan tempat bertahan, sebagaimana rimba belantara juga dapat memberikan cadangan kebutuhan hidup bagi masyarakat. Di sini ada tujuh anak catur yang bisa diibaratkan sebagai pemimpin atau komandan pertempuran.
Bagaimana tetua puak Melayu di Riau memberi kearifan kepada anak-cucu dan kemenakannya, agar menjaga dan memelihara alam lingkungan, telah dikumpulkan bidal, gurindam dan pantunnya. Isinya adalah untuk memelihara kekayaan alam lingkungan, sebagai rahmat Tuhan, dan pangkal kebutuhan hidup. Cendekiawan Melayu zaman bahari berpesan kepada pewaris budaya Melayu dalam rangkai kata yang bersayap. Pesan utama ini kemudian dirangkai oleh orang arif tersebut dengan tanda-tanda orang yang menghargai alam lingkungan, sebagai insan yang tahu bersyukur kepada Tuhan.
Puak Melayu di Riau yang telah mengambil Islam sebagai jalan hidupnya, melihat dengan arif, betapa hubungan antara keimanan dengan alam, sebagaimana Qur’an telah membidas sebelumnya ‘’telah timbul kerusakan di daratan dan di lautan oleh tingkahlaku perbuatan manusia’’. Keimanan seseorang itu tidaklah hanya sekadar yang tampak pada ketaatan melakukan syariat, tetapi juga harus terlukis dalam sikap dan perbuatan. Inilah yang menjalin budaya Melayu dengan agama Islam, sehingga penampilan budaya Melayu berkadar Islam.
Hidup hendaklah dikawal oleh agama, adat dan resam yang baik. Adat bertumpu pada agama, bagaikan tiang berpijak pada sendinya. Jika tidak begitu, hidup akan binasa, ibarat tiang tanpa sendi, akan lapuk dimakan karat. Agama memberi panduan hidup dan mati, adat mengawal agar hidup mulia, sedangkan resam (tradisi) membuat hubungan harmonis dengan alam. Maka, orang yang beriman, beradat dan beresam yang baik, akan memelihara hubungan dengan Tuhan, manusia dan alam. Sebab tak ada satupun yang diciptakan Tuhan dengan sia-sia. Inilah jalan manusia menuju menjadi makhluk mulia.
Manusia harus menyadari dia berada di muka bumi sebagai khalifah, yakni seorang yang bertindak sebagai pemelihara akan segala kekayaan Tuhan. Dia muncul bukan untuk mengharu-biru, demi ambisi dan nafsu serakahnya. Tetapi bertindak bijaksana melestarikan hutan tanah, air, flora dan fauna, sehingga mendapat sebesar-besar manfaat dari situ.
Ketika manusia tidak dikawal dengan agama, tidak dipandu dengan adat, dan tidak mempunyai tradisi yang baik, maka dia akan mendatangkan bencana. Semula terhadap lingkungan hidup, tapi kemudian kerusakan itu akan berbalik mengancam manusia itu sendiri. Inilah yang akan mempercepat kiamat dari sudut pandang budaya menusia, meskipun kiamat yang sebenarnya adalah rahasia Allah semata. Keadaan ini sudah dibidas oleh orang patut Melayu dalam rangkai kata yang puitis.***
(Kearifan Puak Melayu Riau Menjaga Lingkungan Hidup, UU Hamidy)