Sistem budaya masyarakat Melayu di Riau mempunyai muatan yang cukup baik untuk mengelola lingkungan dengan gaya yang harmonis. Dalam sistem budaya orang Melayu di Riau bisa terbaca dengan jelas bagaimana nilai-nilai budaya mereka memberi pedoman dan arah, agar lingkungan dapat terpelihara. Semuanya terkandung dalam berbagai aspek budaya mereka, baik secara lisan maupun dalam tindakan perbuatan yang nyata.
Perhatikanlah perumpamaan Melayu yang berbunyi ‘’bagaikan aur dengan tebing’’. Medan makna perumpamaan itu melukiskan betapa eratnya kesatuan aur dengan tebing. Aur memerlukan tebing tempat tumbuh, tetapi tebing jadi selamat (tidak runtuh) karena ada aur. Karena itulah ungkapan ini dipakai untuk memberi pelajaran metaforik kepada pasangan suami-istri yang akan memasuki kehidupan berumah-tangga. Hidup yang indah adalah hidup yang saling memerlukan dan saling menguntungkan dalam tatanan yang harmonis.
Dari perumpamaan itu dapat diketahui bahwa orang Melayu mempunyai kebiasaan yang baik menjaga tebing sungai. Mereka telah lama menyadari betapa besar bahayanya kalau tebing sungai itu runtuh. Rupanya dari pengalaman untuk menahan tebing sungai tidak runtuh, tanamlah aur di tebing sungai itu. Urat-urat aur yang halus dan lentur akan dapat memegang dan menahan tanah tebing sehingga selamat dari keruntuhan.
Puak Melayu yang berladang di daerah daratan, mempunyai kebiasaan menanam rumbia dan rumbai di tepi ladang mereka. Tanaman rumbia dan rumbai, telah membuat ladang mereka mendapat cadangan simpanan air ketika tiba musim kemarau, karena tanaman itu dapat menyimpan air. Sementara itu rumbai dapat dijadikan barang anyaman, di antaranya dibuat jadi kembut untuk alat pengangkut padi. Pohon rumbia lebih banyak lagi kegunaannya. Daun rumbia dijadikan atap, sedangkan sagunya bisa diolah menjadi bahan makanan, kalau ladang mereka tidak selamat.
Pohon durian cukup subur di perkampungan puak Melayu di Riau. Apalagi di kampung daerah aliran sungai, suatu tempat yang disukai durian. Jika durian sudah berbuah orang Melayu punya tradisi, durian tidak dipanjat, tetapi dibiarkan jatuh mana yang sudah masak. Jika ada orang (terutama anak-anak) yang hendak memanjat, diberi peringatan bahwa durian yang dipanjat, tidak akan berbuah lagi, malah batangnya akan mati.
Larangan yang berisi mitos ini mungkin dapat dibuktikan oleh hasil penelitian akan kebenarannya. Tapi yang penting bagi kita, dengan larangan itu durian akan dibiarkan masak, tidak dipanjat yang menyebabkan durian muda akan diambil (rusak). Jadi tradisi itu telah melapangkan jalan untuk kelestarian pohon durian. Sebab durian yang masak, tentu dapat ditanam. Paling kurang bijinya yang dibuang dapat tumbuh di mana saja.
Semua pohon yang menjadi tempat bersarang oleh lebah yang disebut lebah sialang, disebut pohon atau kayu sialang. Kayu sialang itu ada yang berupa cempedak air (tumbuh di tebing sungai) kayu ara, kempas, sulur batang dan sebagainya. Maka mengambil madu lebah tidak boleh sembarangan.
Lebah tidak boleh dibinasakan begitu saja untuk mengambil madunya. Untuk kepentingan ini muncullah semacam dukun yang disebut kemantan. Kemantanlah yang diberi tugas mengambil madu lebah. Dia dapat mengambil madu lebah dengan aman, dengan mendekatkan asap tunam kepada lebah. Ketika lebah kena oleh asap, maka lebah menghindar. Dengan demikian madunya mudah diambil.
Tentulah atas kesadaran betapa besarnya manfaat lebah sialang, maka kayu sialang tempat lebah berkembang biak, tidak boleh menurut adat puak Melayu Petalangan ditebang begitu saja. Siapa yang kedapatan menebang pohon sialang dengan tiada alasan yang kuat, kena denda dengan menyerahkan kain putih sepanjang kayu sialang yang telah ditebangnya.
Puak Melayu di Rantau Kuantan-Singingi, punya kesenian yang khas bernama jalur. Jalur merupakan sampan panjang yang langsing, kira-kira 25 meter, dengan muatan 40-50 orang. Pohon yang jadi kayu jalur haruslah pohon yang tua, di samping dipandang bertuah atau sakti. Untuk mendapatkan kayu panjang serupa itu niscaya memerlukan hutan yang lestari.
Itulah sebabnya, sampai kehadiran Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan perkebunan besar di Kuantan Singingi tahun 1970-an, tiap negeri di rantau itu mempunyai rimba simpanan yang mereka sebut rimbo godang, yang satu di antara gunanya ialah untuk cadangan kayu jalur. Jika sebatang pohon mempunyai tanda-tanda dapat dijadikan kayu jalur, maka pohon itu akan dilalau, yakni dibiarkan terpelihara hidup secara alami, sehingga punya kualitas yang baik.
Binatang yang disebut musang, sebenarnya menjadi musuh ternak ayam. Tetapi terhadap binatang ini, tak pernah diberantas oleh puak Melayu sampai punah. Rupa-rupanya, meskipun musang bisa mengancam ternak ayam dan itik, tapi ada peranannya terhadap kelestarian lingkungan. Musang suka makan buah-buahan, terutama buah enau. Setelah dimakannya buah-buahan itu, terutama buah enau, maka biji-bijian itu akan tersebar ke mana-mana, dan siap tumbuh di tempat itu, sesuai dengan di mana binatang ini berak. Karena itu jarang puak Melayu menanam enau dengan sengaja, bahkan juga pohon buah yang lain. (bersambung)
(Kearifan Puak Melayu Riau Menjaga Lingkungan Hidup, UU Hamidy)