Pada awalnya agama Islam telah mengejutkan bangsa Arab jahiliyah. Ini terjadi, karena Islam telah muncul melalui penampilan penganutnya dengan perbedaan yang amat mendasar dari pengalaman mereka selama itu. Karena itu tidak heran, jika Arab jahiliyah telah memandang kehadiran Islam melalui umatnya, sebagai suatu keanehan.
Keanehan atau keganjilan itu, pertama, Islam meyakini Tuhan itu ahad atau tunggal, sementara dalam alam pikiran jahiliyah Tuhan itu banyak jumlahnya, bahkan beranak-pinak seperti manusia. Begitu pula cara umat Islam menyembah Tuhan, juga terkesan ganjil bagi mereka. Tetapi yang lebih aneh lagi dalam pandangan Arab jahiliyah adalah bagaimana keteguhan umat ini memegang agamanya.
Umat Islam ternyata tidak takut mati. Malah mati syahid menjadi idaman kaum muslimin. Mati dipandang sebagai suatu keindahan, karena akan membuka pintu untuk pertemuan antara hamba yang dikasihi dengan Sang Pencipta Yang Maha Pengasih. Kenyataan ini amat mengherankan Arab jahiliyah. Kaum jahiliyah amat mencintai harta, sehingga tujuan hidup adalah menjadi kaya raya. Kemudian kesukuan, dipandang biasa saja oleh Islam, tidak bernilai untuk menentukan martabat seseorang. Sedangkan bagi Arab jahiliyah, kesukuan sudah identik dengan harga diri, sehingga mereka tidak segan melakukan pembunuhan untuk kepentingan kesukuan yang sempit. Nilai anak juga ganjil dalam pandangan jahiliyah terhadap Islam.
Arab jahiliyah amat mengistimewakan anak lelaki, karena menjadi garis utama suku atau kabilah. Sementara anak perempuan tidak lebih dari sekadar pelabuhan, tempat keluar masuknya kapal-kapal. Ini dirombak total oleh Islam, yang menempatkan lelaki dan perempuan pada kodratnya masing-masing. Demikianlah kalau diringkas, hampir segala sisi kehidupan telah mendapat pencerahan oleh Islam, melalui penampilan umatnya yang mendapat cahaya iman. Semuanya itu terlihat ganjil dalam pengalaman hidup kaum Arab jahiliyah. Keganjilan inilah yang menyebabkan reaksi mereka begitu hebat terhadap umat Islam.
Keadaan ini cukup menarik, jika dibandingkan dengan keadaan umat Islam dewasa ini, terutama umat Islam di Indonesia. Keganjilan umat Islam zaman Nabi dan para sahabat itu terkesan semakin menipis, kalaulah tidak dikatakan keganjilan baru dalam kehidupan umat Islam, yang cenderung makin mendekati keganjilan Arab jahiliyah. Keanehan baru inilah tampaknya yang telah memudarkan cahaya umat Islam, sehingga riwayatnya bukan semakin jaya, tetapi semakin terpuruk.
Marilah kita lihat beberapa sisi saja. Pada awal kehadiran Islam dengan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai pemegang teraju umat, diikuti oleh para sahabat serta pemimpin Islam yang cemerlang seperti Umar Bin Abdul Aziz, orang-orang yang minta jadi pejabat dipandang aneh. Sebab, seakan orang ini tidak tahu, bahwa pejabat itu akan dituntut dengan tanggung jawab yang besar. Jadi orang ini benar-benar mencari beban, padahal ia belum tentu mampu memlkulnya. Tapi lihatlah, bagaimana para pejabat kita di Indonesia. Hampir seratus persen mereka ini memang telah merancang hidupnya untuk mencari jabatan.
Untuk itu mereka masuk partai dengan kedok untuk membela rakyat. Untuk itu mereka tidak segan-segan memakai berbagai cara, meskipun di lidah mereka selalu ada cacian terhadap PKI yang menghalalkan semua cara. Sebenamya, tidak ada beda prinsip antara pejabat yang munafik ini dengan orang-orang PKI. Perbedaan paling-paling dalam halus kasarnya saja.
Orang-orang yang memperlihatkan tidak ambisi politik (mencari kedudukan), tidak akan pernah dipilih memegang jabatan. Padahal orang yang tidak punya ambisi itulah sebenarnya yang punya potensi untuk memegang amanah jabatan dengan jujur dan ikhlas. Sebab, ia bebas dari tujuan-tujuan yang sempit, sehingga tidak akan menyalahgunakan jabatannya, lantaran mempunyai dasar akhlak yang mulia serta bebas dari ambisi keduniaan.
Apa yang dapat diharapkan oleh umat Islam dari para pejabat dan wakil rakyat, sementara mereka berada dalam mata rantai yang panjang melakukan kejahatan. Untuk menjadi anggota DPR, mereka memakai uang, menipu rakyat dalam Pemilu. Setelah jadi wakil rakyat, mereka menerima suap dari para pejabat yang mereka pilih seperti bupati, gubernur dan seterusnya.
Kemudian untuk mencari uang suap itu, para pejabat ini melakukan kecurangan, di antaranya berkolusi dengan para pengusaha. Orang baik di luar partai tidak akan pernah dipakai, dengan alasan bukan kader dan tidak berpengalaman padahal mereka punya akhlak mulia, kejujuran, keikhlasan dan kesungguhan untuk berbakti dalam rangka mengabdi kepada Allah. Apalah nilai kader dan pengalaman, jika perangainya jahat.
Kedua, harta benda Islam yang cemerlang membuktikan bahwa manusia yang jaya ialah manusia yang bebas dari pengaruh kebendaan. Harta benda dicari haruslah dalam bingkai untuk berbuat baik. Karena itu, kekayaan yang diperoleh dengan cara tidak halal akan dipandang aneh. Karena inilah, para sufi berusaha membatasi diri begitu rupa, sehingga hampir-hampir tidak punya kekayaan. Sekarang timbul keanehan baru, yang tidak dipandang aneh, bagaimana orang mencari harta dengan segala cara. Pokoknya cepat kaya dan jadi kebanggaan. Tapi semakin banyak harta serupa itu, bukan semakin dermawan pemiliknya, tetapi semakin kikir.
Ketiga, ilmu pengetahuan dan hasil-hasil teknologi Islam yang cemerlang memang menganjurkan ilmu pengetahuan dan membuat berbagai teknologi untuk kesejahteraan manusia itu. Tetapi sekali lagi, ilmu pengetahuan haruslah sebagai lampu untuk menemukan berbagai rahasia kebesaran Allah di seluruh penjuru jagad raya ini. Maka, semakin luas dan mendalam ilmu, semakin sadarlah hendaknya manusia, bagaimana hanya nilainya sebagai insan dalam lautan penciptaan Tuhan yang tak terhingga. Ini akan menimbulkan kerinduan terhadap Sang KhaIik untuk mendekati-Nya dengan ibadah berbuat kebajikan. Sekarang timbul keanehan dalam kehidupan umat Islam. Ilmu pengetahuan pertama-tama bukan untuk membaca ayat-ayat Allah pada jagad raya, tetapi untuk kebahagiaan ego pribadi.
Maka dibuatlah berbagai gelar sebagai lambang tingkat pencapaian ilmu. Padahal jiwa orang yang beriman mestinya muak dengan gelar-gelar itu. Lalu dikejar-kejarlah gelar-gelar ini siang dan malam. Ketika gelar sudah dicapai, maka bersemilah kesombongan pribadi. Kemudian dijuallah lambang-lambang ini untuk mencari kekayaan dunia. Maka dikatakanlah oleh para sarjana ini musuh umat Islam ialah kebodohan dan kemiskinan. Tetapi ternyata, semakin banyak umat yang pandai dan kaya, keadaan kualitas umat malah makin terpuruk. Padahal musuh umat Islam itu yang terbesar adalah dirinya sendiri, sebagaimana telah diucapkan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Ketidakmampuannya memandu dirinya dengan ajaran Islam itulah yang telah menjatuhkan martabatnya dan membuat sengsara hidupnya.***
(Rahasia Penciptaan, UU Hamidy)