2. Jagad Pantun Melayu
Pantun telah dipakai oleh orang Melayu dalam segala sisi kehidupan. Berbagai pengalaman telah dijelmakan ke dalam pantun. Pengalaman-pengalaman ini bertambah terus dari zuriat yang satu kepada zuriat berikutnya, sehingga pancaran keindahannya semakin cemerlang dan semakin tinggi nilai maknanya. Inilah satu-satunya budaya Melayu yang terpelihara dengan baik dalam rentangan zaman mengikuti riak gelombang kehidupan tiap puak Melayu di segala jagad Melayu.
Mengapa berbagai pengalaman jiwa dijelmakan oleh orang Melayu ke dalam pantun, ada hubungannya dengan cara berpikir dunia Melayu yang cenderung mengungkapkannya melalui cara metaforik. Maksudnya, orang Melayu punya kecenderungan memandang sesuatu objek atau masalah melalui kedalaman batin, lalu kemudian mengungkapkan hasil pikiran, penghayatan dan angan hati dengan mempergunakan metafor, yakni lambang dan kiasan.
Keadaan inilah yang membuat dimensi bahasa dan sastra amat kental dalam kehidupan dunia Melayu. Bahasa yang bermuatan lambang dan kiasan (metaforik) itu bagaikan cermin hidup orang Melayu sebagaimana tersimpul dalam ikat gurindam Raja Ali Haji:
Jika hendak mengenal orang yang berbangsa
Lihat kepada budi bahasa
Bahasa yang bermuatan metafor seperti diperlihatkan oleh pantun sudah menjadi hamparan dalam berfilsafat sebab orang Melayu menyadari benar kekuatan bahasa. Bahasa sesungguhnya punya kekuatan yang luar biasa. Dalam serangkai bahasa, pekerjaan pedang yang terhunus bisa tersarung –seperti dilayangkan lagi oleh Raja Ali Haji dalam rangkai kata yang piawai.
Begitu jugalah sandingan bahasa dengan budi pekerti. Bahasa dan budi berada dalam keadaan balas-membalas. Bahasa harus merujuk pada budi, sedangkan budi harus terlukis pada bahasa. Maka inilah pandangan hidup yang piawai. Sebab, jika tidak demikian, kerusakan bahasa tak terkira terhadap budi pekerti. Begitu pula budi yang rusak akan membuat bahasa yang kasar, yang bermuara runtuhnya martabat manusia.
Dengan demikian maha benarlah Allah yang telah berfirman pada manusia betapa tingginya nilai kalimat atau bahasa yang baik, dalam Surah Ibrahim ayat 24, ‘’kalimat yang baik bagaikan sebatang pohon yang rindang berbuah lebat, akarnya terhunjam ke dalam bumi, sedangkan dahannya menjulang tinggi ke angkasa‘’.
Inilah jagad bahasa dan budi atau dengan kata lain inilah dunia budaya orang Melayu, yang semuanya akan menjadi muatan nilai dalam pantun. Dengan pantun itulah orang Melayu merasa punya bahasa yang baik dan indah. Sebab dalam pandangan orang Melayu, bahasa itu tidaklah setakat alat komunikasi sahaja.
Bahasa yang dipakai itu hendaknya juga ujud dalam bingkai yang indah serta punya muatan makna yang baik. Untuk menjangkau tujuan itu, pantunlah satu-satunya yang paling sepadan, sebab sebenarnya pantunlah bingkai estetik dunia Melayu. Karena itu pada masa dulu (paling kurang sampai tahun 1950-an), pantun adalah bahasa percakapan sehari-hari oleh orang Melayu di Riau, bahkan juga agaknya pada jagad Melayu lainnya.
Luas jagad pantun Melayu dapat dilihat pada horison pantun itu dalam hamparan masyarakat Melayu. Pantun Melayu ternyata telah meliputi segala tingkat umur, mulai dari pantun kanak-kanak, pantun orang muda sampai pantun orang tua. Kemudian pantun juga telah mengisi berbagai medan kehidupan, sehingga dikenallah pantun teka-teki, pantun jenaka, pantun kasih sayang, pantun nasehat, sampai pada pantun tarekat. Ini semuanya memberi bukti, betapa lautan hidup telah ditempuh oleh orang Melayu dengan pantun.
Sepanjang hayat orang Melayu telah dilalui dengan berenang dalam lautan pantun. Ini terjadi karena tiap tingkat umur ada pantunnya. Anak-anak telah dibesarkan dengan pantun. Mereka dibuai di ayunan dengan irama pantun, sehingga terlena mendengar lagu pantun yang indah.
Ibu bapa melarutkan pesan-pesan kehidupan kepada anak cucunya dengan bahasa kias yang terbingkai dalam pantun, agar calon generasi muda itu menjadi terlatih mendengar berbagai peristiwa hidup yang akan dilaluinya. Maka anak-anak telah dididik dengan pantun nasehat, dilatih berpikir dengan teka-teki dan dihibur dengan pantun jenaka.
Seiring dengan itu, pergaulan bujang-gadis juga dijembatani dengan pantun. Dengan pantun, dunia percintaan dalam tradisi Melayu menjadi halus, lembut dan indah. Jauh dari sentuhan kasar berupa nafsu badani yang rendah, yang bisa membuka jalan pada pelanggaran adat dan agama. Dengan pantun, isi hati dan bayangan cinta dapat disampaikan dengan cara kiasan, sehingga cinta itu semakin indah lagi oleh sentuhan pantun.
Dengan metafor pantun, muatan asmara dibungkus demikian rupa, sehingga tidak ujud dalam kata-kata yang kering atau vulgar. Pantun dengan percintaan dipertemukan begitu rupa oleh orang Melayu, bagaikan mempertemukan nyanyian dengan irama musik atau rentak kaki dengan rarak yang indah, sehingga ujud suatu harmoni tiada tara. Pantunlah yang mengantarkan anak panah asmara dari bingkai kiasan dan lambang yang romantis.
Selanjutnya, orang tua yang telah banyak memakan asam-garam kehidupan, juga memakai pantun untuk mendidik kalangan remaja. Mereka memakai pantun, karena manusia seyogianya cukup dibimbing dengan nilai-nilai mulia dari alur dan patut (adat) serta pedoman hidup dan mati dari agama Islam.
Dengan pantun, segala petua, pesan dan ajaran menjadi menarik dan memikat. Maka dalam pantun orang tua direntanglah kehidupan ini mulai dari hidup dunia yang penuh godaan sampai menemui ajal yang akan berakhir dengan Yaumil Makhsyar. Ini dirangkai dengan baik mulai dari pantun nasehat, pantun adat dan disudahi dengan pantun tarekat atau pantun agama. (bersambung)
(Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya di Riau, UU Hamidy)
Jagad Pantun Persada Melayu di Riau (Bagian 3), Oleh: UU Hamidy
One comment
Pingback: Jagad Pantun Persada Melayu di Riau (Bagian 1), Oleh: UU Hamidy – Bilik Kreatif