Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Jagad Pantun Persada Melayu di Riau (Bagian 1), Oleh: UU Hamidy
Foto: ital-agro.it

Jagad Pantun Persada Melayu di Riau (Bagian 1), Oleh: UU Hamidy

1. Pengenalan

Dari mana asal kata pantun, cukup menarik diperhatikan. Sebab puisi tradisional Melayu yang bernama pantun ini telah memainkan peranan yang begitu istimewa dalam perjalanan hidup orang Melayu. Ada dugaan, kata pantun berasal dari kata tun yang punya arti teratur, sebagaimana dikemukakan oleh Renward Bransteter.

Dari pendapat itu, Hoesein Djajadiningrat berkesimpulan arti kata pantun ialah bahasa terikat yang teratur atau tersusun. Di samping itu, akar kata ‘’tun‘’ dalam dunia Melayu juga bisa berarti arah, pelihara dan bimbing, serta diperlihatkan oleh kata ‘’tunjuk‘’ dan ‘’tuntun‘’. Karena itu, kata pantun dapat berarti sebagai sepasang bahasa terikat yang dapat memberi arah, petunjuk, tuntunan dan bimbingan.

Pantun telah mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Para sarjana Eropa telah meneliti dan menelaah pantun paling kurang sejak abad ke-18. Tidak kurang dari 10 sarjana Eropa telah mempelajari pantun. Mereka sangat tertarik terhadap dua bagian pantun, yakni 2 baris yang pertama bernama sampiran dan dua baris terakhir sebagai isi atau maksud.

Pasangan sampiran dan isi benar-benar amat menggoda para sarjana Barat. Betapa tidak, sebab pasangan bentuk ini tidak hanya sebatas memberikan bentuk yang indah, tetapi juga sekaligus memancarkan kedalaman makna dalam suatu bingkai estetik yang harmonis.

William Marsden dalam kitabnya yang bertajuk Grammar of The Malayan Language tahun 1812, berpendapat 2 baris pertama yakni sampiran merupakan kiasan terhadap 2 baris berikutnya yakni isi pantun. Pendapat ini didukung pula oleh John Craufur ddalam kitabnya Grammar and Dictionary of The Malayan Language terbitan pertama tahun 1852.

William Marsden berkesimpulan, asas sampiran sebagai kiasan terhadap isi, dipakai dengan teliti oleh orang Melayu. Sedangkan John Craufurd melihat hubungan sampiran dengan isi, bagaikan teka-teki, yakni teka-teki pengertian, karena kiasan yang dikandungnya.

Abbe P Favre dalam kitabnya bertajuk Grammair de la Langue Malaise tahun 1876 menyatakan 2 baris yang mula-mula (sampiran) berfungsi sebagai lambang terhadap 2 baris berikutnya (maksud, isi). Tetapi lambang itu hanya untuk menetapkan atau menyesuaikan irama (sajak), bukan untuk menentukan maksud atau isi pantun.

Pendapat ini disokong oleh WR Van Hoevell dan LK Harmsen mengatakan bahwa 2 baris pertama pada pantun sering menyatakan yang bukan-bukan, sebab yang dipentingkan di situ hanyalah keindahan bunyi, sebab pantun itu dilagukan oleh orang Melayu.

Kemudian daripada itu, Pijnappel membandingkan kata pantun dalam bahasa Melayu dengan umpama dalam bahasa Batak Toba dan kata wangsalan dalam bahasa Jawa, yang merupakan teka-teki bunyi dalam perkataan. Dia berkesimpulan, seloka kadang-kadang disamakan orang dengan pantun.

Sarjana ini berkesimpulan, kata pantun dalam bahasa Melayu itu berasal dari perubahan perkataan peribahasa, sehingga 2 baris pertama pantun menjadi kiasan terhadap 2 baris berikutnya, seperti yang diterangkannya dalam kitabnya Over der Maleische Pantoen’s.

Ch A Van Ophuysen dalam pidatonya ‘’Het Malaische Volkgedicht’’ mempunyai dugaan bahwa pantun berasal dari bahasa daun-daun, setelah dia menjumpai ende-ende orang Mandailing yang memakai bahasa daun-daun untuk pengganti surat-surat percintaan. Sedangkan RJ Wilkinson dan RO Winsted justru mengatakan sebaliknya, bukan pantun berasal dari bahasa daun-daun, tetapi bahasa daun-daunlah yang berasal dari pantun.

Selanjutnya Wilkinson dan Winsted menyatakan bahwa asas pantun yang utama ialah 2 baris yang terakhir. Kebiasaan menggunakan sugesti bunyi itulah yang akhirnya melahirkan pantun. H Overbeck juga melihat hubungan bunyi dalam pantun. Pantun punya hubungan bunyi dan hubungan pikiran, seperti yang diterangkannya dalam kajiannya tentang pantun yang bertajuk The Malay Pantun yang disiarkan tahun 1922.

Begitulah pantun dalam berbagai hasil pengamatan, penelitian, kajian dan telaah para sarjana. Dari pandangan mereka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sampiran dengan isi pantun. Sampiran itu bisa sebagai kiasan terhadap maksud pantun, bisa juga sebagai sugesti bunyi dan unsur estetik pada irama, bahkan menjadi teka-teki pengertian terhadap isi pantun.

Karena itulah Hoesein Djajadiningrat melihat ada kegaiban dalam hubungan sampiran dengan isi, sebagaimana diterangkannya dalam kajiannya Arti Pantun Melayu yang Gaib. Kegaiban itu terkesan dari sesudah 2 baris pertama tiba-tiba disusul oleh 2 baris terakhir, sedangkan sekaliannya ini berpunca pada bagian isi dalam 2 baris terakhir. (bersambung)

(Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya di Riau, UU Hamidy)

Jagad Pantun Persada Melayu di Riau (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy

Check Also

Foto : Dokumentasi Bilik Kreatif

Jejak Langkah Pemangku Adat Bersendi Syarak Memegang Teraju Adat di Rantau Kuantan Tempo Dulu, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Bijaksana telah memberi kurnia pada manusia berupa mata, telinga, dan hati nurani …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *