Allah Maharaja Hari Kemudian telah menurunkan Al-Qur’an kepada Junjungan Alam yang pilihan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam agar manusia hanya beribadah kepada-Nya. Tidak membuat sekutu bagi-Nya, apalagi sampai menyembah syetan yang terkutuk. Al-Qur’an sebaik-baik kata yang mengandung kebenaran telah disampaikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada para sahabat dengan kata dan perbuatan, sehingga jadilah para sahabat umat yang terbaik di muka bumi. Karena itu, siapa yang ingin selamat dunia akhirat dan rindu bertemu dengan Tuhannya hendaklah mengikuti jejak langkah para sahabat dalam beribadah dan beramal shaleh. Di luar itu, hanyalah jalan yang menyimpang, sesat dari kebenaran, sehingga akan berakhir di neraka.
Kerajaan Melayu di Nusantara di bawah naungan sayap raksasa khilafah islamiyah punya kesadaran dengan akal sehat harus mengubah arah bahasa dan budayanya supaya condong kepada kebenaran Islam yang sempurna tanpa keraguan. Maka, butir-butir bahasa Al-Qur’an yang jernih berisi kebenaran pelan-pelan masuk dalam perbendaharaan bahasa Melayu sehingga akhirnya bahasa Melayu berkadar Islam, punya peluang jadi bahasa ilmu. Dengan masuknya nilai bahasa Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu, bahasa ini dapat jadi bagaikan minyak pelumas yang bersih sehingga mesin (pikiran) dapat berputar menjadi akal sehat. Itulah yang akan membuka pintu hidayah dari Allah Rabbul Alamiin. Inilah yang membuat bahasa Melayu punya sentuhan penampilan yang halus sehingga bahasa itu sebanding dengan budi pekerti yang mulia sebagaimana diajarkan oleh agama Islam yang tinggi dari semua agama.
Karena bahasa sebanding dengan budi pekerti, sebagaimana juga sudah ternukil dalam Gurindam Dua Belas oleh Raja Ali Haji—ulama dan pengarang Riau yang piawai—maka bahasa harus memberi arah kepada akhlak yang mulia. Perhatikanlah bayangan pandangan batin dalam perumpamaan ‘’harapkan hujan di langit, air tempayan dicurahkan’’. Inilah gambaran angan-angan yang panjang yang dicela oleh Islam karena tidak mau berpijak kepada kenyataan dari nikmat Allah di muka bumi.
Hujan di langit itu bergantung kepada kekuasaan dan kehendak Allah, bila akan diturunkan ke bumi. Tidak ada satu kekuatan pun manusia dapat untuk mengaturnya. Tapi manusia yang tidak beriman pada Allah Yang Maha Pengatur merasa selalu tidak cukup dengan kurnia yang telah diterimanya dari Allah Yang Maha Pemurah. Dia tidak bisa tenang dengan hati yang qona’ah menerima rahmat Allah yang telah didapatnya. Akibatnya, manusia serupa itu tidak menghargai nikmat Allah yang telah ada padanya. Perbuatan ini menjadi tanda dia tidak bersyukur pada Allah yang selalu memberi rezeki dan nikmat kepadanya.
Perumpamaan manusia yang tidak qona’ah dan bersyukur pada Allah atas nikmat yang diterimanya membuat dia terjerumus kepada sifat serakah. Dengan sifat serakah itu dia menjadi manusia kapitalis yang buas yang semuanya hanya dihargai atas dasar bendawi. Dengan sifat serakah anak cucu Adam serupa itu, selalu melihat kekurangan pada apa yang dia miliki. Dia jadi iri dan dengki pada orang lain di atasnya yang dipandang lebih kaya dan bahagia. Maka dia mengambil jalan di luar panduan syariah Islam sehingga bergelimang hidupnya dalam berbagai perbuatan maksiat.
Namun, jalan hidup yang serupa itu belum tentu berhasil memenuhi selera hawa nafsu yang rendah. Kalaupun dia berhasil, kekayaan bendawi itu tetap membuat hidupnya sempit dengan hatinya yang gelisah. Sebab hati hanya dapat menjadi tenang dengan hidup rela menerima takdir yang telah diatur dan ditentukan dari Allah Yang Maha Bijaksana. Kalau mau tenteram, hiduplah dengan hati yang qona’ah, merasa puas dan selalu bersyukur pada Allah, apapun yang telah berlaku atas kehendak dan rahmat-Nya. Sebab hanya Allah Yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.***