Allah Yang Maha Bijaksana telah menurunkan Al-Qur’an kepada hambanya yang pilihan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam agar umat manusia menafikan dan menolak thagut yang membuat manusia bergelimang dengan kekafiran dan kesyirikan. Umat manusia (juga jin) hanya diciptakan oleh Allah Yang Maha Kuasa semata-mata untuk beribadah dan menyembah kepada-Nya, sesuai dengan tuntunan as-Sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka untuk menyelamatkan umat manusia dari kejahatan iblis yang telah bersumpah akan menyesatkan manusia agar durhaka kepada Allah, Al-Qur’an kitab rahasia alam semesta memberikan tiga perkara pokok.
Pertama, aqidah. Manusia benar-benar hanya bergantung kepada Allah, tidak pada makhluk maupun dirinya sendiri. Kedua, syariah. Manusia hidup dengan hukum Allah yang membedakan dengan tegas haq-bathil, halal-haram, serta pahala dengan dosa. Ketiga, akhlak. Yakni penampilan budi pekerti baik zahir maupun batin selaras dengan panduan Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Maka setelah orang Melayu memeluk Islam, pindah dari jalan hidup Animisme-Hindusime yang karut lalu menempuh hidup dengan berpegang pada aqidah dan syariat Islam yang lurus lagi terang benderang, bahasa Melayu pelan-pelan diberi muatan dengan kata-kata yang menampilkan akhlak mulia, sehingga bahasa menjadi pancaran budi pekerti.
‘’Kalau mau tahu orang yang berbangsa’’ (punya martabat), kata Raja Ali Haji ulama dan pengarang Riau yang piawai, ‘’lihatlah pada budi bahasa’’. Begitulah, malu dipandang menampilkan akhlak yang halus lagi lembut. Berbeda dengan cabar tak bermalu menantang dengan suka membuka aurat.
Sungguhpun demikian, oleh godaan syetan, manusia jadi sombong terhadap orang lain dan bangga melihat dirinya sendiri. Hal ini membuat matanya bular (buta) tak mau menerima kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya, sehingga memandang rendah lagi hina orang lain. Kesombongan yang melampaui batas dan takjub yang berlebihan pada dirinya membuat tabir yang besar menghalangi dirinya melihat cacat dan kekurangan dirinya sendiri. Bagaikan gajah yang menutup pelupuk matanya. Sebaliknya, jika manusia itu hanya melihat orang lain tanpa bandingan dengan aib dirinya, maka penglihatannya sangat tajam dan teliti. Akibatnya, kekurangan yang sekecil apapun pada orang lain bagaikan hanya sekecil tungau yang susah dilihat, namun dapat juga diketahuinya (dilihatnya).
Perumpamaan ini juga dapat dibaca betapa besarnya aib pada diri kita telah jadi tabir (penutup) bagaikan seekor gajah terhadap diri kita. Sebaliknya, betapapun kecilnya aib orang lain, dapat juga kita ketahui karena kita hanya mampu melihat pada orang lain saja. Inilah yang dibidas dengan dosa besar dalam Islam. Begitulah hebatnya tipu daya syetan sesuai dengan sumpahnya akan menyesatkan semua anak cucu Adam dengan memperalat hawa nafsu manusia untuk memperbudak akal pikirannya sehingga menyimpang (sesat) dari fitrah penciptaannya yang telah mengakui kebesaran dan kebenaran Allah Azza Wa Jalla serta tunduk dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.***