2. Sesakit Sepenanggungan: Sama Rata Sama Rasa
Gambaran suasana perang dalam catur internasional memperlihatkan, bahwa bidak yang 8 itu (yang boleh dipandang sebagai serdadu biasa) harus maju terus, sedangkan 8 tokoh di belakang, boleh maju dan boleh mundur. Ini memberi arti, semua serdadu harus mau tak mau berkorban, sedangkan para pembesar atau tokoh sebagai penguasa, boleh mundur untuk menyelamatkan dirinya.
Serdadu-serdadu atau bidak-bidak itu dalam perjuangannya, ternyata bukan hanya untuk tujuan mendapatkan kemenangan, tapi juga untuk mendapatkan kenaikan pangkat. Yang terakhir itu bisa mungkin sebagai tujuan yang pertama. Hal itu terbukti, ketika Sang Bidak berhasil sampai ke ujung batas daerah kekuasaan lawan, maka dia akan dinaikkan pangkatnya seperti menjadi menteri atau pembesar lainnya, kecuali raja. Ini berarti, dengan perjuangan serupa itu, dia berusaha mendapatkan perubahan kedudukan sosial, dari kedudukan sebagai prajurit menjadi para pembesar.
Dalam catur Melayu dengan rujukan catur porang Rantau Kuantan, ada 18 anak catur untuk tiap pihak. Dari jumlah 18 itu, ada 7 anak catur yang menempati daerah rimbo (rimba) dan 11 lagi menempati daerah padang. Catur Melayu tidak memberikan perbedaan dalam bentuk bangunan anak catur seperti yang tampak dalam beda bentuk anak catur ienternasional untuk membedakan kedudukan sosial dalam angkatan perang itu. Anak catur Melayu hanya memakai satu bentuk. Jika dibuat perbedaan bentuk dan warna, itu hanya digunakan untuk membedakan antara pihak I dan II (kita dan lawan).
Sungguhpun demikian, anak catur yang berada dalam daerah padang sebanyak 11 buah itu, boleh dikatakan mewakili anggota masyarakat sebagai serdadu atau prajurit. Yang 7 lagi di daerah rimbo dapat merupakan para pemimpin atau tokoh-tokoh masyarakat dalam kerajaan atau negara. Pembesar yang 7 ini dapat merujuk kepada: Raja (Yang Dipertuan Besar, Sultan), Perdana Menteri (Yang Dipertuan Muda), Putra Mahkota atau bisa juga Bendahara, Datuk Bentara Kanan dan Datuk Bentara Kiri dengan Hulubalangnya masing-masing. Jika diarahkan kepada puak Melayu di Rantau Kuantan, maka susunan yang bertujuh itu ialah: Datuk (Urang Godang) yang memimpin Luhak sebagai daerah bagian dalam Federasi Rantau Kuantan, Pangulu, Monti dan Dubalang yang berempat, yang memegang tampuk pemerintahan dalam tiap suku dan kenegerian.
Kembali kepada perbandingan tadi, maka semua anak catur Melayu mempunyai gerakan ke depan dan ke samping. Tidak boleh mundur. Tidak ada hak istimewa dalam gerakan itu bagi siapapun. Jika seorang pejuang (sebuah anak catur) tidak dapat membunuh lawannya, dan keadaan tidak menguntungkan untuk maju, maka dia dapat bertahan dalam bentuk bergerak ke kiri atau ke kanan. Oleh sifat yang demikian, maka strategi yang terbaik ialah dapat membunuh lawan tanpa risiko pembalasan. Tetapi hal itu tidak selalu berlaku. Karena itu kadangkala akan diperlukan pengorbanan dari seorang pejuang (baik yang semula di daerah padang maupun di daerah rimbo) namun dengan perhitungan, akan dapat membalas dengan membunuh lawan dua orang, tiga orang, bahkan mungkin lebih, sekaligus.
Jika dalam serangan ke daerah kekuasaan lawan, seorang serdadu berhasil sampai ke batas akhir daerah kekuasaan lawan (ujung rimbo), maka serdadu itu tidak mendapatkan perubahan kedudukan sosial secara formalitas. Dengan suksesnya yang demikian, dia hanya memperoleh hak untuk bebas bergerak, yaitu dia boleh mundur kembali ke belakang, jika musuh tidak ada lagi di daerah rimbo lawannya itu. Kedudukannya dalam peperangan tetap sama-sama prajurit dengan rekan-rekannya, begitu juga tidak ada beda mereka dengan pejuang yang berada di daerah rimbo.
3. Lambang Kehidupan ialah Kebenaran
Catur internasional telah memberikan gambaran mengenai perbedaan kedudukan sosial tang tampak dalam kehidupan realitas, dan berlaku juga dalam suasana perang, seperti diperlihatkan hak-hak istimewa para tokoh atau pembesar yang delapan itu. Dalam gambaran itu, raja telah menjadi lambang negara dan lebih dari pada itu sebagai lambang kehidupan itu sendiri. Permainan catur internasional boleh disimpulkan bagaimana usaha raja dapat hidup terus, atau bagaimana agar dapat membunuh raja pihak lawan secepat mungkin. Jadi, apabila mati Sang Raja, kalahlah negara. Meskipun yang lain masih ‘hidup’ namun tak berguna lagi. Sebab lambang kehidupan telah sirna.
Catur Melayu memberikan gambaran sosial yang agak lain. Meskipun ketujuh anak catur yang berada di belakang itu boleh dipandang sebagai pembesar-pembesar kerajaan, namun dalam suasana perang tidak ada keistimewaan. Raja dan semua pembesar tak dapat dibedakan lagi dengan prajurit biasa kalau sudah terjadi peperangan. Tidak seorang pun di antara mereka boleh mundur meski keadaan bagaimanapun juga. Mereka harus berjuang bahu-membahu.
Permainan catur Melayu itu dapat memberi tanda, bahwa raja bukanlah lambang kehidupan. Kemenangan dalam catur Melayu ialah tewasnya lawan yang terakhir, karena lawan identik dengan kejahatan. Kalah ialah gugurnya syuhada yang penghabisan. Dengan demikian dapat dikatakan, meskipun raja dan semua pembesar sudah gugur, namun peperangan akan berlanjut terus. Jadi, raja atau penguasa bukanlah lambang kehidupan. Kehidupan dapat saja berlanjut tanpa raja, sebab raja atau kekuasaan bukanlah satu-satunya hakikat hidup. Kehidupan dapat berlanjut dengan lestari, jika kebenaran dapat ditegakkan oleh para pejuang. (bersambung)
(Membaca Kehidupan Orang Melayu, UU Hamidy)
Tulisan ini juga pernah dimuat di Majalah Optimis, Majalah Perbukuan dan Pengetahuan Nomor 45 Edisi Oktober 1983
Gambaran Masyarakat dan Lingkungan Hidup dalam Permainan Catur Melayu (Bagian 3), Oleh: UU Hamidy