4. Manusia Bukanlah yang Menentukan Segala-galanya
Catur internasional kurang memperhatikan realitas medan pada permukaan bumi. Hal itu pertama tampak dalam medan perang pada papan catur, di mana ajang pertempuran boleh dikatakan hanya suatu lapangan terbuka berupa 4 baris petak yang dikosongkan antara dua pihak yang akan berperang. Nilai strategis suatu tempat baru tampak setelah peperangan berlangsung, dan nilai itu amat ditentukan oleh sifat atau kemampuan pejuang yang berada di tempat itu. Karena itu, suatu posisi yang ditempati oleh seorang serdadu biasa (bidak) akan lain nilai strategisnya berbanding dengan yang lain seperti menteri, gajah, kuda dan benteng.
Dalam catur Melayu, medan perang telah tergambar dari awal. Pada papan catur dapat dilihat tempat-tempat yang strategis, sebagaimana permukaan bumi dalam peta peperangan memberikan petunjuk-petunjuk ke arah itu. Keberhasilan manusia dalam peperangan bukanlah didominasi oleh kemampuan manusia semata, tetapi juga dipengaruhi oleh persahabatannya dengan alam di tempat itu.
Posisi kopak (sayap), tapak lapan, dan cokiak (cekik), merupakan tempat-tempat yang harus diperhitungkan dalam permainan catur Melayu. Kelalaian memperhatikan tempat-tempat itu, akan berbahaya. Jika posisi kopak yang kita kuasai sampai direbut lawan, maka kita akan susah maju ke depan. Gerak para pejuang dari daerah rimbo akan susah, sebab terancam oleh lawan yang telah menghadang dari arah kopak kekuasaannya sendiri ditambah dengan dari arah kopak yang direbutnya. Dari tiap kopak dapat dilakukan 5 arah serangan. Dari tempat inilah serangan dapat menembus ke arah rimbo lawan; itulah sebabnya posisi itu disebut kopak, berarti sayap untuk melayang ke tempat yang lebih jauh.
Posisi tapak lapan yang semula merupakan ajang pertempuran awal, mempunyai nilai strategis, karena dari tempat itu dapat dilakukan 8 arah serangan atau delapan kemungkinan membunuh lawan. Posisi cokiak, di samping juga mempunyai 8 arah serangan, mempunyai nilai strategis, bagi gerakan para pejuang dari dalam rimbo, atau berguna untuk melindungi serangan lawan ke dalam rimbo. Jika tempat itu sampai jatuh kepada lawan, maka ‘’kita’’ sudah berada dalam posisi mendekati kalah. Itulah sebabnya posisi itu disebut cokiak, maknanya tempat yang bisa mencekik. Jatuhnya cokiak kepada pihak lawan, akan menyebabkan terancamnya kedudukan pejuang lainnya dalam rimbo. Itu berarti sumber kekuatan telah terancam sepenuhnya.
5. Rimba Hanya Dapat Dipakai Atas Kebenaran untuk Kelestarian Hidup
Perhatian akan realitas medan perang itu tampak nyata sepenuhnya, dengan adanya pembagian papan catur Melayu atas dua bagian: padang dan rimbo. Daerah padang merupakan daerah yang telah diolah dan dikuasai manusia. Daerah itu merupakan tempat berlangsungnya perjuangan hidup dalam pengertian luas. Karena itulah pertempuran pertama-tama berlangsung di daerah padang, bukan di rimba. Daerah rimbo merupakan daerah yang harus dijaga demikian rupa. Penempatan 7 anak catur di tempat itu, harus dibaca bukan dalam arti didami dalam keadaan realitas, tetapi juga dalam arti dijaga dan diawasi. Jadi daerah rimba tidak boleh dikuasai oleh orang seorang atau oleh suatu ego, tapi harus oleh suatu kekuasaan yang mengatasi segala orang. Pihak luar yang bisa membahayakan harus diawasi jangan sampai memasuki daerah rimbo. Itulah sebabnya posisi cokiak harus dijaga terus, agar rimbo itu tidak rusak oleh tangan kejahatan.
Gambaran ini jika mau ditafsirkan lebih jauh, dapat disimpulkan bahwa rimba atau hutan amat penting dalam kehidupan. Daerah itu dipandang sebagai pusat perbekalan dalam perang, atau sumber alam yang amat berharga dalam kehidupan manusia. Papan catur telah memperlihatkan, bahwa hanya ada satu jalan yang dapat dilalui untuk memasuki rimba. Ini berarti tempat itu tidak boleh menjadi tempat lalu-lalang begitu saja. Memasuki rimba dalam arti mengambil sumber daya alamnya, hanya dapat dilakukan dengan satu jalan saja: jalan kebenaran bagi kemaslahatan semua orang.
6. Tasosak Padang ka Rimbo
Daerah padang tempat manusia mengadu untung sehari-hari telah dilambangkan dengan segi empat dengan 22 posisi yang saling bertalian. Jika lambang ini mau diberi bacaan, maka segi empat itu dapat berarti sebagai tempat kegiatan manusia untuk mendapatkan 4 kepentingan hidup yang utama: makan, minum, pakaian dan perumahan. Posisi sebanyak 22 itu dapat dipandang sebagai berbagai kemungkinan yang dapat ditempuh oleh orang untuk mendapatkan jalan kehidupannya. Dalam posisi yang 22 itu yang amat terkenal ialah tapak lapan, yaitu ada 8 kemungkinan bagi orang (Melayu) di Rantau Kuantan dan –tentu juga di daerah lain– yang dapat dijadikan sandaran kehidupan atau mata pencaharian. Kedelapannya itu ialah: baladang (beladang), bataronak (beternak), bakobun (berkebun), bapakarangan/bepakarangan (mempergunakan alat penangkap ikan), baniro/bernira (membuat gula enau), baniago (berniaga), batukang (bertukang) dan mendulang (mencari atau mendulang emas). Itulah 8 mata pencaharian pokok yang dapat dilakukan oleh rakyat di rantau itu; ke sanalah semestinya tapak kaki atau langkah kehidupan diarahkannya, sebagaimana tapak lapan telah dilambangkan di tengah papan catur, yang berarti dia harus menjadi pusat perhatian atau sasaran kegiatan utama dalam kehidupan.
Daerah rimbo sebagai cadangan sumber alam bagi kelestarian hidup manusia telah dilambangkan dengan segi tiga. Jika kita mau memberikan bacaan yang bernilai, maka itu memberi pertanda bahwa daerah itu diapit atau dipagari oleh tiga sisi norma: agama, adat (undang-undang negeri), dan kebijaksanaan para pemimpin. Maka, jika kita mau mempunyai sumber daya alam yang lestari, kita harus berpedoman dalam pemakaiannya kepada ketiga norma itu.
Apa-apa yang kita oleh berupa hasil perubahan ujud bermacam barang, bagi kehidupan kita di daerah kota dan perkampungan (padang), tak dapat dilepaskan dari pada sumber-sumber alam dan lingkungan kita, di mana rimba merupakan sentralnya. Oleh sebab itu, ketika kita kehabisan bahan dalam berbagai kegiatan untuk kehidupan kita, maka kita akan segera menoleh atau mengadu kepada rimba itu. Sebab itu, ungkapan Melayu ‘’tasosak padang ka rimbo/tersesak padang ke rimba’’ juga harus dibaca ‘’jika padang kehabisan sumbernya, maka rimbalah tempat kita mengadu’’.
Dari seluruh bacaan itu ada suatu petunjuk kepada kita, bahwa catur internasional telah memperlihatkan lambang-lambang antropologis dalam kehidupan manusia yang realitas. Manusia dalam kenyataan hidupnya amat dipengaruhi oleh kedudukan dan fungsi sosial. Nilai manusia seakan identik dengan kedudukan sosialnya, sedang tindak budayanya terikat kepada kedudukan serupa itu. Oleh keadaan yang demikian, maka perbaikan hidup manusia bertalian erat dengan upayanya memperbaiki status sosialnya. Untuk kepentingan itu, manusia telah melakukan apa saja yang dapat dilakukanya, meski sampai merusak alam yang akan menjadi dasar kesejahteraan dan kelestarian hidup bagi dia sendiri dan generasi di belakangnya.
Dalam bandingannya, permainan catur Melayu, bukan tidak memandang realitas kehidupan manusia yang tampak dalam berbagai beda rupa kedudukan sosial dan budaya. Tetapi betapapun juga beda-beda itu ternyata lebih banyak digunakan untuk perselisihan dari pada untuk ketenteraman. Karena itu, penilaian terhadap realitas saja bagi manusia tidaklah memadai. Masih ada penilaian yang lebih kokoh, yaitu penilaian metafisik.
Dalam pandangan metafisik, manusia sesungguhnya sama. Mereka sama-sama sejenis makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa, yang telah ditakdirkan hidupnya berpaut satu sama lain. Pautan itu bukan hanya antara sesama mereka umat manusia, tetapi lebih-;ebih antara mereka dengan alam. Hanya dengan menyadari saling ketergantungan serupa itu, manusia dapat menghargai manusia lainnya, hanya dengan cara itu pula manusia dapat mesra memandang alam, sehingga dia akhirnya dapat menerima kebesaran Tuhannya.
Maka, kalaulah hakikat manusia dalam metafisik sesungguhnya demikian, dengan alasan apa lagi dia hendak menyombongkan dirinya dengan berbagai status kekuasaan, sedang status itu rupanya pada hakikatnya tidak ada.***
(Membaca Kehidupan Orang Melayu, UU Hamidy)
Tulisan ini juga pernah dimuat di Majalah Optimis, Majalah Perbukuan dan Pengetahuan Nomor 45 Edisi Oktober 1983