4. Tapisan
Dari uraian ini tampaklah bagaimana bahasa Melayu dibina dan dikembangkan di Riau. Pembinaan dan pengembangan bahasa serta budaya ternyata berpadu dalam satu kebulatan dengan akhlak, sehingga ‘’Islam telah menjadi dasar dan semangat bagi kemajuan ilmu pengetahuan’’. Agama ini menjadi semacam perjalanan batin bagi para pengarang, sehingga para pengarang ini telah berjuang melalui karangannya menuju tujuan yang bersifat spiritual pula. Tujuan hidup telah dinaikkan derajatnya dari kepentingan mengumpulkan harta benda yang bersifat hedonsime (memuja nafsu badaniah) kepada tingkat keruhanian yang tinggi. Inilah yang menyebabkan orang Melayu lebih menghargai kualitas hidup (yang bersifat ruhani) daripada taraf hidup (yang bersifat kebendaan).
(Masalah ini sering dipandang orang menjadi dilema bagi orang Melayu dewasa ini dalam menghadapi dunia yang semakin materialis. Padahal tidakkah harus dipandang sebagai suatu sikap hidup yang justru patut dihargai, agar dacing kehidupan ini tidak sampai berat sebelah, yang kelak akan menghilangkan keseimbangan antara yang lahir dengan yang batin, yang puncaknya tentulah kehancuran bagi masyarakat itu. Sejarah umat manusia belum pernah memberi bukti tentang kemerosotan kehidupan jika lebih berat kepada keruhanian. Tetapi tak terhitung bukti sejarah bagaimana banyaknya kehancuran ketika kehidupan lebih berat kepada kebendaan).
Pihak kerajaan Riau juga berada dalam semangat spiritual itu. Kerajaan itu tidaklah menjadi lambang kuasa duniawi saja. Pemegang tali teraju kerajaan ini seperti Raja Abdullah (Yang Dipertuan Muda Riau IX, 1857-1858) malah menjadi mursyid tarikat Naksahbandiyah. Sebab itu tidaklah berlebihan jika sampai dikatakan dalam masyarakat Melayu di Riau ketika itu, agama Islam menjadi stamina spiritual kehidupan. Keadaan ini menyebabkan tidak adanya pemisahan antara aksi (perbuatan) dengan pemikiran—sebagaimana juga dikemukakan oleh Raji al Faruqi, bagaimana sebenarnya kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam agama Islam.
Semangat spiritual itu jugalah yang telah memandu karya-karya pengarang Riau (dan pengarang lain yang bergabung dalam Rusydiah Klab), sehingga menjadi rentangan kegiatan budaya dari tingkat ‘’tanah liat’’ kepada tingkat ‘’ruh yang infinitum’’. Semua karya dalam berbagai bidang dapat bertemu dalam nilai. Nilai itu ialah kebenaran. Tiap pengarang mencintai yang haq, yang benar. Sebab kebenaran merupakan salah satu daripada nama Tuhan. Siapa yang mencintai yang haq, berarti mencintai Allah.
Hasil kreativitas itu dapat diperlihatkan oleh sejumlah karya tulis yang telah ditulis oleh para pengarang, baik merupakan hasil karangan sendiri maupun perbendaharaan mereka dalam bentuk perpustakaan. Di Riau dewasa itu, ada kesan bahwa jumlah kitab atau perpustakaan mencerminkan kadar ilmu. Maka dalam penelitian tahun 1982 dapat dikemukakan 108 buah karya tulis di Riau dengan perincian sebagai berikut :
- Bahasa naskah : -Melayu : 90 buah, -Arab : 15 buah, -Perancis : 1 buah, -Arab dan Melayu : 2 buah
- Pengarang : -Dikenal : 98 buah, -Tak Dikenal : 10 buah, -Laki-laki : 89 buah, -Perempuan : 4 buah, -Orang Biasa : 51 buah, -Bangsawan : 43 buah, -Anak Jati Riau : 71 buah, -Bermastautin di Riau : 6 buah, -Luar Riau : 31 buah, -Tak Dikenal : 10 buah
- Bentuk naskah : -Tercetak : 87 buah, -Manuskrip : 20 buah, -Diketik : 1 buah
- Tema isi : -Agama (dalam arti sempit) : 41 buah, -Sastra : 24 buah, -Bahasa : 8 buah, -Ilmu-ilmu sosial : 30 buah, -Ilmu pasti alam : 5 buah
- Keadaan naskah : -Utuh : 90 buah, -Rusak ringan : 13 buah, Rusak berat : 5 buah
- Jumlah naskah : -Jumlah total : 108 buah, -Jumlah judul : 101 judul
- Jumlah pengarang : -Anak jati Riau : 22 orang, -Bermastutin di Riau : 4 orang, -Luar Riau : 28 orang
Dalam tahun 1985 dilakukan lagi penelitian terhadap naskah Melayu di Riau dengan bantuan belanja dari The Toyota Foundation, Jepang. Kegiatan ini khusus hanya untuk mengetahui beberapa jumlah naskah yang memakai bahasa Melayu saja. Maka, diperoleh di lapangan, ada 137 naskah yang memakai bahasa Melayu. Perinciannya ialah sebagai berikut :
- Bahasa naskah : -Melayu : 120 buah, -Campuran (Melayu-bahasa asing) : 17 buah
- Pengarang : -Dikenal : 112 buah, -Tak dikenal : 25 buah
- Asal pengarang : -Anak jati Riau : -Laki-laki : 33 orang –Perempuan : 4 orang, -Luar Riau : 33 orang (semuanya lelaki)
- Aksara naskah : -Arab-Melayu : 119 buah, -Latin : 8 buah, -Campuran Arab-Melayu dan Latin : 10 buah, -Tulisan tangan (manuskrip) : 46 buah, -Tercetak : 91 buah
- Asal naskah : -Karya asli : 109 buah, -Terjemahan (termasuk saduran, salinan) : 28 buah
- Tema isi : -Agama Islam (dalam pengertian sempit) : 43 buah, -Ilmu-ilmu sosial : 48 buah, -Bahasa (tatabahasa dan kamus) : 8 buah, -Sastra : 33 buah, -Ilmu pasti alam : 5 buah
Tetapi apakah artinya ini? Sekali lagi—seperti telah diulas di muka—semua karya ini berpilin erat dengan semangat spiritual. Karya-karya itu telah menjadi bagian perjalanan hidup orang Melayu itu sendiri dalam pengembaraan ruhaninya, yang selalu menyebut dirinya dengan hamba yang dhaif di hadapan Sang Khalik. Karena itu jika naskah ini dikaji, niscaya akan meliputi kajian tentang spiritual agama Islam, kehalusan budi, sejarah, ilmu pengetahuan dan kesenian orang Melayu.***
(Majalah sastra Horison Nomor 1 Tahun XXVII, Januari 1993)