Pada tahun 1985 dibentuklah lembaga Bina Mulia Bahasa dan Budaya Melayu oleh Universitas Riau untuk memberikan penelitian dan pembinaan terhadap bahasa dan budaya Melayu. UU Hamidy ditunjuk menjadi ketua didampingi oleh beberapa dosen lainnya.
Dia membuat rancangan kegiatan untuk 25 tahun. Terbagi tiap 5 tahun, dengan rincian kegiatan tiap tahunnya pula. Hasil rancangan ini diharapkan akan menampilkan Riau sebagai Pusat Bahasa dan Budaya Melayu, sebagaimana telah jadi judul buku UU Hamidy yang diterbitkan oleh Bumi Pustaka tahun 1981 dalam terbitannya yang jolong.
Setelah rencana itu dibuat, dia minta dana permulaan kepada Universitas Riau cukup hanya Rp10 juta, untuk memulai gerak penelitian. Lembaga ini sudah punya hubungan oleh UU Hamidy dengan Pusat Bahasa di Jakarta, Dewan Bahasa dan Pustaka di Kuala Lumpur serta negeri Belanda yang banyak menyimpan naskah-naskah Melayu.
Pihak Universitas Riau ternyata tidak memberikan dana untuk menggerakkan lembaga ini. UU Hamidy mencoba lagi menyampaikan rancangan lembaga ini kepada pihak Pemerintah Daerah (Pemda) Riau dengan menemui Wakil Gubernur Baharuddin Yusuf. Harapan mendapat bantuan juga disampaikan lagi kepada pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau dengan menghadap kepada Ismail Suko. Namun ternyata tidak berhasil, meskipun mereka semuanya memuji rancangan ini.
Setelah melihat tidak ada kemajuan untuk menggerakkan lembaga Bina Mulia Bahasa dan Budaya Melayu, maka pada tahun 1986, UU Hamidy mengundurkan diri. Sebab dia tak dapat berada pada lembaga yang hanya menjadi lembaga papan nama yang tidak ada perbuatannya. Dia menyerahkan kedudukannya kepada Nur Muhammad, seorang sarjana sejarah Timur Jauh.
Beberapa tahun kemudian datanglah pejabat The Toyota Foundation dari Jepang ke Riau menawarkan bantuan kepada lembaga itu lebih kurang Rp35 juta. Yayasan ini pernah sebelumnya memberikan bantuan yang disampaikan oleh anggotanya yang bernama Tsuyoshi Kato kepada UU Hamidy sebanyak Rp3 juta untuk meneliti naskah kuno Riau.
Pihak The Toyota Foundation sangat menghargai upaya UU Hamidy memakai dana itu. Dengan uang Rp3 juta, UU Hamidy dapat memberikan hasil penelitian 3 jilid setebal 450 halaman mengenai naskah kuno Riau, yang isinya meliputi para penulis naskah, isi naskah serta daftar lengkap naskah kuno Riau.
Kalau dihitung nilai laporan Rp10.000 per lembar, maka penelitian itu sudah harus menyediakan dana tidak kurang dari Rp4,5 juta. Jadi sebenarnya dana yang diterima UU Hamidy itu amat tidak memadai, sebab dia meneliti di Kepulauan Riau dan daratan, yang tentu perlu belanja perjalanan untuk kendaraan, penginapan dan konsumsi maupun keperluan lainnya.
Tapi ternyata pihak yayasan dari Jepang itu tidak lagi menemui UU Hamidy sebagai ketua Bina Mulia Bahasa dan Budaya Melayu. Mereka menyatakan kepada pihak Universitas Riau, bahwa uang Rp35 juta itu hanya bersedia mereka serahkan jika UU Hamidy yang pegang teraju lembaga itu.
Pihak Universitas Riau melalui orang-orang tertentu menghubungi UU Hamidy dan menggodanya agar mau kembali menjadi ketua. Namun demikian UU Hamidy hanya membalasnya dengan ucapan yang sederhana, ‘’Saya bukanlah orangnya.’’
Setelah buku Riau sebagai Pusat Bahasa dan Budaya Melayu tampil dalam cetak ulang ke-4 pada tahun 2003, barulah muncul Visi Riau dari Pemda Riau untuk menjadikan Riau pusat bahasa dan budaya Melayu di Asia Tenggara. Rupanya diperlukan waktu 20 tahun oleh birokrat Pemda Riau untuk mencerna gagasan budaya. Itupun bukan untuk kepentingan budaya yang sebenarnya, tapi lebih merupakan bagi kepentingan citra politik dalam alam demokrasi, sistem kufur yang munafik.***