Bagaimanapun juga risiko yang dihadapi oleh Tuanku Tambusai, namun ternyata jalan yang telah dirintisnya membuka peluang melapangkan gerak langkah tokoh pendidikan Islam di belakangnya. Meskipun hubungannya sampai kurang baik dengan pihak Kerajaan Rantau Binuang Sakti, karena pendekatannya yang bergaya Wahabi, namun Tambusai sepeninggalnya telah menjadi pusat pendidikan Islam.
Keadaan yang seperti itulah yang melapangkan jalan bagi Tuan Guru Abdul Wahab Rokan meninggikan panji-panji Islam di daerah tersebut. Ulama besar yang meninggal tanggal 27 Desember 1926 (dalam usia lebih dari 100 tahun) ini telah mengambil jalan tarekat dalam penyiaran agama Islam. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan ibarat yang beliau baca dari pengalaman Tuanku Tambusai.
Agama Islam dengan tarekat Naksyahbandiyah ternyata menarik perhatian terhadap raja-raja Melayu ketika itu. Beliau membangun berbagai pusat tarekat sebagai pusat penyiaran agama Islam dengan nama kampung masjid. Hasilnya cukup luar biasa. Beliau mendapat pengikut mulai dari Rokan sampai ke Langkat, bahkan menyeberang sampai Batu Pahat di Johor.
Oleh sukses yang besar inilah Sultan Musa dari Kerajaan Langkat memberinya sebidang tanah untuk dijadikan pusat pendidikan Islam. Tanah itulah yang kemudian menjadi pusat tarekat Naksyahbandiyah Babussalam, sebab di atas tanah itu telah ujud Kampung Babussalam, yang oleh lidah Melayu di rantau itu sering diucapkan Basilam.
Keberhasilan Tuan Guru Abdul Wahab Rokan tidak hanya sebatas masyarakat Melayu biasa, tetapi telah menembus pengislaman terhadap puak Melayu masyarakat terasing yakni masyarakat Sakai. Murid-murid yang menjadi ulama hasil didikan Tuan Guru Babussalam ini telah menyebar begitu rupa menyiarkan ajaran Islam dengan nafas tarekat Naksyahbandiyah.
Demikianlah Sakai Batin Lapan dan Sakai Batin Lima telah diislamkan oleh ulama tarekat ini di antaranya Syaikh Ali Ibrahim, Lebai Dowi, Imam Soba, Muhammad Toyib, Syaikh Sulaiman, Syaikh Abdurrahman dan berakhir dengan Syaikh Muhammad Nur. Mereka ini telah mengislamankan masyarakat Sakai selama hampir setengah abad, yaitu dari tahun 1916 sampai 1963.
Hasilnya meskipun sebahagian masih Islam dalam taraf syahadat tetapi juga sudah ada orang Sakai yang mencapai gelar khalifah dalam tarekat Naksyahbandiyah. Seorang di antaranya yang paling sukses dan terkenal ialah Ujang Ganti yang bergelar Batin Batuah, dengan gelar tarekat Khalifah Ramadhan, meninggal di Babussalam Duri 28 November 1988.
Untuk belahan Kampar, agaknya baik sekali kita perkenalkan lebih dahulu Haji Abdul Malik. Tokoh ini pada tahun 1919 sudah membuka Madrasah Muallimin yang ternyata mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat Bangkinang. Beliau sebelum meninggal telah berhasil mendidik kader (tenaga pengajar) dari kalangan muridnya sendiri.
Seorang di antaranya yang cukup berhasil ialah Buya Nur Mahyuddin. Setelah sang guru meninggal, maka selepas kemerdekaan sekitar tahun 1948 Buya Nur melakukan semacam pembaharuan lembaga pendidikan Islam. Beliau melanjutkan potensi pendidikan yang pernah ada, tetapi dengan meningkatkannya dalam bentuk pondok pesantren. Maka berdirilah pondok pesantren Daarun Nahdhah.
Berdampingan dengan Buya Nur Mahyuddin masih ada lagi paling kurang dua tokoh pendidikan Islam di Kampar. Pertama ialah Syaikh Abdul Hamid Harun, yang telah mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Perti di Tanjung Berulak di Air Tiris tahun 1937. Yang kedua ialah Syaikh Aidarus Gani yang telah membina Madrasah Tarbiyah Islamiyah Darussalam, di Batu Besurat sejak tahun 1956. Yang terakhir ini di samping membuka pesantren, juga memberikan kesempatan untuk suluk (suluf). Jika Abdul Hamid Harun adalah tokoh Parti maka Aidarus Gani merupakan tokoh tarekat Naksyahbandiyah.
Di belahan Rantau Kuantan di hulu dapat kita ketahui Haji Abdullah Munaf yang telah mengasuh Muallimin Muhammadiyah di Teluk Kuantan, Buya Marwin Sa’ad yang telah mendirikan Pesantren Nurul Islam Toar sejak 1963, sedangkan di hilir biasanya dikenal antara lain Haji Mohd Marzuki yang telah memimpin Pesantren Madinatun Najah di Rengat.
Nurul Islam Toar dengan pimpinan Buya Marwin Sa’ad ternyata amat sukses di samping lembaga ini dapat melanjutkan peranan Muallimin Muhammadiyah yang bubar tahun 1970-an, pesantren ini juga berhasil mengubah wajah negeri Toar yang semula jadi tempat (sarang) judi menjadi kampung kaum muslimin yang baik. Beriringan dengan itu Haji Mohd Marzuki telah pula mendirikan Madinatun Najah di Rengat yang juga terkenal dengan Pendidikan Agama Islam Rengat. Lembaga pendidikan ini telah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam batas-batas tertentu, sehingga tidak sampai kekurangan ulama yang mengkhawatirkan.
Di daerah Indragiri Hilir dapat kita kenal lebih dahulu Mufti Kerajaan Indragiri yaitu Tuan Guru Abdurrahman Sidik bin Muhammad Apip. Tokoh ini di samping mufti kerajaan, juga telah menulis kitab-kitab untuk pelajaran agama Islam. Tidak kurang dari 8 kitab telah beliau tulis, d iantaranya ialah Risalatun Amal Makrifat (tentang tasauf, ditulis di Sapat 1332 H), Asraru Shalatimin Adihi Kutubul Muchtamad (mengenai rahasia sembahyang, selesai ditulis tahun 1334 Sanat), Akaidul Iman (mengenai tauhid, barangkali ditulis tahun 1330 H) dan Syair Ibarat dan Khabar Akhirat (selesai dicap dengan kehendak pengarang 9 Sya’ban 1334 Hijriyah). Yang terakhir ini melukiskan kedatangan akan hari kiamat, gambaran orang yang beriman (menjalankan syariat) dengan orang yang engkar serta berbagai nasehat yang amat berharga. Tokoh ini meninggal di Sapat tanggal 10 Maret 1939, dimakamkan di Parit Hidayat. Di Parit Hidayat itu kemudian dibangun lembaga pendidikan Islam bernama Pondok Pesantren Islam Ma’had Hidayah.
Kegiatan Tuan Guru Abdurrahman Sidik memelihara ruh Islam dalam masyarakat telah dilanjutkan oleh ulama-ulama lainnya di belakang beliau, di antaranya Kiyai Haji Abdurrahaman Ya’kub, yang telah mengambil tempat di Sungai Gergaji. Beliau juga menulis kitab agama. Kemudian Haji Kasim membuka pula pendidikan Islam di Lahang dengan gaya yang lebih condong kepada Muhammadiyah.
Dalam rangkaian ini masih bisa kita lihat tokoh pendidikan berikutnya, Haji Husain Hap. Ulama keturunan Bugis ini telah belajar di Mekkah pada Madrasah Darul Ulum 10 tahun, sehingga telah menjadi seorang ahli hadits. Setelah pulang ke tanah air, beliau merombak Madrasah Nurul Iman, menjadi Darud Da’wah Wal Irsyad yang berpusat di Pare-pare Sulawesi Selatan yang telah didirikan oleh Ambo’ Dalle. Dalam tahun 1986, saja Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) Pulau Kijang telah berkembang sehingga mempunyai 12 ranting. Tiap ranting pada umumnya mempunyai tingkat ibtidiyah dan tsanawiyah, sementara DDI di Pulau Kijang sampai ke tingkat aliyah.
Masih ada lagi beberapa tokoh pendidikan Islam yang amat layak disebutkan namanya. Dua orang lagi yang amat penting ialah Haji Soeman Hs dan Haji Zaini Kunin. Kedua tokoh ini telah mendirikan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) di Pekanbaru tahun 1957. Yayasaan ini telah mendirikan lembaga pendidikan Islam mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi yang bernama Universitas Islam Riau. Sampai tahun 1989 tercatat ada 25 buah lembaga pendidikan Islam yang telah didirikan oleh YLPI.***
(Potensi Lembaga Pendidikan Islam di Riau, UU Hamidy)