Ruang lingkup, waktu dan muatan pendidikan Islam ternyata meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia, yang terbentang dari perjalanan hidupnya di dunia sampai ajal yang akan disusul oleh kehidupan yang kekal di akhirat. Memandang muatan konsep yang demikian maka sejumlah tokoh telah memainkan peranan sehingga dalam batas-batas kemampuan mereka dan ridha Allah, umat Islam telah dipandu hidupnya dalam jalan lurus yang penuh rahmat.
Maka tampaklah dalam rentangan kehidupan itu betapa sejumlah ulama, orang siak, orang alim, pakih dan guru agama Islam telah berbakti begitu rupa dalam menjalin amal saleh bagi kehidupan umat Islam di rantau ini. Ada sejumlah nama yang layak disebutkan, dan sebagian lagi kita kenal, meskipun tidak semuanya dapat diberikan ulasan yang memadai. Adapun para tokoh yang cukup berjasa dan terpandang dalam pendidikan Islam ini di antaranya ialah seperti dalam senarai di bawah ini.
– Raja Ali Haji
– Tuanku Tambusai
– Tuan Guru Syaikh Abdul Wahab Rokan
– Tuan Guru Abdurrahman Siddik bin Muhammad Apip
– Haji Abdul Malik
– Kiyai Haji Abdurrahman Ya’kub
– Buya Nur Mahyuddin
– Syaikh Abdul Hamid Harun
– Syaikh Aidarus Gani
– Abdul Rab bin Chatib Cik
– Syaikh Haji Muhammad Nur
– Buya Marwin Sa’ad
– Haji Husain Hap
– Haji Soeman Hs
– Haji Zaini Kunin
Raja Ali Haji yang lahir di Pulau Penyengat tahun 1808 dan meninggal sekitar tahun 1870-an merupakan tokoh pendidikan Islam di Riau yang cukup besar jasanya dalam pembinaan umat Islam di Kerajaan Riau-Lingga. Beliau dan juga ayahnya Engku Haji Tua merupakan raja-raja Riau yang lebih awal menunaikan ibadah haji.
Ayahnya Raja Ahmad Engku Haji Tua dan Raja Ali Haji beserta rombongan menunaikan ibadah haji tahun 1827. Mereka sampai di Jeddah 18 Sya’ban tahun 1243 Hijriyah. Di Mekkah, Raja Ahmad (Engku Haji Tua) membeli beberapa buah rumah kemudian diwakafkannya. Sementara di Madinah, Engku Haji Tua sebagai pemimpin rombongan membeli sebidang kebun juga untuk diwakafkan. Rumah wakaf inilah yang kelak membentuk tapak perkumpulan orang Melayu di Mekkah, yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Jawi.
Raja Ali Haji telah belajar di Mekkah selama setahun, baik bahasa Arab maupun ilmu-ilmu agama. Datuknya Yang Dipertuan Muda Riau Raja Ali Haji boleh dibanggakan keteguhannya membela Islam. Beliau telah mengambil ‘’fadhilat syahid’’ dalam bertempur habis-habisan dengan Belanda di Teluk Ketepang Malaka, sehingga gugur sebagai syuhada 18 Juni 1784. Inilah yang menyebabkan beliau digelar Raja Haji Fi Sabilillah.
Setelah mempunyai ilmu yang memadai maka Raja Ali Haji sebagai seorang di antara keluarga pengarang, menulis berbagai kitab. Beliau lebih dahulu menulis kitab tata bahasa Melayu yang terkenal dengan Bustanul Katibin 1857, disusul oleh kamus bahasa Melayu kitab Pengetahuan Bahasa tahun 1859. Kedua kitab ini amat berguna untuk pelajaran bahasa Melayu saat itu.
Raja Ali Haji kemudian menulis lagi berbagai kitab, syair dan gurindam. Beliau menulis Syair Hukum Nikah untuk memberikan panduan kepada calon suami isteri, Syair Sinar Gemala Mestika Alam (saduran) untuk kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Gurindam Dua Belas yang memberikan panduan kepada kaki tangan kerajaan, rakyat dan ulama.
Jalan yang telah dibuka oleh Raja Ali Haji diikuti lagi oleh sejumlah ulama penggarang Riau lainnya. Mereka malah berhasil membentuk perkumpulan kaum cendikiawan Riau yang bernama Rusydiah Klab tahun 1892. Mereka juga telah menulis berbagai kitab, sehingga amat besar artinya bagi kemajuan pendidikan Islam di Riau.
Akan halnya Tuanku Tambusai serta ayahnya Maulana Kali merupakan tokoh awal dalam memberikan citra pembaharuan dalam penafsiran ajaran Islam yang lebih rasional. Dengan hasil berguru kepada kaum Paderi di Minangkabau (dengan pelopor Imam Bonjol) tokoh ini dapat mememperbaharui cara penafsiran ajaran Islam sehingga dapat diambil jarak dengan pengaruh kepercayaan Aninisme-Hinduisme yang karut yang penuh takhayul.
Beliau memang punya kemauan untuk mendesak segala mitos leluhur yang bersebati dengan Aninisme-Hinduisme, sehingga sudah sulit sekali disingkirkan dari alam pikiran umat Islam. Agaknya, oleh sikapnya yang berani itulah hubungan beliau menjadi renggang dengan raja Rantau Binuang Sakti, sebab yang terakhir ini lebih suka membiarkan rakyat memeluk agama Islam tanpa pembaharuan. Walhasil alam pikiran yang penuh takhayul dan khurafat tetap berlangsung, sehingga sulit memajukan kehidupan mereka.
Untuk belahan Siak, Haji Abdul Rab bin Chatib Cik (yang lahir tahun 1911 di Bagasiapi-api) mungkin merupakan ulama yang paling awal mencoba melakukan pembaharuan dalam pelaksanaan ajaran Islam di rantau itu. Beliau mula-mula juru tulis kadi Kerajaan Siak (1927-1936) kemudian jadi khatib Kerajaan Siak untuk Masjid Raya Bagansiapi-api tahun 1936.
Tokoh Muhammadiyah ini menerangkan ajaran Islam sampai ke gedung-gedung bioskop kepunyaan orang China. Beliau tidak lagi meneruskan tradisi khatib yang memakai sorban dan jubah putih, sehingga sebagian makmum menolaknya. Akibatnya beliau terpaksa diganti lagi oleh Sultan Siak.
Sebagai seorang tokoh pergerakan dalam Muhammadiyah, tidak kurang dari 6 tahun dia telah mendirikan HIS Muhammadiyah di Bagansiapi-api tahun 1926 sampai masuknya Jepang 1942. Beliau menulis berbagai masalah agama dan masyarakat, terutama juga yang berhubungan dengan Muhammadiyah serta Kerajaan Siak. Di antara karya tulis Haji Abdul Rab ialah Risalah Kenang-Kenangan Duli Yang Maha Mulia Tuanku Sultan Saidul Syarif Qasim Abdul Jalil Syaifuddin Seperemput Abad Atas Tahta Kerajaan. (bersambung)
(Potensi Lembaga Pendidikan Islam di Riau, UU Hamidy)