Bekas kerajaan Tambusai yang meliputi daerah aliran sungai Rokan, Pasir Pengaraian dan Rambah, juga merupakan pusat pendidikan Islam. Imam Maulana Kali yang menjadi Wali Syarak (Imam Kerajaan) dengan anaknya Muhammad Saleh (yang kemudian terkenal dengan Tuanku Tambusai) telah menyegarkan pula syiar Islam di rantau itu dari 1800-1830-an.
Tuanku Tambusai merupakan ulama yang tegas terhadap Belanda, sehingga hampir sepanjang hayatnya telah berada di medan jihad. Dengan semangatnya yang berapi-api, mujahid ini telah bertempur melawan Belanda, mulai dari Minangkabau, Mandahiling sampai akhirnya di Tambusai. Tak heran jika Belanda menjulukinya De Padriesche Tiger van Rokan (Harimau Padri dari Rokan) karena kehebatanya menghadapi Belanda dengan berbagai siasat.
Pendekatan Tuanku Tambusai yang agak keras terhadap kaum adat yang cenderung mengamalkan ajaran Islam secara tradisional (tidak kritis) telah menjadi pelajaran bagi tokoh pendidikan Islam selanjutnya di rantau itu. Cara itu ternyata menimbulkan jurang antara pihak ulama (Tuanku Tambusai) dengan raja-raja Melayu di daerah tersebut. Tuan Guru Syaikh Abdul Wahab Rokan membuka bermacam kampung masjid (pusat pendidikan Islam) setelah pulang dari Makkah dengan membawa tarekat Naksyabandiyah.
Dengan amalan Islam cara tarekat Naksyabandiyah ini ternyata golongan bangsawan (raja-raja Melayu) di daerah Rokan lebih mudah diajak bekerja sama menyiarkan agama Islam. Dalam hal ini Tuan Guru Abdul Wahab Rokan berhasil membuka beberapa pusat pendidikan Islam. Dengan amalan tarekat Naksyabandiyah, mulai dari kerajaan Rantau Binuang Sakti di Rokan sampai ke Langkat di Sumatera Utara, bahkan juga Batu Pahat di Johor Semenanjung Melaka.
Di antara beberapa kerajaan Melayu di Riau, Kerajaan Siak Sri Indrapura mungkin merupakan satu di antara pusat pendidikan Islam yang cukup membekas dalam tradisi Islam dunia Melayu di Riau. Perkataan orang siak telah menjadi perbendaharaan bahasa Melayu yang merujuk kepada orang yang mempunyai ilmu agama Islam. Perkataan ini seimbang dengan orang alim, lebai, pakih, dan tengku. Karena beberapa ulama telah mendapat pendidikan agama Islam di Siak, maka setelah pulang ke kampung halamannya mengajarkan agama Islam, terkenallah orang alim itu dengan sebutan orang siak.
Pertanda Kerajaan Siak telah memainkan peranan sebagai pusat pendidikan Islam memang cukup memadai. Dari 12 orang raja kerajaan ini, 6 orang di antaranya keturunan Arab. Hal ini tentu cukup besar pengaruhnya bagi terselenggaranya pendidikan Islam. Tahun 1917 Sultan Syarif Qasim II (1915-1949) mendirikan Madrasah Taufikiyah Hasyimiyah tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah di Siak.
Kemudian tahun 1929 didirikan pula Latifah School untuk pendidikan anak-anak perempuan. Dalam tahun 1930 tercatat dalam arsip kesultanan Siak ada 57 orang ulama dalam wilayah kerajaan ini. Sebanyak 29 orang mengajarkan tarekat sedangkan lebihnya 28 orang tidak bertarekat.
Di luar dari pada bekas kerajaan Melayu, masih ada lagi beberapa pusat pendidikan Islam. Di antaranya yang penting ialah Rantau Kuantan dan Kampar. Kedua daerah ini merupakan basis Muhammadiyah dan Perti, yaitu dua organisasi Islam yang bergerak dalam pendidikan dan kemasyarakatan. Muhammadiyah masuk ke Riau tahun 1932 dengan pelopor antara lain Ibad Amin, Hasan Arifin dan Hasan Basri dengan mengambil tempat Lubuk Jambi di Rantau Kuantan, Bagansiapi-api dan Penyasauan di Air Tiris, Kampar.
Sementara Perti masuk tahun 1937 dengan mengambil tempat di Lubuk Ambacang Rantau Kuantan dan Tanjung Berulak Air Tiris, Kampar. Muhammadiyah mendirikan Madrasah Muallimin di Teluk Kuantan tahun 1939 dan berkembang dengan baik tahun 1950-an. Ulama Rantau Kuantan sebagian besar tamatan madrasah ini. Setelah Madrasah Muallimin Muhammadiyah ini bubar tahun1970-an (oleh tekanan politik yang tidak sehat terhadap umat Islam) muncullah Nurul Islam Toar, sebagai sebuah pesantren yang didirikan oleh orang Perti.
Sementara itu Perti di Kampar mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Tanjung Berulak dengan pimpinan Syaikh Abdul Hamid Harun. Tetapi jauh sebelum itu di Kampar telah berdiri tahun 1919 Darun Muallimin yang dipimpin oleh Haji Abdul Malik. Setelah beliau meninggal, tidak lama kemudian disambung oleh muridnya Buya Nur Mahyuddin, dengan mendirikan Pesantren Daarun Nahdhah di Muara Uwai, Bangkinang.***
(Potensi Lembaga Pendidikan Islam di Riau, UU Hamidy)